hehehehe wanita yang aneh....sungguh sangat aneh.....

JIL kali tuhhhhhh...

-FJW-

On 2/2/07, Ananto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

  Terhormat Meski Tanpa Jilbab  *Najwa Shihab punya prinsip sendiri
tentang jilbab. Bagi dia, hati "berjibab" lebih baik daripada sekadar jilbab
kepala. *


*Profil, *Maret 2005
TAK SULIT menjumpai Najwa Shihab. Hampir saban hari dia muncul di stasiun
MetroTV. Selama kariernya di televisi itu, yang paling mengharukan saat
Nana, sapaan karibnya, melaporkan kondisi Aceh pasca-Tsunami akhir Desember
lalu. Awal mula dia memberi laporan, meski tampak tegar tapi akhirnya tak
kuasa menahan linangan air mata. Nana menangis.

Saat bertolak ke Aceh, 27 Desember, Nana berniat menggelar talkshow
Today's Dialog di sana. Nana, yang juga co-produser program itu, sebenarnya
telah mempersiapkan talkshow lengkap dengan krunya. Tapi, karena
keterbatasan sarana, hari pertama Nana melaporkan hasil liputannya cuma via
telepon. Laporan langsung lewat satelit baru bisa dilakukannya hari kedua.

Turun dari pesawat rombongan wakil presiden di Blang Bintang, Banda Aceh,
Nana belum merasakan atmosfer kematian. Dia mencium bau anyir darah baru
setelah sampai di Lambaro, Aceh Besar. Di daerah inilah dia melaporkan
kondisi yang dia lihat. Mayat-mayat berserakan. Orang yang masih hidup pun
terlihat bingung. Mereka mencari keluarga dan sanak saudara. Nana
mengatakan, belum pernah melihat orang sedemikian putus asa. Saat itulah
Nana melakukan reportase diiringi tangisan.

Di sana Nana hanya lima hari. Tanggal 31, bersama rombongan wakil presiden
dia kembali ke Jakarta. Pekan pertama setelah peristiwa, dia belum mendengar
isu kristenisasi. "Isu kristenisasi setelah saya di sini, waktu saya di sana
tidak terdengar. Memang ada Worldhelp yang konon mengajak anak-anak keluar
Aceh," ungkap putri kedua Quraish Shihab itu.

Di sana, kata Nana, banyak sekali isu yang berkembang, karena tak ada
komando, tak ada pusat informasi yang jelas. Komunikasi lumpuh. Jadi orang
gampang sekali diprovokasi oleh berbagai isu. Menurut dia, kalau memang
kristenisasi ada itu sangat tercela. Dalam kondisi darurat orang masih
sempat mengurusi agama. "Tapi saya percaya, orang Aceh tidak semudah itu
berubah keyakinan, hanya karena diberi bantuan," ujarnya.


LIPUTAN lima hari itu tak sia-sia. Berkat liputannya itu, pada 2 Februari
2005 lalu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya memberi penghargaan PWI
Jaya Award. Menurut sekretaris PWI Jaya Akhmad Kusaeni, liputan Nana dan
presenter teve-teve lain betul-betul telah membuat Indonesia menangis.

Bukan hanya PWI Jakarta yang menganugerahi Nana, pada Hari Pers Nasional
(HPN) yang dilangsungkan di Pekanbaru, Riau 9 Februari lalu, Nana meraih
penghargaan HPN Award. PWI pusat menilai, Najwa Shihab adalah wartawan
pertama yang memberi informasi tragedi tsunami secara intensif.

Pujian untuk Nana pun meluncur dari pakar komunikasi dari Universitas
Indonesia, Effendy Gazali. Dia menyitir judul film drama komedi terkenal
Amerika, Kramer Vs Kramer yang dianalogikannya menjadi "Shihab Vs Shihab".

Shihab pertama adalah Najwa Shihab, kedua Alwi Shihab, yang masih punya
hubungan saudara dengan Nana. "Najwa mengkritik penanganan bencana yang
dilakukan pemerintah yang diwakili oleh Menko Kesra Alwi Shihab," kata
Effendy Ghazali. Dalam reportasenya, Najwa menyampaikan bahwa bantuan
terlambat dan tak terkoordinasi, sementara mayat-mayat bergelimpangan tidak
tertangani.

"Shihab Vs Shihab", kata Effendy, untuk menggambarkan bagaimana Najwa
Shihab sebagai wartawan tetap garang dalam menyuarakan kepentingan publik
dan korban tsunami di Aceh.


WANITA kelahiran 16 september 1977 ini hidup dalam keluarga religius. Nana
kecil, saat di Makasar, sudah masuk TK Al-Quran. Dia masih ingat betul,
kalau melakukan kesalahan, sang guru memukulnya dengan kayu kecil. Sekolah
Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hidayah (1984-1990), lalu SMP Al-Ikhlas,
Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pada 1990-1993. Aktivitas sampai SMU, dipimpin
ibunya, Nana dengan lima orang saudaranya sejak magrib harus ada di rumah.
"Jadi berjamaah magrib, ngaji Al-Quran, lalu ratib Haddad bersama. Itu
ritual keluarga sampai saya SMU." Setelah kuliah, karena banyak kegiatan,
Nana baru boleh keluar setelah magrib.

Keluarganya memang sangat memprihatikan faktor pendidikan. "Pendekatan
pendidikan di keluarga tidak pernah dengan cara-cara yang otoriter. Saya
rasa itu sangat mempengaruhi, bagaimana pola didik orang tua ke anak akan
mempengaruhi perilaku," ujarnya.

Pendidikan, bagi keluarga Shihab, adalah nomor wahid, tidak bisa
ditawar-tawar. Dulu waktu kelas dua SMU, Nana dapat kesempatan AFS (America
Field Service), program pertukaran pelajar ke Amerika. Sempat keluarga
menolak karena harus melepas selama setahun anak cewek yang baru usia 16
tahun tinggal di keluarga asuh. "Sempat terjadi perdebatan keluarga. Waktu
itu yang paling mendukung ayah saya. Apa pun untuk pendidikan akan
diperbolehkan, dalam usia itu pun beliau sudah memberikan kepercayaan,
walaupun di sana dia sudah dibekali agama, mereka percaya shalatnya tidak
akan ditinggal. Dan alhamdulillah saya bisa menjaga kepercayaan itu," cerita
Nana.

Quraish Shihab, pakar tafsir itu, bagi Nana, adalah sosok bapak yang
santai. "Seneng joke-joke Abu Nawas, ketawa-ketawa," kisahnya. Jadi beliau,
kata Nana, membebaskan pilihan kepada anak-anaknya untuk sekolah ke mana
saja.

Tidak hanya persoalan pendidikan, kebebasan juga diberikan oleh sang bapak
untuk menentukan pasangan hidupnya. "Bahkan saat saya memutuskan untuk nikah
muda, 20 tahun, ayah memberi kepercayaan. Bagi beliau yang penting kuliah
selesai." Menjelang pernikahan, kata Nana, keluarga sempat ragu, tapi karena
pengalaman kakak yang nikah saat usia 19 tahun akhirnya diizinkan. Tapi
sebelum itu mereka sekeluarga umroh dulu. "Di sana ayah bertanya, 'udah
mantep?' saya jawab, 'udah'. Ya sudah diizinkan," tutur Nana.


KENDATI dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan.
Menurut Nana, kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga
tidak apa-apa. "Saya sih seperti itu dan saya percaya itu."

Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah
terhormat. Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang
berjilbab sangat terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal
itu. Menurut Nana, yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk
terhormat selain dengan jilbab. "Tidak pernah ada keharusan untuk
berjilbab," ucapnya.

Dengan cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang
komplain. "Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya
membolehkan, membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah
saya. Kalau ada yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang:
ya insyaallah mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok."

Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai
jilbab, mungkin suatu saat. "Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban
atau beban untuk berjilbab," katanya, "Karena sejauh saya bisa menjalankan
kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak."

Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak
terpengaruh. Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada
pada jalur yang benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan
memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan memakainya. "Apa yang dilakukan orang
kan bukan berarti kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab
kemudian saya ikut. Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu,"
ujarnya.

[*Banani Bahrul-Hassan, Imam Shofwan*]




--
Regards,
-Foryanto J. Wiguna-

Kirim email ke