Selama berabad-abad, khususnya di Indonesia, terjadi perbedaan waktu
merayakan lebaran (Idul Fitri). Bukan saja antar propinsi yang bertetangga,
juga dua kabupaten yang berdekatan, malah antara sesama penganut : rukyat
(penglihatan) maupun hisab (perhitungan).
     Namun yang sangat mengetuk hati dan pikiran, justru itu pun masih
terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini di mana teknologi sudah
sedemikian majunya. Ummat Islam di tanah air dalam kurun waktu ini masih
kesulitan menentukan tanggal 1 Syawal yang bisa diterima oleh semua pihak.
Sehingga adanya perayaan lebaran pada tanggal yang berbeda menjadi tidak
terhindarkan lagi.
     Yang memilukan lagi, perbedaan tersebut terjadi pada wilayah geografis
yang sama, termasuk pada mereka yang tinggal dalam satu kecamatan,
kelurahan, RW. atau RT. Betapa tidak! Saat sebagian ummat Islam
mengungkapkan rasa syukur dengan takbir, tahlil, dan tahmid secara serentak
di lapangan menjelang sholat Idul Fitri, sebagian ummat Islam lainnya masih
berpuasa. Sehingga suasana "Minal Aidin Wal Faidzin" pun akan terasa
membingungkan manakala keduanya saling bertemu pada hari tersebut, khususnya
di kalangan anak-anaknya masing-masing.
     Yang dikhawatirkan, masalah tersebut kalau dibiarkan akan mengusik
keutuhan ukhuwah Islamiyah.
     Karenanya berbagai pihak terus mencoba menjawab permasalahan tersebut
melalui beragam kegiatan. Misalkan dengan tema aplikasi teknologi di mana
pembicaranya banyak dari kalangan astronom, fisikawan, sampai sosiolog.
Intinya upaya menghasilkan solusi akurat secara maksimal. Selain itu,
memberikan apresiasi akan pentingnya teknologi untuk menguak misteri
perbedaan tersebut.
     Antara lain dengan mengupas masalah bulan secara detail. Ini berkaitan
dengan sifat pasifnya hanya karena memperoleh sedikit cahaya dari matahari.
Tampaknya untuk memberi pengertian kepada masyarakat sehingga gilirannya
menjurus pada kesepakatan tanggal.
    Sarana sensor kiranya bisa mengatasi berbagai kesulitan dalam memandang
bulan kalau dilakukan secara manual.
    Seperti kita ketahui, planet yang kita tumpangi ini hanya memiliki satu
bulan. Berarti pada suatu waktu hanya menempati posisi yang satu.
Demikianlah logikanya.
     Tamsil lainnya : bila anda berjalan, kemudian pada suatu waktu, saya
melihat anda. Berarti pada saat itu anda sedang menempati posisi yang satu.
     Lain halnya bila bumi kita ini mempunyai lebih dari satu bulan,
sebagaimana Jupiter (Ion dan Eorupa) dan Saturnus (Titan dan Mas). Wajarlah
bila terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan awal 1 Syawal. Misalkan :
kelompok pertama berpatokan pada bulan yang satu dan kelompok kedua
berpatokan pada bulan yang lainnya.
     Selama bumi kita hanya mempunyai satu bulan, malah sampai kapan pun
akan tetap satu, memang lucu bila penyambutan Ramadhan maupun perayaan
lebaran masing-masing terjadi pada hari yang berbeda di daerah geografis
yang sama.
     Bila terjadi perbedaan seperti itu, berarti salah satunya pasti ada
yang salah.
     Aneh, bukan! Membenarkan semuanya jelas tidak mungkin.
     Syukurlah, kemauan keras dan berpikir kritis semakin apresiatif di
kalangan ummat Islam untuk menyeragamkan penentuan hari penting tersebut.
     Perkembangan IPTEK dewasa ini kiranya akan mempermudah manusia
mengatasi semua itu dalam hal merukyat maupun menghisab.
     Dengan IPTEK, manusia akan terangsang untuk mencari terobosan
pengamatan/penghitungan sebanyak mungkin, yang gilirannya menghasilkan
kesimpulan yang semakin pasti.
     Bila kita membaca surat Ali-Imran ayat 190, yakni tentang tanda
orang-orang berakal dalam penciptaan langit-bumi dan pergantian malam siang,
jelaslah bahwa kaum muslim harus menjadi ummat yang pandai, kreatif, dan
kritis terhadap berbagai fenomena alam, yang tentu termasuk tehnik penentuan
hari H untuk Idul Fitri.
     Semoga saja tidak terjadi perbedaan waktu perayaan Lebaran untuk
geografis yang sama untuk 1 Syawal 1420 Hijrah ini.


Salam,


(Nasrullah Idris)




Kirim email ke