> Satrio:
> Posting saya tidak mempersoalkan siapa yang harus dipercaya. Intinya
> adalah bahwa di pihak RI sendiri (dan saya yakin juga di pihak Australia)
> terdapat persepsi yang beraneka ragam tentang masalah Timtim dan bagaimana
> cara pemecahannya. Dalam kasus RI, terlihat bahwa Presiden ternyata tidak
> bisa (gagal) mengarahkan opini masyarakatnya dan TNI. Dalam kasus
> penerapan darurat militer, mungkin justru TNI yang mendikte Habibie.

lha kok presiden yang tidak bisa mengarahkan opini masyarakat dan preman 
kok terus dipelihara? apakah ini tidak menambah kesimpangsiuran saja?

[ketika saya menulis pertanyaan pertanyaan di atas itu, tiba tiba saya 
sadar bahwa bisa saja karena pertanyaan pertanyaan di atas itu saya 
dilihat sebagai tidak nasionalis dan karenanya pro barat oleh sesama orang 
jawa/indonesia].

> 
> Pemahaman semacam ini akan membuat kita tidak simplistis dalam
> menganalisis perilaku RI (pemerintah dan masyarakatnya) maupun perilaku
> Australia. Biasanya, dalam situasi emosi yang meningkat, akan terjadi
> banyak simplifikasi.

saya melihatnya tidak begitu. saya melihatnya, rentang perhatian kita 
sangat terbatas, baik karena emosi, pemahaman perkara, maupun kebiasaan.  
begitu batas ini [yang dalam hal ini, batas itu 'imposed' by emotion] bisa 
kita lampaui kita akan mampu melihat 'gambar' yang lebih besar. 

seminggu yang lalu, saya sedih, takut, prihatin, marah, depresi karena 
banyaknya orang yang dibunuh, hilang, digebuki timor timur. [info mengenai 
atrocities ini tidak pertama tama saya andalkan pada berita media publik]. 
dan keprihatinan itu bukan pertama tama karena timor timur, tapi justru 
rangkaian peristiwa kekerasan sebelumnya: banyuwangi/situbanda, sambas, 
aceh, ambon, trisakti, semanggi, udin, marsinah. [keprihatinan tentang 
atrocities yang semula terbatasi oleh timor timur berkembang/bergeser, 
mencakup peristiwa yang sama di tempat lain]. sesudah dua hari, perhatian 
saya meluas/bergeser ke debat publik yang terjadi di aussie.  publik tiba 
tiba menjadi begitu 'informed' oleh media aussie, dan 'kemarahan' mereka 
ditembakkan kepada pemerintahannya untuk melakukan sesuatu untuk 
mengoreksi kesalahan kebijakan gough whitlam dan 'membalas jasa' 
pengorbanan orang timur timur dalam perang dunia 2. saya menjadi khawatir 
kalau pemerintah aussie bisa begitu saja ditekan oleh publiknya dan 
terlibat ke dalam perang terbuka dengan indo. kalau ini terjadi, maka 
kegetiran kehidupan, karena kehilangan teman, saudara, anak, orang yang 
dikenal dalam pertempuran/olah perang, akan menimpa lebih banyak orang.  
pada proses berikutnya, perhatian saya berkembang/bergeser ke pertanyaan 
pertanyaan seperti: what does all of this mean to me, to us as human 
being, to us as creatures with logic? adakah cara untuk ambil peran dalam 
'menyejarah' [freiere's terminology]?

begitulah. 'batas' yang pertama terlampaui, yang kedua juga, dan 
seterusnya.

> 
> Kang Amat mungkin sudah paham yang dulu biasa saya sebut “bahasa pamflet”
> dan “bahasa demonstran”, yang biasanya simplistis (kalau terlalu panjang
> lebar, spanduk dan posternya nggak cukup dong!)

bagi saya, tidak semua bahasa pamflet/demonstran simplistis, banyak yang 
cerdas. coki naipospos [yang harus mendekam di penjara] dengan poster 
'sdsb', kelompok anti dwi fungsi dengan 'preman resmi bersenjata', 
kelompok reformist tertentu dengan 'presiden tunjukan pahabibibi', 'murid 
sang professor', 'gareng' {dalam 'lidah [masih] pingsan} adalah sedikit 
contoh dari kuat dan 'kaya'nya bahasa pamflet/demonstran. 

[dari bahasa pamflet/demonstran yang menarik bagi saya adalah, 'tentara 
pki'. kalau saya tidak keliru ingat, makian/bahasa pamflet itu muncul 
dalam suatu demonstrasi di jakarta. saya tidak begitu ingat apakah dalam 
kasus kantor pdi, semanggi atau trisakti].

> 

komentar lain:

saya membayangkan, sebagian dari kita mendengarkan presiden tunjukan 
pahabibi dan, tentu saja tidak cuma mendengarkan tapi disertai sanjung 
puja puji bahwa sang doktor lulusan jerman dengan suma cum laude ini 
sungguh demokrat. dan tidak berhenti di situ, sanjung puja puji ini 
kemudian menjadi semacam keyakinan yang menafikan kritik. 

sebagian yang lain dari kita lebih mendengarkan juru bicara preman resmi 
bersenjata [untuk bahasa halusnya: lihat wawancara ariel dengan ben abel]. 
karena begitu empat limanya semangat pendengar ini, kritik terhadap 
kelompok preman resmi bersenjata ini musti 'ditenggelamkan'.

lalu sebagian yang lain, lebih suka memilih milih seperti fatwa sang ketua 
partai bergambar omah gendruwo. juga dengan sentimen/emosi yang tidak 
boleh ditawar.

lha apa kita tidak kepruk keprukan sendiri? 

Kirim email ke