sekali lagi , mohon maaf yang tak berkenan.

PROFIL
Tulisan No. 6 dari 9 judul
 Prof Dr H Suroso Imam Zadjuli SE
Ada Suatu Nilai Lebih
----------------------------------------------------------------------------
----

Bukan hendak berbasa-basi jika guru besar ekonomi ini menyatakan bahwa
dirinya sudah mempelajari ekonomi syariah sejak tahun 1978. Ketika itu, ia
sangat tertarik dengan perkembangan bank model syariah yang mulai dirintis
Malaysia. Di tengah gegap-gempita ekonomi kapitalis atau sosialis, tentu
saja kehadiran Malaysia Islamic Bank tak banyak menmbetot perhatian orang.
Namun tak demikian dengan Suroso. Lelaki kelahiran Madiun 13 Juni 1944 ini
justru keranjingan mempelajari ekonomi syariah sejak mencapai derajat
kesarjanaannya dari Universitas Airlangga pada tahun 1970. Ia berkeyakinan
bahwa suatu saat model ekonomi syariah itu akan menjadi pilihan sekaligus
obat bagi keroposnya dua model ekonomi sebelumnya. Selang beberapa tahun,
tatkala benih-benih krisis perekonomian dunia mulai menggejala, dugaan
Suroso mulai menunjukkan kebenarannya. Pelan namun pasti, model ekonomi
syariah mulai menarik perhatian banyak ekonom.
Pria yang punya hobi membaca ini punya koleksi dua lemari penuh buku-buku
ekonomi syariah. Tiapkali ia keluar negeri selalu pulang membawa buku-buku
baru seputar perbankan atau ekonomi syariah. Ia pun rajin melakukan
komunikasi dengan para pakar ekonomi syariah atau perbankan syariah dari
berbagai penjuru dunia. ’’Biasanya setiapkali para pakar itu menerbitkan
bukunya, mereka selalu mengirimkan pada saya. Mereka meminta komentar soal
buku itu, sebab mereka tahu Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim
terbesar di dunia,’’ ungkap penyuka musik lembut ini.
Ada alasan khusus kenapa Suroso tertarik pada perbankan syariah. Menurutnya,
perbankan syariah adalah bagian dari religious economic. ’’Kenyataan itu
bertolak belakang dengan model ekonomi sekuler yang hanya berorientasi
duniawi. Ekonomi religius selalu memperhatikan kemaslahatan umat, tak hanya
berpikir mengejar untung sebanyak-banyaknya. Ada dimensi ukhrawi yang
menjadikan seseorang tenang ketika mempraktikkan perbankan syariah.
Nilai-nilai religius itu yang sebenarnya sudah ditinggalkan oleh model
perekonomian sekuler, yang tak manusiawi,’’ paparnya.
Ditambahkannya, ’’Dalam sistem ekonomi Islam asumsi dasarnya adalah syariah
Islam diberlakukan secara menyeluruh, baik terhadap individu, keluarga,
kelompok masyarakat, usahawan maupun pemerintah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya baik untuk keperluan jasmaniah maupun rohaniah.’’
Konsultan pada beberapa perusahaan ini lebih memilih produk deposito
mudharabah, karena produk ini benar-benar Islami dalam penilaiannya. ’’Dalam
produk ini ada profit and loses sharing, jadi keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Tak saling merugikan,’’ tuturnya.
’’Bentuk simpanan deposito saya adalah personal dan institusional. Selain
itu, saya juga menyimpan dana di bank pemerintah dan bank asing. Khusus
untuk bank asing hanya untuk tujuan mempermudah transaksi, seperti pembukaan
L/C. Sebab, tak semua rekanan di luar negeri akrab dengan perbankan
syariah,’’ ungkapnya.
Ditanya apakah pernah mengajukan kredit ke bank konvensional, Suroso spontan
menjawab tak pernah. ’’Saya hanya mengajukan permohonan itu ke Bank Muamalat
Indonesia untuk pembangunan Gedung Academic Business Center (ABC)
Universitas Airlangga sebesar Rp 10 miliar, dan sudah kembali lunas hanya
dalam tenggang waktu dua tahun dari jangka waktu lima tahun yang diberikan
oleh Bank Muamalat,’’ urainya.
Suroso mengakui, ketika mengajukan kredit ke bank syariah itu, sama sekali
tak ada hambatan. ’’Bahkan bagi usaha yang dikembangkan di ABC, pembiayaan
itu sangat menguntungkan. Pihak bank syariah tak bertele-tele dalam
mengucurkan kreditnya. Selain karena personal guarantee yang berlandaskan
kepercayaan, juga ada institusional guarantee by option. Dengan menyodorkan
tabungan saya sebesar Rp 6 miliar, maka plafon yang diberikan sebesar Rp 10
miliar pun mengucur, tapi saat itu kami hanya mengambil Rp 8 miliar,’’
jelasnya.
Peminjaman yang lebih besar dari nilai agunan yang disodorkan itu jelas tak
mungkin diberikan oleh bank konvensional. Sebab, sambung Suroso, Unair
sebagai aset pemerintah tak mungkin dijaminkan ke pihak bank.
Sementara, rencana pembangunan gedung ABC harus tetap berjalan, maka jalan
yang bisa ditempuh adalah dengan menjaminkan tabungannya yang bernilai lebih
rendah dari jumlah pembiayaan yang disodorkannya itu. ’’Pihak bank syariah
sendiri (Bank Muamalat, red), melakukan perhitungan secara cermat, dan
mereka berkesimpulan bisa memperoleh 14,5 persen dari bagi hasil setelah
gedung selesai dibangun dan langsung dikelola oleh fakultas,’’ tuturnya.
Dari sisi nasabah, pembiayaan bank syariah itu, lanjut Suroso, jelas lebih
menguntungkan dan menenangkan. Sebab, ketiadaan mekanisme bunga berbunga dan
tak adanya perubahan rate of profit menjadikan nasabah lebih tenang. Selain
itu, mereka juga secara emosional menjadi lebih religius.
Sebaliknya, bagi perbankan sendiri, ada pembinaan manajerial yang
memungkinkan pertumbuhan sebuah usaha menjadi sangat cepat. Bagi hasil yang
diterima bank syariah lebih tinggi dari bunga bank. Dicontohkannya, Kuwait
Finance House yang mampu mencapai bagi hasil sampai 45 persen dari
eksplorasi minyak, sedangkan hasil bunga banknya rendah, hanya sekitar empat
sampai lima persen.
Para pengusaha yang mengikutsertakan bank syariah dalam usahanya, kata
Suroso, harus menunjukkan kejujuran dan transparansi. Misalnya pembuatan
proposal yang harus mendekati kenyataan, tak boleh sekadar mengumbar janji.
’’Pengusaha tak perlu memberikan amplop ke petugas bank agar kredit yang
diajukannya cepat mengucur. Istilahnya, tak ada amplop ilegal dalam bank
syariah. Kalaupun ada pengusaha, yang sangat senang karena dibantu
pembiayaannya oleh bank syariah, lalu ia mengirimkan semacam parcel ke rumah
salah satu petugas bank, maka parcel itu harus dibawa ke kantor dan dibagi
bersama-sama. Tak perlu ditutup-tutupi,’’ tandasnya.
Diakui Suroso, dirinya tak pernah dikecewakan bank syariah. Ia menyadari
bahwa bank syariah memang harus ekstra hati-hati dalam mengucurkan
pembiayaan untuk suatu usaha. Tak sembarangan mengucurkan pembiayaan.
Masyarakat umum memilih bank syariah dikarenakan ada dimensi kerangka waktu
yang lebih panjang, yakni sampai ke akhirat. ’’Sedangkan kalangan perbankan
memilih untuk membuka divisi perbankan syariah, karena tak ingin mengulangi
pengalaman dikucurkannya BLBI yang kemudian sampai kini masih bermasalah
itu,’’ tuturnya.
’’Citibank di Timur Tengah pun kini sudah dibeli oleh raja-raja Arab di
Bahrain, lalu diganti dengan nama Citi Islamic Bank dan mereka pun
menerapkan prinsip syariah dalam usaha perbankannya,’’ tambahnya.
Mengutip pakar ekonomi Islam dari Pakistan, Prof Muhammad Umer Chapra,
Suroso mengatakan, Islam memang memiliki sistem ekonomi yang spesifik.
Sistem ekonomi itu secara fundamental berbeda dari sistem-sistem ekonomi
lain yang tengah berjalan. ’’Ia memiliki akar dalam syariat yang membentuk
pandangan dunia sekaligus sasaran-sasaran dan strategi yang berbeda dari
sistem-sistem sekuler yang menguasai dunia hari ini,’’ urainya mengambil
intisari buku Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi.
Sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam, kata Suroso kembali mengutip Umer
Chapra, secara mendasar bukan material. Mereka didasarkan atas konsep-konsep
Islam sendiri tentang kebahagiaan (falah) manusia dan kehidupan yang baik
(hayatan thayyibah) yang sangat menekankan aspek persaudaraan (ukhuwah),
keadilan sosio-ekonomi dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan spiritual umat
manusia.
Pandangan itu disebabkan adanya kepercayaan bahwa umat manusia memiliki
kedudukan yang sama sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sekaligus
sebagai hamba-Nya. Manusia tidak akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan
batin kecuali jika kebahagiaan sejati telah dicapai melalui pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan material dan spiritual.
Dengan rumusan yang lebih mudah dari Prof Yusuf Qaradhawi, sambung Suroso,
perbedaan yang sangat menonjol antara ekonomi syariah dan ekonomi hasil
teori manusia adalah bahwa ekonomi syariah adalah ekonomi nilai dan akhlak
(moral). Selanjutnya ia menyatakan, jika berbicara tentang nilai dan akhlak
dalam ekonomi dan muamalah Islam, maka tampak secara jelas empat nilai
utama: Rabbaniyyah (Ketuhanan), akhlak, kemanusiaan dan pertengahan.
’’Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan yang utama bagi ekonomi Islam,
bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh pada
segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam,’’ tegasnya.
Yang terpenting pula, selama masa krisis berlangsung, ternyata bank syariah
mampu bertahan. Pembangunan gedung ABC Unair menjadi bukti. Gedung yang
dibangun dengan pembiayaan dari bank syariah itu bisa berdiri tegak tanpa
dihalangi krisis. Begitu pula dengan diversifikasi usaha lain yang
dijalankan Suroso sepanjang tahun 1997- 2000, sama sekali tak terpengaruh
oleh krisis. ’’Bukti berbicara, bahwa di masa krisis, berbisnis dengan bank
syariah lebih menenangkan dan menguntungkan daripada dengan bank
konvensional,’’ imbuhnya.
Di lingkungan keluarganya pun, Suroso yang mempunyai tiga orang putra ini,
tak henti-hentinya memperkenalkan prinsip-prinsip syariah. Termasuk kepada
keluarganya yang berada di Madiun dan Lamongan. ’’Alhamdulillah, banyak juga
anggota keluarga yang kini mulai bisa membedakan antara mekanisme bank
konvensional dan bank berprinsip syariah. Jika bank syariah sudah mulai
menjangkau ke berbagai peloskok wilayah, mungkin mereka akan segera langsung
menjadi nasabah,’’ harapnya



_______________________________________________
is-lam mailing list
is-lam@milis.isnet.org
http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam

Kirim email ke