Ya sudah... saya rasa tidak hanya acara tukul saja yang 'tidak 
mendidik' jadi kalau tidak suka dan keluarga tidak mau terpengaruh 
dengan ngomongnya tukul ya jangan ditonton saja.... untuk stasiun TV 
tidak akan peduli dengan 'isi' dari acara itu yang penting bagi 
mereka uang iklan masuk, yang penting kalau ingin protes ttg acara 
tukul jangan ke millis ini langsung saja ke Stasiun TV ybs dan ke 
media massa,krn tukul juga ngga baca millis ini... sebutin saja 
keberatan2nya dan lebih baik kalau memberi masukkan yang berharga 
karena kalau mau jujur seorang Tukul 'hanya' menjalankan 'kembali ke 
laptop' saja, jadi produsernya yang harus merubah acara tersebut 
tanpa pamer paha & dada dan omongan yang 'ndeso' tanpa harus 
kehilangan ciri ke 'ndeso' annya tukul kadang saya juga bingung kalau 
bilang acara tukul bawa pengaruh jelek kayaknya masih banyak acara 
yang lebih parah lagi contoh sinetron2 dimana anak SMA udah hidup 
bebas, sinetron hidayah yg notabene bawa2 agama tapi isinya ttg 
selingkuh mlulu dimana ada adegan ranjang dan diputar jam 7 
malam..walah2 kalau saya jujur anak2 tidak ada yang boleh nonton TV 
setelah magrib karena isinya 'kutu kupret' semua (he..he pinjem 
istilah tukul deh) mending saya suruh nonton VCD nya Harun Yahya ttg 
ALam dan kebesaran ciptaannya jauh lebih bermutu...
Jadi buat bapa2/Ibu2 sekalian yang tidak suka acara tukul tidak usah 
ditonton saja dan ajukan surat resmi beserta saran2 perbaikannya ke 
TV ybs/ Media masa ok..begitu aja koq repot... 



--- In idakrisnashow@yahoogroups.com, "Yandri Djahar" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Dalam tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 
Februari
> 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis 
talkshow yang
> hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui 
kacamata
> pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada 
kekeliruan
> dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu 
menggemari acara
> "olok-olokan", lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang 
mengeksploitasi
> fisik a la Tukul Arwana.
> Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur 
oleh Tukul
> tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran 
sebagai
> cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
> penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara 
hidup dan
> sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang 
kita
> dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; 
etnis, agama,
> ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, 
kutu
> kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan 
bekerjanya "kekerasan
> psikologis" terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah 
tersebut.
> Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi 
psikologi,
> Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih 
kualitas
> kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan 
tertawaan
> tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
> produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan 
temen-temen
> di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi 
dengan
> saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya 
jumpai pada
> obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.
> 
> 
> Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat 
sebagai
> ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak 
baru dalam
> dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah 
diawali oleh
> para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah 
Srimulat.
> Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
> "melestarikan" tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.
> 
> 
> Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara "cerdas" 
mengemas
> acara lawakan dalam bentuk talkshow "hancur-hancuran", sehingga 
begitu
> populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain 
hanyalah
> inovasi dari beragam tanyangan hiburan "tak berbobot" yang 
menjejali ruang
> publik kita.
> Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses 
pendangkalan
> cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan 
aneka
> program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan.
> 
> ***
> Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada 
kerangka spatial
> di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face 
to face.
> Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas 
sosial;
> individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia 
bisa
> dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud 
secara abstrak
> seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata 
kota,
> ruang-ruang diskusi, dan seterusnya.
> Konsepsi "ruang publik" (public sphere) kali pertama digagas oleh 
Habermas
> (1989). Konsep ini merujuk pada "pentas atau arena di mana 
warganegara mampu
> melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif 
dan bebas
> dari tekanan siapapun". Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud
> komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan 
kehendak
> bersama secara diskursif.
> 
> Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka 
kelompok
> sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, 
maka
> dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam 
pengertian
> seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam 
tubuh ruang
> publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat 
secara fair
> pada semua kebudayaan tersebut.Persoalannya adalah, pada masyarakat 
yang
> kompleks sekarang ini di mana masyarakat di susun oleh tiga pilar 
utama;
> negara, pasar dan masyarakat, apakah ada ruang publik yang benar-
benar
> otonom dari kepentingan politik atau pebisnis? Budaya yang meruyak 
ke tengah
> masyarakat pun adalah budaya yang telah ditentukan oleh, baik 
kekutan negara
> ataupun pasar. Kalaupun ada yang otonom, ruang akan sangat payah 
untuk
> diciptakan atau dikelola oleh warganegara.
> Kerapkali kita menyaksikan aneka kegiatan publik, seperti debat 
publik,
> seminar, dan demonstrasi yang diformat dan ditumpangi oleh 
kepentingan elit
> politik atau kaum pemodal. Bahkan, jika ruang publik itu berupa 
media massa
> yang berskala masif, baik berupa TV, koran, atau radio, tak pelak 
akan
> mengacu pada arus kapital yang bekerja di belakangnya. Masing-masing
> industri media memiliki logika kapitalnya sendiri. Tak jarang 
kompetisi
> mewarnai aneka media tersebut dalam rangka berebut pengaruh dan 
berlomba
> meraup keuntungan.
> Seperti industri TV. Dengan sebelas stasiun TV swasta nasional, maka
> kompetisi yang berlangsung adalah perebutan kue belanja iklan. 
Celakanya,
> kompetisi ini berujung pada perebutan skor rating tertinggi, yakni 
yang
> paling banyak ditonton publik, karenanya belanja iklan akan tinggi. 
Wajar
> kiranya kini, banyak media yang dituduh "menghamba pada rating", 
karena
> kebanyakan program yang disiarkan oleh TV swasta hanya mengejar 
rating
> semata. Tak peduli jika program itu berperan besar dalam pembodohan 
massal,
> memopulerkan mistisisme, atau meritualkan "budaya" olok-olokan 
kepada
> masyarakat, maka program semacam itu akan diperpanjang menjadi 250 
episode,
> misalnya.
> 
> 
> Mewabahnya secara cepat dan massif "budaya" Tukulisme terhadap 
kehidupan
> masyarakat kita, jelas merefleksikan betapa hebatnya dampak dari 
bekerjanya
> salah satu ruang publik berupa media TV. Merujuk pada paparan 
McChesney
> (1997) media, di tangan rezim pasar bebas, bahkan mampu mendikte 
aneka
> preferensi publik, mulai dari gaya hidup, pola konsumsi, kebutuhan 
barang
> dan jasa, sampai dengan yang bercorak politis, seperti figur 
pemimpin.
> Dengan demikian, apa yang kita tonton, selera yang kita tentukan, 
dan
> pilihan-pilihan kita, sebetulnya telah diformat dan didikte oleh 
kehendak
> pasar, termasuk saat menertawai polah Tukul ketika sedang mengolok-
olok
> diri, tamu, dan penontonnya di acara Empat Mata.
> Kapitalisasi terhadap segala macam program yang tak cerdas hampir-
hampir
> menggelinding tanpa kendali. Ia akan mengeksploitasi dan menjual 
apapun
> asalkan pengiklan berjubel datang dan antri untuk memasang iklannya,
> mengiringi penayangan program itu. Mulai dari acara "mengobrak-
abrik" rumah
> tangga selebritis, mendramatisir secara mistis jasad-jasad manusia, 
dan
> terakhir "hancurnya" si Tukul. Saya rasa, sepak terjang kapitalisme 
sudah
> terlampau jauh, bahkan terkesan keterlaluan.
> Media televisi, sebagai ruang publik, justru andil besar dalam 
penjerumusan
> masyarakat pada "pendangkalan ruang publik (the swallowness of 
public
> sphere) (Piliang, 2005). Ini terjadi ketika ruang publik cenderung 
dibangun
> oleh representasi atau tindakan yang menafikan pengetahuan luas, 
landasan
> filosofis, dan moral yang kokoh. Kondisi ini juga disebabkan oleh
> kepentingan penguasaan ruang publik oleh strategi populer, meski 
popularitas
> tersebut menafikan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan 
sesungguhnya.
> Lebih parah lagi, jika hal tersebut dilengkapi dengan hiburan yang
> "eksploitatif".
> Perayaan "kebodohan", "kekampungan", dan "gaptek" secara massif, 
akan serta
> merta mengikis kualitas kehidupan yang ber"selera" dan berpijak 
pada rasa.
> Sedangkan pemassalan dan pembiasaan "serapah" secara terbuka dan 
penuh
> bangga, pelan-pelan akan menggerus estetika dan juga etika di 
kalangan
> warga, lebih-lebih bagi mereka yang baru menginjak remaja.
> Sudah saatnya menghentikan pencemaran pada ruang publik kita, dengan
> mengabaikan sama sekali aneka tayangan yang tak masuk akal, 
dangkal, tak
> edukatif, dan mendegradasi selera humor kita.
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke