Aktor Intelektual Tragedi Mina

Oleh: Ali Mustafa Yaqub






Prosesi ibadah haji tahun 1436 H/2015 M selesai sudah. Sebagian jamaah haji
telah pulang ke negara masing-masing, sementara sebagian yang lain masih
berziarah ke kota suci Madinah.




Ada catatan pahit yang harus ditelan oleh umat Islam pada musim haji tahun
ini, yaitu tragedi di Mina yang menelan korban lebih dari 1.000 orang.
Sepanjang sejarah kontemporer ibadah haji, setiap tahun memang ada musibah.




Apalagi jika yang disebut dengan musibah itu, adanya jamaah yang meninggal
meskipun karena faktor sakit. Namun tampaknya, ada karakter yang berbeda
antara musibah-musibah haji yang terjadi sebelum tahun 1980 dan
musibah-musibah haji yang terjadi sesudahnya.




Sebelum tahun 1980, musibah-musibah di Mina lebih bersifat alami dan tidak
menelan korban yang banyak. Akan tetapi, setelah tahun 1980,
musibah-musibah di Mina memiliki beberapa kejanggalan karena musibah itu di
samping menelan korban yang massal sampai ratusan bahkan ribuan jamaah,
polanya juga sama, yaitu jamaah terinjak-injak.




Sebagai seorang yang pernah tinggal di Arab Saudi sejak tahun 1976 hingga
1985, dan selalu mengikuti prosesi ibadah haji bahkan sesudah itu, kami
melihat adanya beberapa kejanggalan dalam tragedi Mina, khususnya yang
terjadi pada tahun 2015 ini. Apabila apa yang diberitakan itu benar bahwa
pada Kamis, 10 Dzulhijah, jamaah haji yang berjalan menuju tempat
pelontaran Jamrah Aqabah, tiba-tiba yang di depan berhenti sehingga yang di
belakang berdesakan sampai terinjak-injak dan mati, dan yang mati berjumlah
1.095 orang, maka hal itu tampaknya sulit dapat diterima oleh akal yang
sehat.




Sebab, para jamaah yang hendak melontar Jamrah Aqabah itu sedang dalam
kondisi ngantuk, letih, dan lapar akibat pada Rabu, ketika mereka wukuf di
Arafah, seharian mereka tidak bisa istirahat. Malam hari juga, dalam
perjalanan dari Arafah ke Mina, mereka tidak bisa tidur. Sementara pagi
harinya, mereka kebanyakan belum mendapat sarapan. Karenanya, perjalanan
mereka itu tidaklah cepat melainkan agak santai.




Pada tahun 2000, ketika kami diundang oleh Pemerintah Arab Saudi untuk
memberikan penyuluhan haji melalui radio dan saluran televisi Arab Saudi,
dari lereng gunung di Mina kami sempat memantau perjalanan jamaah haji.
Ternyata, perjalanan mereka itu pelan, tidak berlari, tanpa berdesakan.
Berdesakan hanya terjadi ketika mereka sedang melontar Jamrah Aqabah.




Jamaah haji yang berjalan seperti itu, apabila jamaah yang di depan
tiba-tiba berhenti, tampaknya sulit diterima akal apabila jamaah di
belakangnya langsung terinjak-injak. Apalagi karakter haji adalah
beribadah, dan orang yang beribadah selalu akan menolong orang lain.




Sekiranya ada 100 orang yang jatuh dan terinjak-injak sampai mati, maka
yang seribu orang tentunya akan berusaha menghindarkan diri dengan mundur
ke belakang. Akan tetapi, seperti diberitakan justru semuanya mati
terinjak-injak. Maka suatu hal yang mungkin sekali bahwa ada kelompok
jamaah haji yang memang mendapatkan tugas untuk merobohkan jamaah yang
lain, kemudian kelompok yang lainnya menginjak-injak mereka sehingga yang
roboh itu kemudian mati.




Boleh jadi juga, ada kelompok yang sengaja mau melakukan bunuh diri dengan
merobohkan diri dan diinjak-injak. Apabila perkiraan ini benar, maka hal
itu bukanlah perbuatan orang yang beribadah haji, melainkan perbuatan
orang-orang yang sengaja membuat kekacauan.




Pada tahun 2000, kami mencoba untuk melontar Jamrah Aqabah pada tanggal 10
Dzulhijah dari lantai atas. Waktu itu tempat pelontaran Jamrah baru ada dua
lantai. Situasi saat itu sangat padat sehingga kami gagal untuk melontar
jamrah dari lantai atas. Akhirnya, kami berhasil melontar jamrah lewat
lantai bawah. Pada saat itu, tidak ada satu pun jamaah yang terjatuh
apalagi terinjak-injak sampai mati.




Kepadatan yang lebih parah lagi sebenarnya terjadi ketika jamaah haji
sedang melakukan thawaf khususnya tawaf ifadhah. Para jamaah hampir bisa
disebut berimpitan. Kendati demikian, tidak ada jamaah yang terjatuh
apalagi terinjak-injak. Sekiranya ada kecelakaan di mana salah satu jamaah
terjatuh, maka tentu yang lain akan segera menolong. Oleh karena itu,
tragedi jamaah terinjak-injak yang berulang kali di Mina itu tampaknya
memang didesain oleh kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu pula.




Di antara kepentingan itu adalah pertama, ingin memberikan kesan kepada
dunia bahwa Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak mampu menjamin keamanan
para jamaah haji. Berikutnya adalah untuk memberikan rasa takut kepada umat
Islam agar mempertimbangkan kembali niatnya untuk beribadah haji karena
Mina adalah kuburan massal, siapa yang datang ke Mina sama artinya dengan
setor nyawa.




Ronde berikutnya seperti yang sudah tampak digelindingkan adalah munculnya
pendapat bahwa kota suci Makkah harus dikelola secara internasional karena
Makkah milik umat Islam. Apabila wacana ini menggelinding, maka akan
terjadi negara-negara Muslim saling berebut untuk mendapatkan kesempatan
mengelola tanah suci Makkah.




Akhirnya, yang terjadi justru konflik antarumat Islam. Maka sangat baik
merenungkan kembali Protokol Zionisme nomor 7 yang menyatakan, "Untuk
kawasan Eropa dan demikian pula benua-benua lain, kita wajib menciptakan
konflik, mengobarkan api permusuhan dan pertentangan." Dalam kurun waktu
paling lama 10 tahun, tidak mustahil, tragedi serupa akan terulang lagi
karena memang sudah ada yang mendesain kecuali apabila aktor intelektual
dan kelompok jamaah haji yang selalu membuat keonaran di tanah suci itu
tidak dizinkan lagi memasuki Arab Saudi. []






REPUBLIKA, 09 Oktober 2015, 13:00 WIB
Ali Mustafa Yaqub | Imam Besar Masjid Istiqlal






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke