Dalam tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari
2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang
hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata
pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan
dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara
"olok-olokan", lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi
fisik a la Tukul Arwana.
Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul
tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai
cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan
sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita
dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama,
ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu
kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya "kekerasan
psikologis" terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi,
Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas
kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan
tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen
di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan
saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada
obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.


Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai
ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam
dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh
para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat.
Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
"melestarikan" tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.


Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara "cerdas" mengemas
acara lawakan dalam bentuk talkshow "hancur-hancuran", sehingga begitu
populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah
inovasi dari beragam tanyangan hiburan "tak berbobot" yang menjejali ruang
publik kita.
Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan
cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka
program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan.

***
Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial
di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face.
Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial;
individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa
dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak
seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota,
ruang-ruang diskusi, dan seterusnya.
Konsepsi "ruang publik" (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas
(1989). Konsep ini merujuk pada "pentas atau arena di mana warganegara mampu
melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas
dari tekanan siapapun". Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud
komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak
bersama secara diskursif.

Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka kelompok
sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka
dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam pengertian
seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh ruang
publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara fair
pada semua kebudayaan tersebut.Persoalannya adalah, pada masyarakat yang
kompleks sekarang ini di mana masyarakat di susun oleh tiga pilar utama;
negara, pasar dan masyarakat, apakah ada ruang publik yang benar-benar
otonom dari kepentingan politik atau pebisnis? Budaya yang meruyak ke tengah
masyarakat pun adalah budaya yang telah ditentukan oleh, baik kekutan negara
ataupun pasar. Kalaupun ada yang otonom, ruang akan sangat payah untuk
diciptakan atau dikelola oleh warganegara.
Kerapkali kita menyaksikan aneka kegiatan publik, seperti debat publik,
seminar, dan demonstrasi yang diformat dan ditumpangi oleh kepentingan elit
politik atau kaum pemodal. Bahkan, jika ruang publik itu berupa media massa
yang berskala masif, baik berupa TV, koran, atau radio, tak pelak akan
mengacu pada arus kapital yang bekerja di belakangnya. Masing-masing
industri media memiliki logika kapitalnya sendiri. Tak jarang kompetisi
mewarnai aneka media tersebut dalam rangka berebut pengaruh dan berlomba
meraup keuntungan.
Seperti industri TV. Dengan sebelas stasiun TV swasta nasional, maka
kompetisi yang berlangsung adalah perebutan kue belanja iklan. Celakanya,
kompetisi ini berujung pada perebutan skor rating tertinggi, yakni yang
paling banyak ditonton publik, karenanya belanja iklan akan tinggi. Wajar
kiranya kini, banyak media yang dituduh "menghamba pada rating", karena
kebanyakan program yang disiarkan oleh TV swasta hanya mengejar rating
semata. Tak peduli jika program itu berperan besar dalam pembodohan massal,
memopulerkan mistisisme, atau meritualkan "budaya" olok-olokan kepada
masyarakat, maka program semacam itu akan diperpanjang menjadi 250 episode,
misalnya.


Mewabahnya secara cepat dan massif "budaya" Tukulisme terhadap kehidupan
masyarakat kita, jelas merefleksikan betapa hebatnya dampak dari bekerjanya
salah satu ruang publik berupa media TV. Merujuk pada paparan McChesney
(1997) media, di tangan rezim pasar bebas, bahkan mampu mendikte aneka
preferensi publik, mulai dari gaya hidup, pola konsumsi, kebutuhan barang
dan jasa, sampai dengan yang bercorak politis, seperti figur pemimpin.
Dengan demikian, apa yang kita tonton, selera yang kita tentukan, dan
pilihan-pilihan kita, sebetulnya telah diformat dan didikte oleh kehendak
pasar, termasuk saat menertawai polah Tukul ketika sedang mengolok-olok
diri, tamu, dan penontonnya di acara Empat Mata.
Kapitalisasi terhadap segala macam program yang tak cerdas hampir-hampir
menggelinding tanpa kendali. Ia akan mengeksploitasi dan menjual apapun
asalkan pengiklan berjubel datang dan antri untuk memasang iklannya,
mengiringi penayangan program itu. Mulai dari acara "mengobrak-abrik" rumah
tangga selebritis, mendramatisir secara mistis jasad-jasad manusia, dan
terakhir "hancurnya" si Tukul. Saya rasa, sepak terjang kapitalisme sudah
terlampau jauh, bahkan terkesan keterlaluan.
Media televisi, sebagai ruang publik, justru andil besar dalam penjerumusan
masyarakat pada "pendangkalan ruang publik (the swallowness of public
sphere) (Piliang, 2005). Ini terjadi ketika ruang publik cenderung dibangun
oleh representasi atau tindakan yang menafikan pengetahuan luas, landasan
filosofis, dan moral yang kokoh. Kondisi ini juga disebabkan oleh
kepentingan penguasaan ruang publik oleh strategi populer, meski popularitas
tersebut menafikan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan sesungguhnya.
Lebih parah lagi, jika hal tersebut dilengkapi dengan hiburan yang
"eksploitatif".
Perayaan "kebodohan", "kekampungan", dan "gaptek" secara massif, akan serta
merta mengikis kualitas kehidupan yang ber"selera" dan berpijak pada rasa.
Sedangkan pemassalan dan pembiasaan "serapah" secara terbuka dan penuh
bangga, pelan-pelan akan menggerus estetika dan juga etika di kalangan
warga, lebih-lebih bagi mereka yang baru menginjak remaja.
Sudah saatnya menghentikan pencemaran pada ruang publik kita, dengan
mengabaikan sama sekali aneka tayangan yang tak masuk akal, dangkal, tak
edukatif, dan mendegradasi selera humor kita.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke