Teman-teman Indoz-net semua,
Mari kita simak bersama tulisan menarik dari teman Indonesia
kita yang mengungkapkan tentang "Negeri Kita Diobok-obok
Jin-Jin!". Bung Ivrahim Satori terima kasih atas tulisan menarik-
nya (Yusuf L. Henuk).
From: "Ivrahim Satori" <[EMAIL PROTECTED]>
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: Benarkah Militer Indonesia AKan Kudeta?
Date: Sat, 15 Jan 2000 05:09:46 GMT
Benarkah Militer Indonesia Akan Kudeta?
Masyarakat Indonesia memang cepat lupa dan mudah terkesima. Petinggi
dan pejabat Indonesia cepat lupa. Anggota DPR sebagai pilar demokrasi
juga mudah lupa. Media dan Pers, yang konon dinegara maju disebut se-
bagai pilar ke empat demokrasi, juga cepat lupa dan tidak ulet atau persis-
tent. Ibarat lalat yang suka menclok kesana kemari mencari sampah yang
masih hangat, pers Indonesia kehilangan alur benang merah yang menjadi
misi mereka sebagai pendorong ke arah sistim masyarakat demokrat
(masyarakat madani). Istilahnya Indonesia sedang kejangkitan pageblug
(wabah = epidemi) lupa-ingatan.
Contohnya, mengapa Jindral (untuk selanjutnya disingkat Jin.) besar
Suharto dilupakan? Padahal dialah yang sekarang berandil besar
mengobok-obok Indonesia, dan masih aktip mengobok-obok lewat kaki
tangannya yang ada di TNI-AD dan lewat jalur tidak resmi, preman. Kon-
kritnya, sewaktu Suharto dihujat habis-habisan oleh bangsa Indonesia
dan diupayakan digiring kepengadilan, dia kena stroke. Keterangan
dokter yang ditayangkan oleh media mengatakan dia sudah 'pelo' alias
cidal. Sulit bicara dan lumpuh separo. Bahkan Jin Suharto ini dipotret
duduk di atas kursi roda. Teman saya sudah mulai iba dan percaya,
tetapi saya bertaruh bahwa ini adalah tipu-muslihat yang tidak bisa me-
ngelabui saya. Saya katakan ini adalah cara untuk menghindari hujatan
kalau dia mau mengobok-obok Indonesia lagi di kemudian hari. Saya
kenal dekat dengan dua orang yang kena stroke separah Suharto. Dalam
dua tahun, meskipun dirawat oleh dokter yang paling top dari Cina dan
Amerika, perkembangannya masih minimal. Yang satu tetap saja ke-
hilangan kemampuan motoris, yang lain kemampuan motorisnya mem-
baik meskipun jalannya masih tidak stabil. Belum ada satu tahun kena
stroke parah, Jin Suharto dan penasehatnya lupa (atau mungkin me-
nganggap semua orang Indonesia bisa ditipu). Ada foto Suharto naik
Mangadeg (= Giri Bangun, makam Tin Suharto) yang cukup tinggi itu
tanpa dipandu dan dibantu oleh asistennya untuk nyekar sebelum
Ramadhan kemarin. KITA LUPA dan Suharto menggunakan kebodohan
bangsanya dengan jitu. Jin Suharto memang master manipulasi,
Camdessus pun pernah kena jebak. Ingat fotonya yang melipat tangan,
karena sebetulnya dia tidak diberi kursi duduk sewaktu upacara tanda-
tangan bantuan IMF.
Informasi dari beberapa sumber independen (dari pejabat sipil maupun
militer) juga membenarkan bahwa Jin Suharto masih aktip melakukan kon-
sultasi kepada TNI-AD garis status quo (Wiranto cs.). Jadi kemungkinan
kerusuhan di Timor, Aceh, Maluku, Jawa Timur dilakukan oleh TNI-AD
garis status-quo tidak dapat diabaikan, mengingat kemiripan dengan trik-
trik Suharto mengadu domba antar suku dan agama. Seorang yang lulus
perguruan tinggi dan mau sedikit memakai nalarnya akan sampai kepada
kesimpulan ini. Ingat kasus adu domba antara golongan kiri (yang belum
tentu semuanya komunis) dengan kelompok Islam tahun 1966-1968 yang
digencarkan setelah Suharto ambil posisi pemegang Supersemar (yang
konon surat ini tidak ada). Ingat kasus Malari, pembakaran Senen oleh
orang-orangnya Suharto. Kasus Tanjung Priok, Kasus digoyangnya NU,
kasus dibantainya PDI, dsb. Semuanya menunjukkan kearah yang sama.
Termasuk salah satu keinginan Suharto ialah mempertahankan dwifungsi
oleh TNI (baca TNI-AD status quo). Dengan demikian janji kelompok ini,
yang diwakili oleh Jin Wiranto, untuk melindungi Suharto dan kroninya akan
terwujud. TNI pun akan suka-ria dengan dwi fungsi, karena dwi fungsi arti-
nya menguasi power dibidang politik dan sosial, dan menguasi ekonomi.
Ujung-ujungnya Duit (UUD) bukan bela negara! Cara yang paling mudah
mempertahankan dwifungsi adalah menggoyang pemerintahan yang syah
dengan kekacauan masal, dan TNI-AD menunjukkan ketidak becusan sipil,
kemudian mengambil oper. Mengambil oper bisa dilakukan secara keras
dengan kudeta blak-blakan. Kudeta bisa dilakukan dengan terselubung,
yaitu membuat kekacauan disuatu propinsi atau daerah dan ditindak lanjuti
dengan darurat militer di daerah tersebut. Kemudian kekacauan disebarkan
kedaerah lain, dan diikuti dengan darurat militer dan seterusnya. Hasil akhir
sama saja, seluruh negara dalam keadaan darurat militer dan pemerintahan
demokrasi sipil akan layu sebelum berkembang. Inilah yang sekarang di-
lakukan di Maluku, Aceh, dan Irian Jaya (Papua). Analisa saya berdasarkan
data yang masuk (juga dari beberapa sumber independen) menunjukkan
daerah berikut yang akan dijadikan ajang pertumpahan darah oleh TNI-AD
adalah Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Jawa
Timur. Hati-hatilah.
Jadi skenario yang saya ungkap di milis ini sekitar tengah tahun 1999
bahwa TNI-AD akan kudeta masih VALID. Dan intelijen Amerika, Eropa,
Australia dan Jepang telah membaca atau mengetahui. Kalau tidak, mengapa
Administrasi Washington memberikan peringatan keras kepada TNI. Kalau
tidak, mengapa tiba-tiba Jepang mengevaluasi investasinya di Indonesia.
ADVONTURIR YANG GAGAL.
Skenario kudeta halus yang gagal adalah Timor Timur. Sekitar bulan Agustus
1999, saya ungkapkan dalam milis ini bahwa TNI-AD mempunyai master plan
untuk genosida (pembantaian) di Timor Timur. Banyak orang yang tidak
percaya. Sekitar bulan Oktober 1999, muncul argumen bahwa kekerasan di
Timor Timur adalah ungkapan rasa kecewa militer karena kecolongan. Ter-
nyata setelah diusut oleh KOMNAS-HAM benang merah kelihatan (dan diakui
oleh para Perwira Tinggi yang diperiksa), yaitu pola sistematis kekerasan
menunjukkan adanya master plan genosida. Alasan nalarnya ialah kalau
militer bisa menyadap pembicaran Andi Galib dan Habibie, jelas militer
mengetahui akan adanya referendum di Timor Timur. Alasan kejutan atau
kecolongan bisa dieliminasi. Jadi TNI tahu akan ada referendum sebelum
dilontarkan oleh Habibie. Kedua, intelijens Barat (Australia, US, dan
Inggris) juga sudah tahu akan skenario kejam TNI-AD karena mereka lalu
membuat persiapan seperlunya untuk intervensi.
Lalu mengapa TNI-AD pusing-pusing masalah Timor-Timur? Alasannya, win-
win situation dari perhitungan TNI. Kalau menang, TNI berhak membabat
rakyat Timor-Timur dengan dalih urusan Timor Timur sudah menjadi urusan
dalam negeri. Kalau kalah mereka akan membabat juga dengan alasan
kecolongan atau kecewa. Jadi menang atau kalau akan tetap terjadi genosida
(pembantaian). Juga kita harus melihat faset besarnya, kalau menang di
Timor Timur TNI akan mempunyai kartu truf dalam posisi tawar menawar
dengan pemerintah sipil. Targetnya adalah mempunyai bagian besar dalam
pemerintahan reformasi dan mempertahankan dwifungsi. Ingat pada waktu itu,
Megawati yang dijagokan untuk jadi presiden dan Megawati pula yang gemas
ingin mempertahankan Timor-Timur. Kalau pihak integrasi menang, dan kubu
Megawati menang, bisa dibayangkan kekuatan posisi tawar-menawar TNI-AD.
Ternyata gagal dan 'out-of-control', dunia Internasional melakukan intervensi.
Intervensi yang begitu kuat ini diluar perhitungan TNI-AD. Itu sebabnya
mereka mencoba kartu terakhir, insiden peta perbatasan. Kalau ini berhasil
(konfrontasi dengan BARAT), maka rakyat kita yang bodoh (termasuk maha-
siswa dan akademisi kita yang banyak berpikiran pendek) akan mudah di-
bangkitan semangat ultra nasionalisme. Menghadapi perang gawat, tentu TNI
akan ambil alih pemerintahan. Tapi usaha inipun gagal juga karena INTER-
FET dan UN melakukan manouver politik yang jitu. Intinya, 'mari kita sama-
kan peta kita dan patroli bersama'. Win-win situation bagi TNI malah jadi
bangkrut total. Bahkan insiden peta malah mempermalukan wajah bangsa
kita. Kalau peta Belanda lebih akurat (yang dijadikan acuan perwira lapangan),
mengapa peta yang diberikan ke INTERFET adalah peta dari pemerintah RI?
Dengan perkataan lain selama dipegang Suharto, kita bukan semakin maju
melainkan semakin bodoh, buat peta saja tidak bisa. Kalau argumennya ialah
salah pakai peta oleh TNI, ini juga menunjukkan kecerobohan militer dalam
menangani situasi darurat. Kalau disengaja memberikan peta yang berbeda,
ini juga menunjukkan bahwa TNI memang mau bikin ulah.
Kalau ada genosida dimana makamnya? Ah kita lupa!!! Dimana makam satu
juta orang yang dibabat tahun 1966-1969? Tidak ada, karena sebagian besar
dibuang kesungai dan laut. Saya ingat dilarang makan ikan waktu itu, karena
banyak korban dibuang di laut dan sungai tempat saya tinggal. Laut Indonesia
adalah makam terbesar.
GOYANGAN YANG GAGAL.
Goyangan pertama yang gagal sewaktu TNI-AD status quo membakar Jakarta
(persis Nero membakar Roma). Amin Rais sangat bijaksana waktu itu untuk
tidak mengerahkan masa. Angka sepuluh buat Amien Rais. Sebab kalau
AMien Rais terpancing, TNI-AD akan mengungumkan darurat militer dan ambil
alih kekuasaan, alias kudeta.
Goyangan kedua yang gagal ialah pembantaian kyai NU di Jawa Timur. Ini
sangat menyakitkan hati bagi umat Islam, terutama dari warga NU. Cara yang
paling mudah untuk mengatasi teror ini, seperti yang saya ungkapkan juga
di milis ini, ialah melakukan sistim keamanan stelsel. Semua anggota TNI-AD
dari prajurit sampai Jendral harus diawasi kalau berpergian, kalau mengunjungi
suatu wilayah harus wajib lapor kepada pemuka masyarakat wilayah tersebut
dan menunjukan surat jalan atau tugas. Kalau mencurigakan, babat! Atau jika
seorang provokator tertangkap dan diserahkan ke polisi atau tentara, ternyata
dibebaskan lagi, sang provokator dibabat. Cara ini sangat efektip, dan hasilnya
tampak di Jawa Timur. Angka sepuluh buat Gus Dur. Apakah cara ini perlu
diterapkan untuk militer di Jakarta? Kalau begitu keluargaku saya pindahkan
dulu, biar yang dibabat kelompok status quo saja.
Goyangan ketiga sewaktu pemilihan presiden. TNI-AD melakukan lobi luar
biasa untuk menggoalkan Wiranto sebagai presiden. Skenario dikembangkan
untuk mengadu domba kubu Mega dan kubu Islam. Ingat FPI, yang tak lain
adalah kelompok bayaran TNI-AD status-quo, dikerahkan sebagai provokator
adu-domba. Jika berhasil, kudeta ini disebut kudeta "suam-suam kuku".
Goyangan ini gagal karena Mega mengalah, Amien Rais menggoalkan
poros-tengah, dan Gus Dur mencabut ujarnya untuk tidak jadi presiden.
Akhirnya Gus Dur jadi presiden, Mega jadi WaPres, Amien Rais jadi ketua
MPR, Wiranto gagal jadi presiden, dan yang terpenting pertumphan darah
tidak terjadi. Sepuluh untuk Gus Dur, Megawati dan AMien Rais.
MENGGOYANG LAGI.
TNI sebetulnya terbagi menjadi tiga-kelompok besar. Kelompok TNI-AD
Thaliban, kelompok TNI-AD status-quo, dan kelompok professional (sekitar
30 persen dari TNI-AD plus TNI-AL dan TNI-AU). Belakangan ini terjadi
manouver kelompok TNI status-quo mendekati kelompok TNI Thaliban untuk
merongrong kewibawaan pemerintah. Manouver ini masih perlu diuji di-
lapangan. Hasilnya yang paling konkrit adalah usaha memperlemah
efektivitas pemerintahan Gus Dur dengan memakai kelompok Thaliban sipil.
Orang Islam yang sangat menghargai Hak Azasi Manusia banyak yang ter-
jebak mengutuk KOMNAS-HAM yang sekarang sedang mengadili petinggi
TNI-AD (yang sebetulnya kebanyakan berasal dari TNI status quo). Sebetul-
nya kita harus mendukung komisi ini untuk menunjukkan ke dunia luar
bahwa Hak Azasi Manusia bukan monopoli Barat saja. Kita sebagai
masyarakat Islam mampu menghargai HAM.
Rongrongan kedua ialah 'undermine' (melecehkan?) pemerintah hasil
pemilihan dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi AD, seperti
Djadja Suparman, Sudradjad, dan Wiranto (dibelakang layar). Tidak heran
jika TNI-AL, TNI-AU dan TNI-AD professional s angat malu dan jengkel
terhadap ulah kelompok Status Quo ini. Puncak ungkapan kejengkelen itu
adalah pernyataan Agus Wirahadikusumah. Sebetulnya TNI mempunyai
banyak petinggi yang professional, misalnya Agus Wirahadikusumah,
Agus Wijaya, Agum Gumelar, Bb. Yudhoyono, (marinir) Suharto, dsb.
Sudah seharusnya mereka diangkat ke posisi penting untuk membenahi
TNI secara keseluruhan. Sudah saatnya pula Gus Dur memperbesar
Angkatan Laut, Marinir, dan Angkatan Udara. Alasannya, dalam doktrin
perang modern, apalagi Indonesia adalah negara kepulauan yang mem-
punyai garis pantai panjang, pertahanan Laut dan Udara sangat penting.
Alasan Prabowo untuk memperbesar Kopasus karena ancaman teroris
sangat tidak masuk akal. Karena keamanan nasional, termasuk dari
ancaman teroris, adalah wewenang kepolisian. Kalau negara yang sebesar
USA hanya mempunyai 1200 pasukan elit Delta Force, tidak masuk akal
Indonesia memerlukan 5000 Kopasus. Dan ingat Delta Force sangat ketat
diawasi oleh Pentagon.
Rongrongan ketiga kita telah tahu semua. Jin Suharto dan Jin Wiranto
sedang mengobok-obok Ambon, Aceh dan Irian Jaya. Kita harus hati-hati
karena bisa menyusul Sulawesi Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur,
dan Kalimantan Barat.
Dalam situasi kritis ini, kebijaksanaan triumvirat Gus Dur-Mega-Amien
Rais perlu ditunjukkan kembali. Bersatu dan hati-hati menumbuhkan
pemerintahan sipil yang demokrat. Masyarakat Islam, Kristen dan
Nasionalis perlu bersatu dan jangan mudah terpecah belah. Sumber
kerusuhan ada di tiga tempat. Bukan Ambon, Aceh ataupun Irian Jaya.
Sumber kerusuhan ada di Cendana, Cilangkap, dan TMII. Masih banyak
yang harus kita lakukan terutama mengadili tindak pidana dan perdata
yang dilakukan Suharto dan kroninya membangkrutkan Indonesia. Kapan
kita mengadili Suharto? Kapan Gus Dur?
Sekali lagi, skenario kudeta oleh TNI-AD status quo masih VALID.
IVRAHIM SATORI
----- End of forwarded message from Ivrahim Satori -----