Yak...siapa lagi yang mau curhat..curahkan lah segalanya disini 
huehehehe...mantap..mantap..

@mBob: blom tau jenis kelaminnya, co atau ce sama saja Bob, yang penting bisa 
tumbuh berkembang dengan sehat dan normal. Gimana pula dengan kalian, mBob? 
Udah ada tanda2 kehidupan baru?

../salam,
   bruly tarigan

--- On Mon, 2/15/10, BOBBY FORMULA <bobby.form...@yahoo.com.my> wrote:

From: BOBBY FORMULA <bobby.form...@yahoo.com.my>
Subject: Re: [KBMSB] Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap
To: kbmsb@yahoogroups.com
Date: Monday, February 15, 2010, 10:31 AM







 



  


    
      
      
      












@Chandra...jadi curhat kau,ya...Dah gimana percintaan mu dgn si Meliza 
hahaha...Piss, Meliza...

@Broely: dah mulai pusing itu kayaknya Bang Sutan kita salip terus haha...kalo 
ada kenalan silahkan direkomendasikan. ..foto dan profile bisa dipost liwat 
milis...biar sama2 kita seleksi buat Bang Sutan hahaha...Gmnn Broel, anak mu 
cowok atau cewek?

-BobbyPowered by Telkomsel BlackBerry®From:  Chandra liembonx <liembonx_1417@ 
yahoo.co. id>
Date: Mon, 15 Feb 2010 11:15:26 +0800 (SGT)To: <kb...@yahoogroups. com>Subject: 
Re: [KBMSB] Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap

 



    
      
      
      semangat buat bang sutannn.....
karena agak kena juga cerita itu bang kesini bang...
hahahha.....


jadi ajang curhat cerita yang dishare bang bob ini....
hahaha...

Chandra Juniando Limbong

http://chandra- limbong.blogspot .com
http://portal- gengsi.blogspot. com


--- Pada Sen, 15/2/10, broely v tarigan <brulytarigan@ yahoo.com> menulis:

Dari: broely v tarigan <brulytarigan@ yahoo.com>
Judul: Re: [KBMSB] Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap
Kepada: kb...@yahoogroups. com
Tanggal: Senin, 15 Februari, 2010, 10:06 AM







 



    
      
      
      Bah..ada yang curhat hehehe
Piss bang..semoga bisa segera lah Bang..
menemukan pengganti (seperti harapan mBob) atau 
melamarnya (seperti cerita postingan mBob).

../salam,
   bruly tarigan

--- On Mon, 2/15/10, BOBBY FORMULA <bobby.formula@ yahoo.com. my> wrote:

From: BOBBY FORMULA <bobby.formula@ yahoo.com. my>
Subject: Re: [KBMSB] Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap
To: kb...@yahoogroups. com
Date: Monday, February 15, 2010, 9:55 AM







 



    
      
      
      Ya,persis seperti pengalaman Bang Sutan dgn kakak kawan awak itu hahaha..,

Moga Bang Sutan segera menemukan penggantinya: )



-Bobby



On Sat Feb 13th, 2010 9:53 PM CST Sutan Sinar Situmorang wrote:



>heheheh Bob... kayak pengalam aku juga Bob... kau tahulah sama siapa itu

>

>--- On Thu, 2/11/10, BOBBY FORMULA <bobby.formula@ yahoo.com. my> wrote:

>

>From: BOBBY FORMULA <bobby.formula@ yahoo.com. my>

>Subject: [KBMSB] Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap

>To: kb...@yahoogroups. com

>Date: Thursday, February 11, 2010, 8:20 AM

>

>

>

>

>

>

>

> 

>

>

>

>  

>

>

>    

>      

>      

>      on ma goarna cinta mallabab =))

>garing2 sebelum kerja,yak... .

>

>-bobby

>

>Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap 

>

>Cerpen

>                                                                               
>      Timbul Nadeak  , sumber: Kompas

>

>Di Kedai Tuak Martohap selalu ada beberapa orang lelaki—biasanya 4

>sampai 5 orang—yang bercakap-cakap sambil minum tuak. Selalu ada cerita

>yang mereka percakapkan. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak. Karena

>mereka bercakap-cakap dengan suara tinggi, maka semua tamu di kedai

>tuak itu tahu apa yang sedang mereka tertawakan. Tapi ada pula cerita

>yang mereka percakapkan dengan suara rendah. Kalau bercakap-cakap

>seperti itu, mereka pasti menggeser gelas dan botol tuak masing-masing

>ke tengah meja agar dapat menyimak sambil melipat kedua tangan di atas

>meja.

>Dua jam sebelum tengah malam, biasanya Pita mulai sibuk mengelap

>sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Membersihkan

>dan merapikan kursi-kursi merupakan isyarat bahwa dia sedang

>bersiap-siap untuk menutup kedai tuaknya. Satu atau dua orang tamu yang

>masih berada di kedainya harus bersiap-siap pula untuk pulang. Tapi

>pada malam itu, ada seorang lelaki beruban yang tidak menunjukkan

>tanda-tanda akan beranjak dari kursinya.

>Pita tersenyum ramah ketika mengamati

>sosok lelaki itu. Tak lama kemudian, senyumnya hilang seketika. Dia

>terkesima. Sekujur tubuhnya sempat bergetar ketika lelaki beruban itu

>membalas tatapannya.

>Pita merasa pernah mengenali wajah lelaki itu. Bahkan pernah

>mengenali tatapannya. Dia ingin segera berlari ke kamarnya untuk

>membuka album masa mudanya. Dia ingin memastikan bahwa wajah lelaki

>beruban itu adalah wajah tua milik seorang pemuda yang pernah

>dikenalnya. Wajah yang sesekali masih mampu menggelorakan rindunya.

>Pita tetap melanjutkan pekerjaannya dengan kepala tertunduk. Ada

>rasa cemas yang tiba-tiba menyergap dirinya sehingga dia segan melirik

>lelaki itu, tapi nalurinya memberitahukan bahwa mata lelaki itu sedang

>mengamati wajahnya, rambutnya, dan sekujur tubuhnya.

>”Aku pernah mengenal seseorang yang mirip kau.”

>Pita menoleh. Tanpa disadarinya, ternyata lelaki itu telah berdiri di dekatnya.

>”Sekarang aku hanya bisa mengenangnya.”

>Pita membisu, tetapi dadanya bergemuruh.

>”Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu. Agar kau tak terganggu, aku

>akan menunggu hingga kau menyelesaikan pekerjaanmu. Setelah itu,

>berilah aku kesempatan untuk bicara.”

>Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita menguatkan 
>hatinya untuk duduk di hadapan lelaki itu.

>”Apa yang ingin kau bicarakan?”

>”Tentang seorang perempuan di masa mudaku, dulu.”

>”Apakah kau merasa aku pernah mengenalmu?”

>Lelaki itu mengangguk, lalu bertanya, ”Apakah suamimu bernama Martohap?”

>Pita membisu.

>”Atau anakmu yang memiliki nama itu?”

>Pita menggeleng.

>Lelaki itu menarik napas panjang. Ada kelegaan terbias di wajahnya.

>Lalu dia berkata dengan santun, ”Aku tidak suka minum tuak. Aku mampir

>karena membaca papan nama di depan kedai tuakmu ini. Nama siapa yang

>kau gunakan?”

>Pita menunduk. Walau telah berhasil memendam cintanya, dia tetap merasa malu 
>untuk menjawab pertanyaan itu.

>”Apakah itu nama seorang lelaki yang pernah kau cintai?”

>”Apakah kau pernah mencintai seorang perempuan?”

>Lelaki itu terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Lalu dia berkata,

>”Maaf karena aku sangat lancang bertanya. Mengapa kau namai Martohap?

>Bukankah nama Songgop lebih berarti untukmu?”

>Sekujur tubuh Pita mulai menggigil.

>”Apakah kau pulang untuk perempuan yang kau cintai itu?”

>”Aku tidak pulang. Aku datang!” jawab lelaki itu. Matanya menatap tajam.

>”Aku yakin bahwa kau mengenal perempuan yang kumaksud. Kira-kira dua

>puluh lima tahun yang lalu, perempuan itu diperistri oleh anak Kepala

>Kampung ini,” sambungnya.

>Pita membisu kembali. Napasnya tersendat.

>”Namaku Martohap.”

>Pita bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu.

>Di dalam kamarnya yang terletak di belakang kedai tuaknya, dia tak

>mampu menahan air matanya walaupun tak tahu pasti apa sesungguhnya yang

>dia tangisi. Apakah dia menangis karena terharu akan pertemuan itu atau

>menangis karena menyesal telah memberikan hatinya kepada lelaki itu.

>Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi hati yang tersisa untuk dia berikan

>kepada lelaki lain.

>Tahun demi tahun telah dilaluinya dalam kesendirian. Dinikmatinya

>kesendirian itu sambil menunggu lelaki itu pulang untuk mengembalikan

>hatinya. Nama lelaki itu digunakannya menjadi nama kedai tuaknya.

>Setiap orang yang melewati kedai tuaknya dapat membaca nama itu dengan

>jelas. Dia memang ingin menyapa dan mengundang lelaki yang memiliki

>nama yang sama untuk singgah di kedai tuaknya.

>Di dalam hatinya, Pita berkali-kali menyebut nama Tuhannya. ”Tuhan,

>akhirnya kau kirimkan lelaki itu untuk menemuiku. Terima kasih Tuhan,

>mendekati usia senja aku masih sempat melihat wajahnya.”

>

>***

>Dua puluh lima tahun yang lalu, Pita sering termenung

>menimbang-nimbang perasaannya. Rencana pernikahan itu membuatnya resah

>dan marah. Berulang-ulang kali pula dia bertanya dalam hati, apakah aku

>benar-benar tega menistakan kehormatan yang telah berada dalam

>genggaman orangtuaku?

>Seminggu sebelum pesta pernikahannya dilaksanakan, terjadi

>demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah pabrik bubur kertas

>ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi pabrik bubur

>kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan tanaman

>industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan.

>Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di

>pinggir jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut

>ditebang untuk memalang jalan. Bahkan batu gunung dilinggis

>beramai-ramai hingga menggelinding ke tengah jalan. Ribuan masyarakat

>berdiri di pinggir jalan sambil membawa spanduk-spanduk tuntutan

>mereka, ”Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan kami”. ”Stop

>menebar racun di Tanah Toba!”.

>Truk-truk pengangkut kayu terpaksa berhenti. Terjadi antrean panjang

>lebih dari 10 jam. Penumpang-penumpang bus lintas Sumatera terpaksa

>turun untuk membantu aparat kepolisian dan TNI. Mereka bekerja sama

>menyingkirkan batang-batang pohon yang menghalangi jalan.

>Dua hari setelah demonstrasi itu, orang-orang asing berseragam dan

>berbaju preman terlihat hilir-mudik ke luar-masuk kampung. Masyarakat

>saling berbisik. ”Kepala Kampung dituduh sebagai penggerak demo.”

>”Beberapa anggota masyarakat sedang dicari.”

>”Yang dicap sebagai tokoh harus segera bersembunyi!” Dan calon

>mertuanya sempat menghilang beberapa hari. Ada yang mengatakan sedang

>ditahan, tapi berita-berita di televisi mengatakan sedang diinterogasi.

>Beberapa hari kemudian, Kepala Kampung kembali terlihat sibuk

>mengadakan rapat dengan masyarakatnya.

>Hari pernikahan itu tentu urung dilaksanakan, tapi tepat pada hari

>itu tersiar kabar pengangkatan kepala kampung yang baru. Masyarakat

>kembali berbisik-bisik.

>”Kepala kampung yang baru itu langsung ditunjuk oleh pemerintah.”

>Pada saat yang sama, calon mertua Pita menyatakan tak akan mundur dari

>jabatannya. Sejak saat itu demonstrasi yang dilaksanakan terpecah dua.

>Ada kubu yang mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan sejak saat itu

>pula, Songgop, pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia dicap

>sebagai salah seorang aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan

>demonstrasi besar-besaran itu.

>Martohap juga menghilang. Masyarakat di kampungnya menganggap dia

>melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si perempuan kampung

>yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap yang menjadi

>pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu.

>Bibir Martohap memang telah membuat kuncup bunga di hati Pita mekar

>bersamaan waktunya dengan sukaria pemuda dan pemudi sekampungnya. Pada

>malam itu, mereka sedang menghias sebuah pohon cemara menjadi pohon

>Natal. Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu kecil

>di antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk

>membantu Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan

>serpihan-serpihan kapas. Ketika pekerjaan mereka selesai, semua lampu

>gereja dimatikan. Kegelapan menyelimuti mereka. Di balik rimbunnya

>pohon Natal, Martohap segera merengkuh dan mendekap tubuh Pita

>erat-erat. Sebelum seseorang mencolokkan kabel ke stop kontak di dekat

>altar gereja, pemuda itu telah selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu

>pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling

>tatap penuh makna. Dan Songgop menatap curiga!

>Dua tahun setelah demonstrasi besar-besaran itu, Songgop kembali ke

>kampungnya. Dia pulang bersama seorang bayi berumur beberapa bulan.

>Bayi itu berada dalam gendongan seorang perempuan yang telah

>dinikahinya di Tanah Karo.

>

>***

>Sebelum tengah hari Pita membuka kedai tuaknya. Tak lama kemudian

>dua orang lelaki masuk dan segera membuka papan catur yang selalu

>tersedia di atas sebuah meja. Tapi sebelum menyusun buah caturya, salah

>seorang menyapa.

>”Tadi malam kulihat kau bercakap-cakap dengan seseorang. Siapa dia?”

>Pita sempat tergagap sebelum menjawab, ”Dia pendatang yang sedang mencari 
>seseorang.”

>”Siapa yang dicarinya?”

>”Katanya adiknya,” jawab Pita sekenanya.

>”Ah, kok bisa dia kehilangan adik? Sudah berapa lama dia merantau?”

>”Aku tak tahu!”

>Lelaki itu terdiam sejenak. ”Aneh juga. Kau lama bercakap-cakap

>dengan dia, tetapi tak tahu berapa lama dia sudah merantau.” Dahinya

>berkerut. ”Sudah kau suruh bertanya ke Kepala Kampung?” sambungnya.

>”Sudah. Kupikir, sekarang dia sedang menemui Kepala Kampung.”

>Lelaki itu berpaling dan mulai melangkahkan buah caturnya.

>Di dapur kedai tuaknya, Pita termenung. Dia menyesal telah

>berbohong, tapi kalau berkata jujur, dia mungkin akan lebih menyesal.

>Mereka akan bertanya, dan bertanya… hingga bisa merangkai sebuah

>cerita. Lalu dia akan selalu curiga bila gelas-gelas dan botol-botol

>tuak terkumpul di tengah meja. Akan semakin curiga bila mereka

>bercakap-cakap dengan suara rendah. Akhirnya terusik ketika mereka

>tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia akan ditertawai di kedai tuaknya

>sendiri. Kalau merasa sungkan, mungkin mereka akan pergi ke kedai tuak

>orang lain dan terbahak-bahak di sana!

>Pita pernah menegur. Dia tahu, saat itu mereka sedang mempercakapkan

>seorang perempuan yang sudah berumur, tetapi belum pernah dinikahi.

>Walaupun bukan dirinya yang sedang mereka percakapkan, tetapi hatinya

>cemas. Sebelum mereka tertawa, dengan lantang dia menegur, ”Sudahlah!

>Jangan mempercakapkan cerita seperti itu. Apa kalian tak ingin menjaga

>perasaanku? !”

>Tegurannya membuat cerita yang sedang mereka percakapkan dianggap

>telah selesai. Biasanya, cerita baru dianggap selesai beberapa menit

>sebelum kedai tuak itu tutup. Tapi kadang-kadang ada juga cerita yang

>bersambung ke malam berikutnya. Bila terjadi seperti itu, biasanya

>seseorang dari malam sebelumnya dituntut untuk mengulang apa yang telah

>dipercakapkan. Jadi selalu ada cerita yang dipercakapkan karena

>orang-orang yang bercakap-cakap pada malam berikutnya, belum tentu

>semua sama dengan orang-orang yang bercakap-cakap pada malam sebelumnya.

>

>***

>Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita

>kembali menguatkan hatinya untuk duduk di hadapan lelaki beruban itu.

>”Mengapa kau datang lagi?”

>”Untuk melihat siapa yang membantumu menutup kedai tuak ini.”

>”Aku sendiri yang melakukannya.”

>”Mengapa suami atau anakmu tak ikut membantu?”

>”Aku belum pernah menikah.”

>Martohap terkejut. Matanya sempat berbinar. Dia baru tahu kalau

>pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal rencana pernikahan itu

>yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan dan selama dua

>puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.

>Walau membisu, Martohap tetap mengamati wajah yang dulu sangat

>dikaguminya. Dulu? Tidak! Tidak! Bantah hatinya seketika. Sekarang pun

>dia masih tetap mengaguminya. Dia memang sangat mengagumi perempuan

>yang tulus dan tegar. Apalagi bila perempuan itu telah membuktikan

>dirinya tulus menikmati kesendiriannya. Tegar mengikuti perjalanan

>hidupnya.

>”Aku pun belum pernah menikah.”

>Pita terbelalak. Untuk apa dia mengatakan itu? Tentu dia tidak

>sedang merayu, katanya dalam hati. Lalu dia tersenyum kecil. Dia tahu,

>Martohap memang tidak bisa merayu. Lelaki itu lebih suka berpikir dan

>bertindak.

>”Apakah seseorang yang telah menjalani kesendirian selama puluhan

>tahun berani menjalani kebersamaan di bagian akhir masa hidupnya? Bila

>mengenang cerita cinta sudah terasa indah, mengapa perlu mempertaruhkan

>kebersamaan? Bila kebersamaan itu akhirnya ternyata menyakitkan,

>bukankah nikmatnya kesendirian akan menjadi sia-sia? Padahal

>kesendirian itu telah dinikmati hingga usia menjelang senja. Tak lama

>lagi kematian akan datang untuk memisahkan kebersamaan. Mungkin naif

>bila kusimpulkan, semakin tua menjalani kesendirian, semakin takut

>menghadapi kebersamaan.”

>”Untuk apa kau katakan itu?”

>”Karena aku ingin pulang.”

>”Pulanglah!” kata Pita ketus. Hatinya meradang. Dengan sigap dia

>bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu sebelum air matanya

>sempat menetes.

>Martohap terkesima. Matanya nanar menatap atap kedai tuak yang tak

>berlangit-langit itu. Lalu dia merogoh saku bajunya dan meletakkan

>sebuah amplop di atas meja. Langkahnya gontai ketika meninggalkan kedai

>tuak yang telah sepi itu.

>

>***

>Seperti biasanya, dua jam sebelum tengah malam, Pita selalu sibuk

>mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Dia

>masih tetap sendirian membersihkan dan merapikan kursi-kursi kedai

>tuaknya. Setelah menutup kedai tuaknya, sesekali dia membuka amplop

>yang ditinggalkan Martohap. Lalu dibacanya surat pendek itu untuk

>kesekian kalinya, ”Pita, hingga sekarang aku tetap mencintaimu! Aku

>berbahagia karena tak ada orang yang berhak melarangku untuk berhenti

>mengenangmu!”

>Pita mengangkat kepalanya. Ditatapnya kegelapan malam. Lalu bibirnya

>tersenyum. Ada segumpal kebahagiaan ketika dia membayangkan seorang

>lelaki beruban yang tak pernah berani melamarnya.* **

>

>Menteng Metro, Des 2009.

>

>      Yahoo! Toolbar is now powered with Free Anti-Virus and Anti-Adware 
> Software.

>

>Download Yahoo! Toolbar now!

>

>

>    

>     

>

>    

>    

>

>

> 

>

>

>

>  

>

>

>

>

>

>

>      



____________ _________ _________ _________ _________ _________ _

New Email addresses available on Yahoo!

Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 

Hurry before someone else does!

http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ my/



    
     



 





      

    
     



 




        Sikap Peduli Lingkungan?  
 Temukan jawabannya di Yahoo! Answers!

    
     

    










    
     

    
    


 



  






      

Kirim email ke