on ma goarna cinta mallabab =))
garing2 sebelum kerja,yak... .

-bobby

Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap 

Cerpen
                                                                                
    Timbul Nadeak  , sumber: Kompas

Di Kedai Tuak Martohap selalu ada beberapa orang lelaki—biasanya 4
sampai 5 orang—yang bercakap-cakap sambil minum tuak. Selalu ada cerita
yang mereka percakapkan. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak. Karena
mereka bercakap-cakap dengan suara tinggi, maka semua tamu di kedai
tuak itu tahu apa yang sedang mereka tertawakan. Tapi ada pula cerita
yang mereka percakapkan dengan suara rendah. Kalau bercakap-cakap
seperti itu, mereka pasti menggeser gelas dan botol tuak masing-masing
ke tengah meja agar dapat menyimak sambil melipat kedua tangan di atas
meja.
Dua jam sebelum tengah malam, biasanya Pita mulai sibuk mengelap
sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Membersihkan
dan merapikan kursi-kursi merupakan isyarat bahwa dia sedang
bersiap-siap untuk menutup kedai tuaknya. Satu atau dua orang tamu yang
masih berada di kedainya harus bersiap-siap pula untuk pulang. Tapi
pada malam itu, ada seorang lelaki beruban yang tidak menunjukkan
tanda-tanda akan beranjak dari kursinya.
Pita tersenyum ramah ketika mengamati
sosok lelaki itu. Tak lama kemudian, senyumnya hilang seketika. Dia
terkesima. Sekujur tubuhnya sempat bergetar ketika lelaki beruban itu
membalas tatapannya.
Pita merasa pernah mengenali wajah lelaki itu. Bahkan pernah
mengenali tatapannya. Dia ingin segera berlari ke kamarnya untuk
membuka album masa mudanya. Dia ingin memastikan bahwa wajah lelaki
beruban itu adalah wajah tua milik seorang pemuda yang pernah
dikenalnya. Wajah yang sesekali masih mampu menggelorakan rindunya.
Pita tetap melanjutkan pekerjaannya dengan kepala tertunduk. Ada
rasa cemas yang tiba-tiba menyergap dirinya sehingga dia segan melirik
lelaki itu, tapi nalurinya memberitahukan bahwa mata lelaki itu sedang
mengamati wajahnya, rambutnya, dan sekujur tubuhnya.
”Aku pernah mengenal seseorang yang mirip kau.”
Pita menoleh. Tanpa disadarinya, ternyata lelaki itu telah berdiri di dekatnya.
”Sekarang aku hanya bisa mengenangnya.”
Pita membisu, tetapi dadanya bergemuruh.
”Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu. Agar kau tak terganggu, aku
akan menunggu hingga kau menyelesaikan pekerjaanmu. Setelah itu,
berilah aku kesempatan untuk bicara.”
Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita menguatkan 
hatinya untuk duduk di hadapan lelaki itu.
”Apa yang ingin kau bicarakan?”
”Tentang seorang perempuan di masa mudaku, dulu.”
”Apakah kau merasa aku pernah mengenalmu?”
Lelaki itu mengangguk, lalu bertanya, ”Apakah suamimu bernama Martohap?”
Pita membisu.
”Atau anakmu yang memiliki nama itu?”
Pita menggeleng.
Lelaki itu menarik napas panjang. Ada kelegaan terbias di wajahnya.
Lalu dia berkata dengan santun, ”Aku tidak suka minum tuak. Aku mampir
karena membaca papan nama di depan kedai tuakmu ini. Nama siapa yang
kau gunakan?”
Pita menunduk. Walau telah berhasil memendam cintanya, dia tetap merasa malu 
untuk menjawab pertanyaan itu.
”Apakah itu nama seorang lelaki yang pernah kau cintai?”
”Apakah kau pernah mencintai seorang perempuan?”
Lelaki itu terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Lalu dia berkata,
”Maaf karena aku sangat lancang bertanya. Mengapa kau namai Martohap?
Bukankah nama Songgop lebih berarti untukmu?”
Sekujur tubuh Pita mulai menggigil.
”Apakah kau pulang untuk perempuan yang kau cintai itu?”
”Aku tidak pulang. Aku datang!” jawab lelaki itu. Matanya menatap tajam.
”Aku yakin bahwa kau mengenal perempuan yang kumaksud. Kira-kira dua
puluh lima tahun yang lalu, perempuan itu diperistri oleh anak Kepala
Kampung ini,” sambungnya.
Pita membisu kembali. Napasnya tersendat.
”Namaku Martohap.”
Pita bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu.
Di dalam kamarnya yang terletak di belakang kedai tuaknya, dia tak
mampu menahan air matanya walaupun tak tahu pasti apa sesungguhnya yang
dia tangisi. Apakah dia menangis karena terharu akan pertemuan itu atau
menangis karena menyesal telah memberikan hatinya kepada lelaki itu.
Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi hati yang tersisa untuk dia berikan
kepada lelaki lain.
Tahun demi tahun telah dilaluinya dalam kesendirian. Dinikmatinya
kesendirian itu sambil menunggu lelaki itu pulang untuk mengembalikan
hatinya. Nama lelaki itu digunakannya menjadi nama kedai tuaknya.
Setiap orang yang melewati kedai tuaknya dapat membaca nama itu dengan
jelas. Dia memang ingin menyapa dan mengundang lelaki yang memiliki
nama yang sama untuk singgah di kedai tuaknya.
Di dalam hatinya, Pita berkali-kali menyebut nama Tuhannya. ”Tuhan,
akhirnya kau kirimkan lelaki itu untuk menemuiku. Terima kasih Tuhan,
mendekati usia senja aku masih sempat melihat wajahnya.”

***
Dua puluh lima tahun yang lalu, Pita sering termenung
menimbang-nimbang perasaannya. Rencana pernikahan itu membuatnya resah
dan marah. Berulang-ulang kali pula dia bertanya dalam hati, apakah aku
benar-benar tega menistakan kehormatan yang telah berada dalam
genggaman orangtuaku?
Seminggu sebelum pesta pernikahannya dilaksanakan, terjadi
demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah pabrik bubur kertas
ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi pabrik bubur
kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan tanaman
industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan.
Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di
pinggir jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut
ditebang untuk memalang jalan. Bahkan batu gunung dilinggis
beramai-ramai hingga menggelinding ke tengah jalan. Ribuan masyarakat
berdiri di pinggir jalan sambil membawa spanduk-spanduk tuntutan
mereka, ”Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan kami”. ”Stop
menebar racun di Tanah Toba!”.
Truk-truk pengangkut kayu terpaksa berhenti. Terjadi antrean panjang
lebih dari 10 jam. Penumpang-penumpang bus lintas Sumatera terpaksa
turun untuk membantu aparat kepolisian dan TNI. Mereka bekerja sama
menyingkirkan batang-batang pohon yang menghalangi jalan.
Dua hari setelah demonstrasi itu, orang-orang asing berseragam dan
berbaju preman terlihat hilir-mudik ke luar-masuk kampung. Masyarakat
saling berbisik. ”Kepala Kampung dituduh sebagai penggerak demo.”
”Beberapa anggota masyarakat sedang dicari.”
”Yang dicap sebagai tokoh harus segera bersembunyi!” Dan calon
mertuanya sempat menghilang beberapa hari. Ada yang mengatakan sedang
ditahan, tapi berita-berita di televisi mengatakan sedang diinterogasi.
Beberapa hari kemudian, Kepala Kampung kembali terlihat sibuk
mengadakan rapat dengan masyarakatnya.
Hari pernikahan itu tentu urung dilaksanakan, tapi tepat pada hari
itu tersiar kabar pengangkatan kepala kampung yang baru. Masyarakat
kembali berbisik-bisik.
”Kepala kampung yang baru itu langsung ditunjuk oleh pemerintah.”
Pada saat yang sama, calon mertua Pita menyatakan tak akan mundur dari
jabatannya. Sejak saat itu demonstrasi yang dilaksanakan terpecah dua.
Ada kubu yang mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan sejak saat itu
pula, Songgop, pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia dicap
sebagai salah seorang aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan
demonstrasi besar-besaran itu.
Martohap juga menghilang. Masyarakat di kampungnya menganggap dia
melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si perempuan kampung
yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap yang menjadi
pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu.
Bibir Martohap memang telah membuat kuncup bunga di hati Pita mekar
bersamaan waktunya dengan sukaria pemuda dan pemudi sekampungnya. Pada
malam itu, mereka sedang menghias sebuah pohon cemara menjadi pohon
Natal. Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu kecil
di antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk
membantu Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan
serpihan-serpihan kapas. Ketika pekerjaan mereka selesai, semua lampu
gereja dimatikan. Kegelapan menyelimuti mereka. Di balik rimbunnya
pohon Natal, Martohap segera merengkuh dan mendekap tubuh Pita
erat-erat. Sebelum seseorang mencolokkan kabel ke stop kontak di dekat
altar gereja, pemuda itu telah selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu
pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling
tatap penuh makna. Dan Songgop menatap curiga!
Dua tahun setelah demonstrasi besar-besaran itu, Songgop kembali ke
kampungnya. Dia pulang bersama seorang bayi berumur beberapa bulan.
Bayi itu berada dalam gendongan seorang perempuan yang telah
dinikahinya di Tanah Karo.

***
Sebelum tengah hari Pita membuka kedai tuaknya. Tak lama kemudian
dua orang lelaki masuk dan segera membuka papan catur yang selalu
tersedia di atas sebuah meja. Tapi sebelum menyusun buah caturya, salah
seorang menyapa.
”Tadi malam kulihat kau bercakap-cakap dengan seseorang. Siapa dia?”
Pita sempat tergagap sebelum menjawab, ”Dia pendatang yang sedang mencari 
seseorang.”
”Siapa yang dicarinya?”
”Katanya adiknya,” jawab Pita sekenanya.
”Ah, kok bisa dia kehilangan adik? Sudah berapa lama dia merantau?”
”Aku tak tahu!”
Lelaki itu terdiam sejenak. ”Aneh juga. Kau lama bercakap-cakap
dengan dia, tetapi tak tahu berapa lama dia sudah merantau.” Dahinya
berkerut. ”Sudah kau suruh bertanya ke Kepala Kampung?” sambungnya.
”Sudah. Kupikir, sekarang dia sedang menemui Kepala Kampung.”
Lelaki itu berpaling dan mulai melangkahkan buah caturnya.
Di dapur kedai tuaknya, Pita termenung. Dia menyesal telah
berbohong, tapi kalau berkata jujur, dia mungkin akan lebih menyesal.
Mereka akan bertanya, dan bertanya… hingga bisa merangkai sebuah
cerita. Lalu dia akan selalu curiga bila gelas-gelas dan botol-botol
tuak terkumpul di tengah meja. Akan semakin curiga bila mereka
bercakap-cakap dengan suara rendah. Akhirnya terusik ketika mereka
tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia akan ditertawai di kedai tuaknya
sendiri. Kalau merasa sungkan, mungkin mereka akan pergi ke kedai tuak
orang lain dan terbahak-bahak di sana!
Pita pernah menegur. Dia tahu, saat itu mereka sedang mempercakapkan
seorang perempuan yang sudah berumur, tetapi belum pernah dinikahi.
Walaupun bukan dirinya yang sedang mereka percakapkan, tetapi hatinya
cemas. Sebelum mereka tertawa, dengan lantang dia menegur, ”Sudahlah!
Jangan mempercakapkan cerita seperti itu. Apa kalian tak ingin menjaga
perasaanku?!”
Tegurannya membuat cerita yang sedang mereka percakapkan dianggap
telah selesai. Biasanya, cerita baru dianggap selesai beberapa menit
sebelum kedai tuak itu tutup. Tapi kadang-kadang ada juga cerita yang
bersambung ke malam berikutnya. Bila terjadi seperti itu, biasanya
seseorang dari malam sebelumnya dituntut untuk mengulang apa yang telah
dipercakapkan. Jadi selalu ada cerita yang dipercakapkan karena
orang-orang yang bercakap-cakap pada malam berikutnya, belum tentu
semua sama dengan orang-orang yang bercakap-cakap pada malam sebelumnya.

***
Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita
kembali menguatkan hatinya untuk duduk di hadapan lelaki beruban itu.
”Mengapa kau datang lagi?”
”Untuk melihat siapa yang membantumu menutup kedai tuak ini.”
”Aku sendiri yang melakukannya.”
”Mengapa suami atau anakmu tak ikut membantu?”
”Aku belum pernah menikah.”
Martohap terkejut. Matanya sempat berbinar. Dia baru tahu kalau
pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal rencana pernikahan itu
yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan dan selama dua
puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.
Walau membisu, Martohap tetap mengamati wajah yang dulu sangat
dikaguminya. Dulu? Tidak! Tidak! Bantah hatinya seketika. Sekarang pun
dia masih tetap mengaguminya. Dia memang sangat mengagumi perempuan
yang tulus dan tegar. Apalagi bila perempuan itu telah membuktikan
dirinya tulus menikmati kesendiriannya. Tegar mengikuti perjalanan
hidupnya.
”Aku pun belum pernah menikah.”
Pita terbelalak. Untuk apa dia mengatakan itu? Tentu dia tidak
sedang merayu, katanya dalam hati. Lalu dia tersenyum kecil. Dia tahu,
Martohap memang tidak bisa merayu. Lelaki itu lebih suka berpikir dan
bertindak.
”Apakah seseorang yang telah menjalani kesendirian selama puluhan
tahun berani menjalani kebersamaan di bagian akhir masa hidupnya? Bila
mengenang cerita cinta sudah terasa indah, mengapa perlu mempertaruhkan
kebersamaan? Bila kebersamaan itu akhirnya ternyata menyakitkan,
bukankah nikmatnya kesendirian akan menjadi sia-sia? Padahal
kesendirian itu telah dinikmati hingga usia menjelang senja. Tak lama
lagi kematian akan datang untuk memisahkan kebersamaan. Mungkin naif
bila kusimpulkan, semakin tua menjalani kesendirian, semakin takut
menghadapi kebersamaan.”
”Untuk apa kau katakan itu?”
”Karena aku ingin pulang.”
”Pulanglah!” kata Pita ketus. Hatinya meradang. Dengan sigap dia
bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu sebelum air matanya
sempat menetes.
Martohap terkesima. Matanya nanar menatap atap kedai tuak yang tak
berlangit-langit itu. Lalu dia merogoh saku bajunya dan meletakkan
sebuah amplop di atas meja. Langkahnya gontai ketika meninggalkan kedai
tuak yang telah sepi itu.

***
Seperti biasanya, dua jam sebelum tengah malam, Pita selalu sibuk
mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Dia
masih tetap sendirian membersihkan dan merapikan kursi-kursi kedai
tuaknya. Setelah menutup kedai tuaknya, sesekali dia membuka amplop
yang ditinggalkan Martohap. Lalu dibacanya surat pendek itu untuk
kesekian kalinya, ”Pita, hingga sekarang aku tetap mencintaimu! Aku
berbahagia karena tak ada orang yang berhak melarangku untuk berhenti
mengenangmu!”
Pita mengangkat kepalanya. Ditatapnya kegelapan malam. Lalu bibirnya
tersenyum. Ada segumpal kebahagiaan ketika dia membayangkan seorang
lelaki beruban yang tak pernah berani melamarnya.* **

Menteng Metro, Des 2009.


      
_______________________________________________________________________________
Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now!
http://malaysia.toolbar.yahoo.com/

Reply via email to