-----Original Message-----
From:                   [EMAIL PROTECTED]
Sent:                   Wednesday, September 15, 1999 8:46 AM
To:                     Multiple recipients of list
Cc:
Subject:                        omongan siapa?
>
> Dalam membuat analisis, mungkin ada baiknya kita tidak memukul rata semua
> elemen di RI. Ada hal menarik berkaitan dengan kesediaan RI menerima
> pasukan PBB.
>
> Pres. Habibie mengumumkan di SCTV, tentang kesediaannya
> menerima/mengundang pasukan PBB, TANPA PRASYARAT apapun. Artinya,
> komposisi dan negara mana pun yang ikut serta di kontingen PBB adalah
> terserah sepenuhnya pada PBB.
>
> Tak sampai semenit kemudian, juru bicara TNI, Mayjen Sudardjat,
> mengatakan, TNI menolak Australia ikut dalam pasukan PBB.
>
> Tak sampai semenit kemudian lagi, Ketua Golkar Ir. Akbar Tanjung
> mengatakan, Golkar menolak keikutsertaan AS, Australia, Portugal, Selandia
> Baru, dan Kanada dalam Pasukan PBB, dengan alasan kelima pihak itu punya
> kepentingan sendiri di Timtim.
>
> Nah, menarik ‘kan? Singkatnya: sikap Habibie tidak identik dengan TNI dan
> tidak identik dengan Golkar.
>
> Ali Alatas, saya kira, sebagai Menteri mau tak mau harus ikut suara
> Habibie. Namun tidak ada jaminan bahwa suara Habibie ini tidak akan
> ditorpedo on the ground di Timtim.
>

Amat:
kalau begitu, omongan siapa yang bisa dipercaya: presiden tunjukan
pahabibi, juru bicara preman resmi bersenjata atau ketua partai bergambar
omah gendruwo?

yang sedang bikin senep,

Satrio:
Posting saya tidak mempersoalkan siapa yang harus dipercaya. Intinya adalah
bahwa di pihak RI sendiri (dan saya yakin juga di pihak Australia) terdapat
persepsi yang beraneka ragam tentang masalah Timtim dan bagaimana cara
pemecahannya.
Dalam kasus RI, terlihat bahwa Presiden ternyata tidak bisa (gagal)
mengarahkan opini masyarakatnya dan TNI. Dalam kasus penerapan darurat
militer, mungkin justru TNI yang mendikte Habibie.

Pemahaman semacam ini akan membuat kita tidak simplistis dalam menganalisis
perilaku RI (pemerintah dan masyarakatnya) maupun perilaku Australia.
Biasanya, dalam situasi emosi yang meningkat, akan terjadi banyak
simplifikasi.

Kang Amat mungkin sudah paham yang dulu biasa saya sebut “bahasa pamflet”
dan “bahasa demonstran”, yang biasanya simplistis (kalau terlalu panjang
lebar, spanduk dan posternya nggak cukup dong!)

Kirim email ke