.       KOMPAS, Selasa, 21 September 1999

        INDONESIA-AUSTRALIA
        BILA EMOSI MENGALAHKAN RASIO

        Oleh Ikrar Nusa Bhakti

        "HUBUNGAN Indonesia-Australia telah sering mengalami
        pasang surut, tetapi belum pernah seburuk ini," kata
        Duta Besar RI untuk Australia, Wirjono, pada 17
        September 1999. Apa yang dikatakan Pak Wir itu benar.
        Sama benarnya dengan ucapan Prof Dr Colin Brown, pakar
        Indonesia asal Australia yang juga mantan salah seorang
        pembimbing penulis saat menulis tesis doktor di
        Griffith University, "Hubungan Indonesia-Australia
        ibarat roller-coaster, naiknya lambat, tetapi begitu
        sampai ke puncak, turun secara drastis."

        Jika kita amati hubungan kedua negara dalam kurun waktu
        satu setengah bulan belakangan ini, inilah masa
        terburuk dalam hubungan Jakarta-Canberra. Saling
        tuding, saling tuduh, saling caci maki, saling rusak,
        saling bakar bendera, saling demonstrasi, dan berbagai
        kata "saling" dalam artian negatif lainnya, mewarnai
        hubungan kedua tetangga yang merasa saling asing
        tersebut.

        Di masa lalu, hubungan yang buruk hanya pada tingkatan
        elite politik, militer dan pemerintahan, tetapi tidak
        pada tataran masyarakat. Contohnya ialah ketika
        Indonesia berupaya merebut kembali Irian Barat dari
        tangan Belanda pada 1957-1963, konfrontasi
        Indonesia-Malaysia 1963-1966, dan integrasi Timtim pada
        1975. Contoh lainnya ialah ketika David Jenkins menulis
        di The Sydney Morning Herald pada 10 April 1986, soal
        kekayaan keluarga Soeharto dengan judul After Marcos,
        Now for Soeharto's Millions.

        Di masa kini, hubungan buruk itu sudah pada tataran
        pemerintah dan masyarakat. Dengan kata lain, hubungan
        buruk itu bukan saja dalam kaitan antara "pemerintah
        dengan pemerintah" (Government to Government), tetapi
        juga antara "rakyat dengan rakyat" (People to People).

        Perbedaan yang mencolok lainnya, jika di masa lalu,
        meskipun diawali dengan tindakan-tindakan provokatif
        masing-masing negara dan megaphone diplomacy melalui
        media massa, namun begitu krisis tersebut mencapai
        titik kulminasi, maka dilakukan quiet diplomacy melalui
        diplomasi resmi untuk mendinginkannya. Contohnya,
        ketika terjadi kasus David Jenkins dan pembalasan dari
        Indonesia berupa penundaan kunjungan Menristek BJ
        Habibie ke Australia, tidak diizinkannya visa masuk
        bagi wisatawan Australia yang sudah mendarat di Ngurah
        Rai, Bali, ditutupnya untuk sementara (dua jam)
        jalur-jalur laut yang menghubungkan Australia dan Asia
        dengan alasan latihan militer Indonesia, semua itu
        dapat diselesaikan secara baik-baik.

        Meski PM Bob Hawke mengatakan "saya tidak mau
        nyembah-nyembah (pada Soeharto)", tapi toh ia mengutus
        Menlu Gareth Evans (yang baru menggantikan Bill Hayden
        karena Hayden diangkat menjadi Gubernur Jenderal
        Australia) ke Jakarta untuk berbicara dengan Menlu Ali
        Alatas. Pada 1995/1996, ketika terjadi kasus pembakaran
        bendera Indonesia di Australia, penerimaan Australia
        atas 18 pengungsi Timtim, ditolaknya Letjen HBL Mantiri
        sebagai calon duta besar yang terkait dengan kasus
        Timtim, dan kampanye politik Menlu Gareth Evans yang
        menonjolkan isu Timtim untuk menang di daerah pemilihan
        Holt, negara bagian Victoria menjelang Pemilu 1996,
        semua bisa dibereskan melalui dialog Soeharto-Keating
        di Bali.

        Kini, PM John Howard tetap ngotot soal kebijakannya
        mengenai Timtim, walaupun akan memperburuk hubungan
        kedua negara. Hotline antara Jakarta-Canberra yang
        telah terjalin sejak 1988 juga mulai terputus.
        Pemerintah RI sudah pula membatalkan Persetujuan
        Pemeliharaan Keamanan kedua negara yang ditandatangani
        18 Desember 1995, dan PM John Howard serta Menhankam
        John Moore tenang-tenang saja seraya mengatakan, "Itu
        'kan perjanjian antara Pemerintah Keating dan
        Pemerintah Indonesia". Jika sudah begini, kita patut
        bertanya, apakah kita perlu membuat perjanjian apa pun
        dengan Australia di masa depan, jika pemerintah yang
        baru tidak mengakui adanya perjanjian yang dilakukan
        pemerintah sebelumnya dengan Indonesia.

        TARIK TAMBANG

        Tampaknya, saat ini sedang terjadi tarik tambang dan
        perang informasi antara kelompok garis keras dan garis
        lunak di Australia soal tindakan apa yang perlu mereka
        lakukan terhadap Indonesia. Dalam kaitan itu, emosi
        sudah lebih banyak berbicara, ketimbang rasio.

        Ini bisa kita simak dalam kejadian-kejadian terakhir di
        Australia. Sesaat setelah Panglima TNI Jenderal Wiranto
        menyatakan keadaan darurat di Timtim pada 7 September
        1999, Perdana Menteri John Howard mengeluarkan
        ultimatum kepada Indonesia bahwa apabila TNI tidak
        mampu mengatasi masalah keamanan di Timor Timur dalam
        waktu 48 jam sejak diumumkannya keadaan darurat itu,
        maka dengan atau tanpa persetujuan Indonesia, tentara
        Australia akan dikirim ke Timtim. Ultimatum itu muncul
        karena adanya makian dari kelompok-kelompok NGO
        Australia terhadap pemerintahan PM John Howard bahwa
        Australia itu banci, tidak berani mengirim tentara ke
        Indonesia dan tidak berani mencabut pengakuan de facto
        dan de jure yang dibuat pemerintahan koalisi
        Liberal/Nasional di bawah PM Malcolm Fraser pada
        1978/1979, bahwa Timtim adalah wilayah kedaulatan
        Indonesia.

        Kelompok-kelompok penekan di Australia juga menuntut
        agar pemerintahnya menghentikan bantuan luar negeri
        kepada Indonesia. Bersama kelompok buruh, para
        pendukung garis keras ini juga menuntut agar dilakukan
        boikot atas perusahaan-perusahaan Indonesia,
        menghindari perjalanan ke Indonesia, dan melakukan
        pemogokan atas kapal dan pesawat Indonesia yang singgah
        di pelabuhan-pelabuhan laut dan udara Australia.

        Sebaliknya, kelompok garis lunak atau lobi Indonesia,
        yaitu kalangan Indonesianis di perguruan tinggi
        Australia, mantan diplomat Australia, mantan sekjen
        deplu Australia, wartawan, kalangan bisnis dan buruh
        yang moderat mengingatkan agar Pemerintah Australia
        jangan bertindak gegabah terhadap Indonesia. Pengiriman
        tentara tanpa persetujuan Indonesia dianggap mereka
        sebagai planning of war terhadap tetangga di utaranya
        yang selama ini menjadi buffer state bagi masuknya
        Jepang ke Australia pada Perang Dunia II dan komunis
        dari utara pada masa Perang Dingin.

        Meski Australia memiliki kepentingan politik dan
        kemanusiaan atas kemerdekaan dan perdamaian di Timtim,
        tetapi jangan mengusik perasaan pemerintah dan rakyat
        Indonesia. Dengan kata lain, Australia harus membantu
        Indonesia ke luar dari Timtim tanpa kehilangan
        kehormatannya. Kalangan lobi Indonesia di Australia dan
        lobi Australia di Indonesia juga mengharapkan sikap
        sensitif pemerintah dan rakyat Australia atas
        kejadian-kejadian di Indonesia. Mereka mengingatkan
        betapa besar kerugian ekonomi yang diderita Australia
        jika hubungan dengan Indonesia semakin memburuk, jika
        dibandingkan dengan kerugian Indonesia. Para orangtua
        di Indonesia dan Asia lainnya akan takut mengirimkan
        anak-anaknya sekolah/kuliah ke Australia, takut pada
        sikap rasisme rakyat Australia, baik sejak munculnya
        fenomena Pauline Hanson, maupun kini fenomena PM John
        Howard dengan politik Timtimnya. Australia juga akan
        kehilangan friends of Australia di Indonesia, baik dari
        kalangan akademisi, seniman, militer, birokrat,
        diplomat maupun wiraswasta. Ketidakmampuan PM John
        Howard dalam mengelola konflik dengan Indonesia juga
        akan menimbulkan keraguan di negara-negara Asia lainnya
        tentang itikad baik Australia dalam berhubungan dengan
        Asia. Jika dengan tetangga terdekat Asianya, Indonesia,
        saja tidak dapat berhubungan baik, bagaimana pula
        dengan tetangga Asia yang lebih jauh.

        PROSES TRANSISI

        Pemerintah Australia harus menyadari bahwa Indonesia
        sedang dalam masa transisi dari otoriterisme ke
        demokrasi. Ini merupakan periode yang amat sulit bagi
        bangsa dan rakyat Indonesia. Jika proses transisi ini
        gagal, maka akan terjadi lagi lingkaran setan menuju
        otoriterisme yang sangat represif dan militeristik.
        Berbagai gelombang demonstrasi anti-Australia di
        Indonesia menunjukkan, betapa telah beralihnya
        pandangan sebagian rakyat Indonesia, dari
        persoalan-persoalan domestik politik dan domestik
        ekonomi seperti kasus Bank Bali, KKN keluarga dan kroni
        Soeharto, dan terbentuknya pemerintahan baru yang lebih
        kredibel dan absah, ke persoalan anti-Australia. Ini
        akan menyebabkan semakin menyatu dan besarnya dukungan
        rakyat terhadap TNI, yang sebelumnya dipandang tidak
        mampu dan tidak mau mengatasi masalah Timtim.

        Tindakan keras Australia dalam soal Timtim dipandang
        oleh kalangan Indonesianis di Australia dapat
        menimbulkan citra rasis Australia di mata Indonesia dan
        tidak sensitif terhadap nasib 210 juta rakyat
        Indonesia. Kalangan ini juga melihat, Timtim tampaknya
        lebih penting bagi Australia, tetapi tidak bagi
        Indonesia. Sejalan dengan itu, Australia harus memilih,
        apakah Indonesia lebih penting, atau Timtim yang
        penting.

        Jika sebaliknya yang terjadi, maka langkah Australia ke
        Timtim akan dituduh oleh pemerintah dan rakyat
        Indonesia sebagai langkah awal untuk mendisintegrasikan
        bangsa Indonesia. Ini juga berarti Australia tidak
        memahami dan mengakui bahwa Indonesia adalah bangsa
        yang sangat majemuk baik ditinjau dari segi etnis, ras,
        agama, maupun status sosial ekonomi.

        Jika pendekatan bahwa suatu bangsa harus homogen dari
        segi etnik, ras atau agama, maka Indonesia juga bisa
        memanas-manasi warga Australia di Kepulauan Torres dan
        masyarakat Aborigin Australia untuk mengusir bangsa
        kulit putih dari tanah milik mereka. Harus pula diakui
        bahwa perlakuan Indonesia terhadap rakyat Timtim masih
        jauh lebih baik daripada Australia terhadap orang
        Kepulauan Torres dan Aborigin. Dalam sejarah Australia,
        berapa ratus ribu rakyat Aborigin mati di tangan orang
        kulit putih dalam upaya pemusnahan etnis di masa lalu.
        Selain itu, adakah orang Aborigin yang terangkat
        martabatnya menjadi premier (gubernur untuk Indonesia),
        birokrat, militer, polisi atau duta besar, seperti
        orang Timtim saat berintegrasi dengan Indonesia?

        Partai Buruh Australia pernah memiliki perdana menteri
        yang keras terhadap Indonesia, yaitu Bob Hawke. Meski
        Bob Hawke tidak jarang juga bersikap emosional dalam
        tindakan-tindakan politiknya, namun ia lebih rasional
        ketimbang PM John Howard dari koalisi Liberal/Nasional.
        Adalah Bob Hawke dan Paul Keating yang mencoba
        membangun hubungan yang lebih realistis dan sistematis
        dengan Indonesia antara 1988-1996. Kini John Howard
        justru melakukan perusakan yang amat parah, bukan saja
        pada tingkatan pemerintahan, tetapi juga pada tingkatan
        masyarakat. Dalam satu atau dua generasi mendatang,
        trauma terhadap kebijakan John Howard ini tak akan
        lenyap dari ingatan rakyat Indonesia.

        (* Ikrar Nusa Bhakti, peneliti senior di PPW LIPI,
        Jakarta).

Kirim email ke