Mas Ananto....tentu saja yang dibahas di sini 
pake jilbab yang syari',,,buka yang menunjukkan tentang
ke"lepetannya" (lucu juga ya bahasanya...)

pasti mas Ananto nanya yang syari' itu yang gimana??
cuma nebak loh (hehhe)

50 + 50= cepe deh...!

salam

  ----- Original Message ----- 
  From: Kartika, Bambang 
  To: keluarga-islam@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, February 19, 2007 11:19 AM
  Subject: RE: [keluarga-islam] Terhormat Meski Tanpa Jilbab



  Kita semua tau kue lepet ? Pertanyaan saya,......bagaimana kalau pakai jilbab 
tetap saja seperti kue lepet ?

    -----Original Message-----
    From: keluarga-islam@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] Behalf Of 
Foryanto J. Wiguna
    Sent: Thursday, February 15, 2007 3:32 PM
    To: keluarga-islam@yahoogroups.com
    Subject: Re: [keluarga-islam] Terhormat Meski Tanpa Jilbab


    hehehehe wanita yang aneh....sungguh sangat aneh.....

    JIL kali tuhhhhhh...

    -FJW-



    On 2/2/07, Ananto < [EMAIL PROTECTED]> wrote: 

      Terhormat Meski Tanpa Jilbab 
      Najwa Shihab punya prinsip sendiri tentang jilbab. Bagi dia, hati 
"berjibab" lebih baik daripada sekadar jilbab kepala. 
       
      Profil, Maret 2005

      TAK SULIT menjumpai Najwa Shihab. Hampir saban hari dia muncul di stasiun 
MetroTV. Selama kariernya di televisi itu, yang paling mengharukan saat Nana, 
sapaan karibnya, melaporkan kondisi Aceh pasca-Tsunami akhir Desember lalu. 
Awal mula dia memberi laporan, meski tampak tegar tapi akhirnya tak kuasa 
menahan linangan air mata. Nana menangis. 

      Saat bertolak ke Aceh, 27 Desember, Nana berniat menggelar talkshow 
Today's Dialog di sana. Nana, yang juga co-produser program itu, sebenarnya 
telah mempersiapkan talkshow lengkap dengan krunya. Tapi, karena keterbatasan 
sarana, hari pertama Nana melaporkan hasil liputannya cuma via telepon. Laporan 
langsung lewat satelit baru bisa dilakukannya hari kedua. 

      Turun dari pesawat rombongan wakil presiden di Blang Bintang, Banda Aceh, 
Nana belum merasakan atmosfer kematian. Dia mencium bau anyir darah baru 
setelah sampai di Lambaro, Aceh Besar. Di daerah inilah dia melaporkan kondisi 
yang dia lihat. Mayat-mayat berserakan. Orang yang masih hidup pun terlihat 
bingung. Mereka mencari keluarga dan sanak saudara. Nana mengatakan, belum 
pernah melihat orang sedemikian putus asa. Saat itulah Nana melakukan reportase 
diiringi tangisan. 

      Di sana Nana hanya lima hari. Tanggal 31, bersama rombongan wakil 
presiden dia kembali ke Jakarta. Pekan pertama setelah peristiwa, dia belum 
mendengar isu kristenisasi. "Isu kristenisasi setelah saya di sini, waktu saya 
di sana tidak terdengar. Memang ada Worldhelp yang konon mengajak anak-anak 
keluar Aceh," ungkap putri kedua Quraish Shihab itu. 

      Di sana, kata Nana, banyak sekali isu yang berkembang, karena tak ada 
komando, tak ada pusat informasi yang jelas. Komunikasi lumpuh. Jadi orang 
gampang sekali diprovokasi oleh berbagai isu. Menurut dia, kalau memang 
kristenisasi ada itu sangat tercela. Dalam kondisi darurat orang masih sempat 
mengurusi agama. "Tapi saya percaya, orang Aceh tidak semudah itu berubah 
keyakinan, hanya karena diberi bantuan," ujarnya. 


      LIPUTAN lima hari itu tak sia-sia. Berkat liputannya itu, pada 2 Februari 
2005 lalu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya memberi penghargaan PWI Jaya 
Award. Menurut sekretaris PWI Jaya Akhmad Kusaeni, liputan Nana dan presenter 
teve-teve lain betul-betul telah membuat Indonesia menangis. 

      Bukan hanya PWI Jakarta yang menganugerahi Nana, pada Hari Pers Nasional 
(HPN) yang dilangsungkan di Pekanbaru, Riau 9 Februari lalu, Nana meraih 
penghargaan HPN Award. PWI pusat menilai, Najwa Shihab adalah wartawan pertama 
yang memberi informasi tragedi tsunami secara intensif. 

      Pujian untuk Nana pun meluncur dari pakar komunikasi dari Universitas 
Indonesia, Effendy Gazali. Dia menyitir judul film drama komedi terkenal 
Amerika, Kramer Vs Kramer yang dianalogikannya menjadi "Shihab Vs Shihab". 

      Shihab pertama adalah Najwa Shihab, kedua Alwi Shihab, yang masih punya 
hubungan saudara dengan Nana. "Najwa mengkritik penanganan bencana yang 
dilakukan pemerintah yang diwakili oleh Menko Kesra Alwi Shihab," kata Effendy 
Ghazali. Dalam reportasenya, Najwa menyampaikan bahwa bantuan terlambat dan tak 
terkoordinasi, sementara mayat-mayat bergelimpangan tidak tertangani. 

      "Shihab Vs Shihab", kata Effendy, untuk menggambarkan bagaimana Najwa 
Shihab sebagai wartawan tetap garang dalam menyuarakan kepentingan publik dan 
korban tsunami di Aceh.


      WANITA kelahiran 16 september 1977 ini hidup dalam keluarga religius. 
Nana kecil, saat di Makasar, sudah masuk TK Al-Quran. Dia masih ingat betul, 
kalau melakukan kesalahan, sang guru memukulnya dengan kayu kecil. Sekolah 
Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hidayah (1984-1990), lalu SMP Al-Ikhlas, 
Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pada 1990-1993. Aktivitas sampai SMU, dipimpin 
ibunya, Nana dengan lima orang saudaranya sejak magrib harus ada di rumah. 
"Jadi berjamaah magrib, ngaji Al-Quran, lalu ratib Haddad bersama. Itu ritual 
keluarga sampai saya SMU." Setelah kuliah, karena banyak kegiatan, Nana baru 
boleh keluar setelah magrib. 

      Keluarganya memang sangat memprihatikan faktor pendidikan. "Pendekatan 
pendidikan di keluarga tidak pernah dengan cara-cara yang otoriter. Saya rasa 
itu sangat mempengaruhi, bagaimana pola didik orang tua ke anak akan 
mempengaruhi perilaku," ujarnya. 

      Pendidikan, bagi keluarga Shihab, adalah nomor wahid, tidak bisa 
ditawar-tawar. Dulu waktu kelas dua SMU, Nana dapat kesempatan AFS (America 
Field Service), program pertukaran pelajar ke Amerika. Sempat keluarga menolak 
karena harus melepas selama setahun anak cewek yang baru usia 16 tahun tinggal 
di keluarga asuh. "Sempat terjadi perdebatan keluarga. Waktu itu yang paling 
mendukung ayah saya. Apa pun untuk pendidikan akan diperbolehkan, dalam usia 
itu pun beliau sudah memberikan kepercayaan, walaupun di sana dia sudah 
dibekali agama, mereka percaya shalatnya tidak akan ditinggal. Dan 
alhamdulillah saya bisa menjaga kepercayaan itu," cerita Nana. 

      Quraish Shihab, pakar tafsir itu, bagi Nana, adalah sosok bapak yang 
santai. "Seneng joke-joke Abu Nawas, ketawa-ketawa," kisahnya. Jadi beliau, 
kata Nana, membebaskan pilihan kepada anak-anaknya untuk sekolah ke mana saja. 

      Tidak hanya persoalan pendidikan, kebebasan juga diberikan oleh sang 
bapak untuk menentukan pasangan hidupnya. "Bahkan saat saya memutuskan untuk 
nikah muda, 20 tahun, ayah memberi kepercayaan. Bagi beliau yang penting kuliah 
selesai." Menjelang pernikahan, kata Nana, keluarga sempat ragu, tapi karena 
pengalaman kakak yang nikah saat usia 19 tahun akhirnya diizinkan. Tapi sebelum 
itu mereka sekeluarga umroh dulu. "Di sana ayah bertanya, 'udah mantep?' saya 
jawab, 'udah'. Ya sudah diizinkan," tutur Nana. 


      KENDATI dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. 
Menurut Nana, kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga 
tidak apa-apa. "Saya sih seperti itu dan saya percaya itu." 

      Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah 
terhormat. Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang 
berjilbab sangat terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal 
itu. Menurut Nana, yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk 
terhormat selain dengan jilbab. "Tidak pernah ada keharusan untuk berjilbab," 
ucapnya. 

      Dengan cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang 
komplain. "Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya 
membolehkan, membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah 
saya. Kalau ada yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang: ya 
insyaallah mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok." 

      Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai 
jilbab, mungkin suatu saat. "Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban 
atau beban untuk berjilbab," katanya, "Karena sejauh saya bisa menjalankan 
kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak." 

      Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak 
terpengaruh. Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada 
pada jalur yang benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan 
memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan memakainya. "Apa yang dilakukan orang kan 
bukan berarti kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian 
saya ikut. Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu," ujarnya. 

      [Banani Bahrul-Hassan, Imam Shofwan]




    -- 
    Regards,
    -Foryanto J. Wiguna- 



------------------------------------------------------------------------------

  This message (including any attachments) is only for the use of the person(s) 
for whom it is intended. It may contain Mattel confidential, proprietary and/or 
trade secret information. If you are not the intended recipient, you should not 
copy, distribute or use this information for any purpose, and you should delete 
this message and inform the sender immediately. 

   

Kirim email ke