Teman-teman Indoz-net semua, BERITA UTAMA SUARA MERDEKA, Selasa, 18 Januari 2000, mengulas: Perebutan Kekuasaan PEREBUTAN kekuasaan politik oleh militer merupakan salah satu poros pembahasan yang menjadi isu utama politik Indonesia dalam era pemerintahan Presiden Durahman (maksudnya Abdurrahman Wahid-Red) memasuki hari ke-100. Realitas isu tampaknya dikaitkan dengan perkiraan terjadi penyingkiran pengaruh beberapa jenderal seperti isu tentang ''de-wiranto-isasi''. Hal ini akibat perbedaan berbagai kebijakan yang makin tajam antara Presiden dan Menko Polkam, tersebarnya pemberitaan tentang akan berlangsung mutasi besar-besaran di lingkungan TNI, serta peradilan para jenderal merupakan bagian dari intervensi kekuatan politik sipil (KPP HAM yang membawa pesan-pesan kekuatan asing) terhadap TNI. Sekitar dua bulan lalu, diselenggarakan diskusi mingguan tentang perkembangan politik Kabinet Presiden Durahman. Di dalam diskusi politik yang diselenggarakan oleh salah satu radio swasta yang berlangsung di Jakarta itu, tumbuh kekhawatiran tentang kemungkinan terjadi perebutan kekuasaan. Hal itu bukan saja dilatari oleh peralihan kekuasaan ke tangan militer seperti yang terjadi di Pakistan, juga perkembangan politik dalam negeri saat terjadi perbedaan pendapat tentang penyelesaian soal Aceh, ataupun pada saat pergantian kepemimpinan TNI terutama KSAD. Dalam kesempatan itu saya nyatakan secara terbuka, kemungkinan tentara untuk melakukan kup terhadap pemerintahan yang baru diperkirakan cukup kecil. Hal itu didasarkan atas tiga pertimbangan utama belum solidnya kekuatan internal di lingkungan ketentaraan, terbatasnya dana dan fasilitas, kuatnya tekanan politik rakyat dan dunia internasional. Memang, sorotan politik terhadap tentara begitu tajam. Sejak era pemerintahan BJ Habibie, polemik kontroversial yang berlangsung secara politik secara sontak menjadi sangat kuat, pada saat jajak pendapat di Timtim berhasil dimenangkan kelompok prokemerdekaan, telah mendorong isu tentang kemungkinan akan terjadi perebutan kekuasaan. Isu tentang perebutan kekuasaan itu timbul, setelah berlangsung aksi dari pemuda-pemuda Islam di Jakarta yang mendukung kekuatan politik tertentu, sehingga muncul kekhawatiran tentang kemungkinan akan makin menguatnya posisi politik BJ Habibie. Pada saat saya dengan beberapa orang berdiskusi dengan Kapolda Jaya, Noegroho Djajoesman mendengar salah seorang kepercayaan politik Presiden menanyakan kemungkinan dukungan dari kekuatan teritorial jika terjadi perebutan kekuasaan dari elite militer. Usut punya usut, ternyata pertanyaan itu memiliki latar yang mendalam, yakni menguatnya isu akan terjadi perebutan kekuasaan di tengah ketidakpuasan terhadap keputusan Presiden dalam memberikan opsi (integrasi atau merdeka) terhadap Timtim. Yang cukup menarik, pada siang hari telah masuk dua informasi yang bertentangan ke lingkungan intelijen. Informasi pertama yang masuk pada tengah hari, sekitar informasi tentang ada persiapan dari kelompok kanan (muslim) yang telah menggerakkan kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan. Namun tidak lama kemudian, mulai muncul informasi lain, yakni menguatnya persiapan kelompok ultranasionalis yang mendesak pimpinan TNI mengambil alih kekuasaan. Dua informasi yang berbeda ini tampaknya merupakan suatu bentuk penyesatan terhadap ketidakpuasan beberapa kelompok terhadap kebijakan Presiden, sehingga mendorong untuk memengaruhi pimpinan TNI mengambil langkah politik. Namun adanya aksi pemuda Islam (yang tampaknya telah dimanfaatkan oleh kelompok di sekitar Presiden untuk show of force terhadap kekuatan yang anti- Habibie), telah melahirkan informasi sesat untuk menutup tuntutan-tuntutan penurunan Habibie dari kursi kepresidenan. Memang, akhirnya isu di sekitar alih kekuasaan menjadi makin surut setelah terjadi hotline yang kuat antara BJ Habibie dan Jenderal TNI Wiranto. Hubungan itu memuncak dengan ketetapan Presiden untuk mempertahankan duet di antara dua tokoh itu dalam Sidang Umum MPR 1999. Sebenarnya langkah untuk mempertahankan poros tersebut diperkuat dengan konsolidasi internal TNI, dengan rencana untuk menempatkan Letjen TNI SB Yudhoyono sebagai pejabat KSAD yang baru, yang semula akan diumumkan pada 5 Oktober 1999. Namun beberapa pertimbangan politik tertentu akhirnya tidak jadi diumumkan, meski SKEP pergantian telah ditandatangani oleh Presiden. Dalam kaitan itu, mereka yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan baru dituntut membuktikan komitmennya dalam proses sidang umum itu, untuk memenangi pasangan Habibie-Wiranto. Meski demikian, tampaknya pelbagai kekuatan poros kepentingan di lingkungan elite perwira tinggi TNI tidak dapat begitu saja terakomodasikan melalui langkah-langkah itu. Hal itu terlihat dari ketidakpuasan beberapa kelompok perwira tinggi yang merasa kurang sreg dengan sikap Panglima TNI, yang kurang peka terhadap tuntutan reformasi tentang independensi politik serta tidak mengubah sikap implementasi kedwifungsian TNI model ''lama'', dengan tetap mempertahankan kepentingan tertentu bersama Presiden, menggunakan kekuatan Partai Golkar sebagai kendaraannya. Sebagai akibatnya, berlangsung ketegangan internal di lingkungan pimpinan TNI dan panglima teritorial se-Jawa (di samping munculnya isu tentang sikap Pimpinan Partai Golkar yang ''mendua'' dalam hal cawapres), yang berakibat mundurnya pencalonan Jenderal TNI Wiranto dari cawapres Partai Golkar. Kompensasi politik yang dilakukan oleh Presiden Durahman dalam pembentukan Kabinet baru melalui model ''jaminan'' tertentu, memang telah mengakomodasikan kepentingan elite TNI ke dalam kabinet, termasuk penempatan sejumlah jenderal aktif dalam jajaran kementrian. Namun hal itu ternyata juga belum mampu memecahkan persoalan hubungan politik dalam Kabinet Persatuan Nasional dan dinamika kepentingan yang tumbuh di dalam lingkungan internal TNI. Di satu pihak muncul ketidakpuasan beberapa jenderal terhadap keputusan Presiden Durahman yang merasa tidak terakomodasikan kepentingannya dalam mengajukan calon ataupun personal yang dicalonkan memimpin salah satu angkatan di lingkungan TNI, seperti dalam kasus tersingkirnya Yudhoyono dari jabatan KSAD dan terpelanting sebagai Mentamben. Hal itu diperkuat dengan terjadinya perbedaan pendapat antara jajaran Polkam dan Presiden dalam kebijakan penyelesaian kasus-kasus besar, yang mencapai puncaknya dengan keluarnya sebuah dokumen proposal tentang Aceh dan Ambon saat Presiden menjelang berangkat ke Beijing, yang menghendaki penyelesaian masalah itu dengan pendekatan kemiliteran. Segera sepulangnya dari lawatan itu, Presiden langsung memimpin sidang polkam, dan memutuskan bahwa penyelesaian masalah Aceh dengan pendekatan dialogis. Sedangkan untuk mengatasi konflik Ambon, Presiden menyatakan tidak diperlukan penerapan keadaan darurat sipil dan darurat militer. Pada pihak lain, beberapa kelompok perwira tinggi TNI merasa tidak puas terhadap berbagai kebijakan tentang reformasi internal TNI yang tidak jelas. Hal itu terlihat dari kasus penolakan pensiun beberapa jenderal yang menduduki jabatan di luar struktur kepemimpinan TNI, serta tidak berjalannya mekanisme kerja di lingkungan TNI, seperti Wanjakti, akibat dominasi figur tertentu. Hal demikian mendorong beberapa orang perwira mengusulkan, agar kepemimpinan TNI dibersihkan dari unsur kelompok prostatus quo. Akibat dari tuntutan itu, muncul ketegangan pada saat Panglima TNI Laksamana Widodo AS maunya ''terima bersih'' perubahan dalam TNI. Menjelang serah terima jabatan Panglima TNI, segera pimpinan lama melakukan mutasi besar-besaran untuk memotong usulan dari beberapa perwira ''progresif'' yang terwakili oleh figur semacam Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah. Akumulasi dari perbedaan kepentingan dan pandangan di lingkungan internal TNI dan kebijakan politik nasional, terkristal dalam peristiwa pemanggilan para jenderal oleh lembaga semacam DPR (dalam kasus Aceh) dan KPP HAM (dalam kasus Timtim pascajajak pendapat). Para perwira tinggi yang konservatif merasa khawatir bahwa peristiwa itu telah merendahkan, mempermalukan, dan menghancurkan institusi TNI, sehingga langkah-langkah pemanggilan para jenderal dinilai sebagai suatu bentuk intervensi politik terhadap TNI, dalam kedudukannya sebagai lembaga pertahanan dan keamanan negara. Sedangkan para perwira yang progresif menilai, bentuk reformasi TNI harus berani untuk menerima tuntutan itu karena TNI adalah bagian dari rakyat Indonesia yang reformatif. Persoalan apakah bersalah atau tidak, nanti proses hukum yang akan menentukan. Namun dengan bersedia menerima kenyataan itu, institusi TNI akan selamat dan tetap dihargai serta diakui sebagai bagian dari proses keindonesiaan dan kerakyatan. Puncak dari perbedaan pandangan terungkap dalam polemik terbuka, apakah prajurit itu akan setia kepada jenderal (yang terwakili oleh sikap Letjen TNI Djadja Suparman), ataukah setia kepada negara (yang terwakili oleh Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah). Di tengah polemik demikian, memang beberapa jenderal sempat mendatangi Jenderal Purn Rudini, mendesak perlunya dilakukan pergeseran kekuasaan dengan menurunkan tiga porosnya, yakni Presiden Durahman, Wapres Megawati, dan Ketua MPR Amien Rais. Sementara isu tentang rencana pencopotan Wiranto dari jabatan Menko Polkam juga telah memperkuat spekulasi perebutan kekuasaan, terutama setelah rencana pencopotan Kapuspen Mayjen TNI Sudrajat dilontarkan langsung oleh Presiden Durahman. Bahkan beberapa tokoh politik nasional yang andal, pada hari Lebaran kemarin telah mulai membicarakan tawaran-tawaran untuk menduduki jabatan tertentu pada pascaperalihan kekuasaan. Jenderal Wiranto memang telah mencoba untuk menepis isu perebutan kekuasaan kepada Presiden Durahman, demikian pula beberapa tokoh semacam Profesor Muladi juga menolak tuduhan itu, terutama yang berasal dari sumber-sumber di luar negeri. Namun hingga sekarang, isu tersebut masih terus menjadi pembicaraan. Terutama dengan menguatnya polemik nasional tentang Ambon, kenaikan gaji pejabat negara, penilaian positif KPP HAM tentang keterlibatan oknum TNI/ Polri dalam kekerasan di Timtim pascajajak pendapat. Juga kemungkinan menguatnya konsolidasi oposisi setelah 100 hari pemerintahan Kabinet Persatuan Nasional. Apakah benar akan terjadi perebutan kekuasaan? Kita tidak bisa menjawab begitu saja. Sebab masih akan dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama keyakinan tentang keberhasilan langkah itu oleh para petinggi (militer dan sipil) yang mendukungnya. Jika mereka yakin akan berhasil, akan terjadi perebutan kekuasaan. Jika tidak yakin akan berhasil, kecil kemungkinannya akan berlangsung perebutan kekuasaan. Militer diajarkan perebutan kekuasaan oleh salah satu kekuatan politik hanya akan mengundang perebutan kekuasaan selanjutnya oleh kelompok politik lainnya. Di samping korban-korban, cara ini jelas akan melahirkan proses-proses otorianisme baru.(50t) - MT Arifin, pengamat sosial politik, Ketua LP3M STIE Surakarta dan Tim Pakar Sosial Politik Departemen Hukum dan Perundangan RI.