Apa Kabar Pancasila?

Oleh: Cholil Nafis






Besok kita akan berganti tanggal sekaligus berganti bulan, yaitu tanggal 1
Oktober yang selalu dikenang sebagai hari kesaktian Pancasila. Apakah
Pancasila masih sakti? Tentunya sampai saat ini Pancasila masih sakti
mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu dalam Bingkai Negara Kesatuan
Indonesia (NKRI).




Pada masa Orde Baru (Orba) 1 Oktober selalu diperingati sebagai hari
Kesaktian Pancasila dengan gegap gempita dan ditetapkan sebagai hari libur
nasional. Kesaktian Pancasila pada masa Orba identik dengan kehebatan
Pancasila menjaga NKRI sehingga mampu menumpas Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang telah melakukan kekerasan dan pembunuhan demi mencapai ambisi
politiknya.




Namun di era Orba, Pancasila telah menjadi alat politik untuk menjatuhkan
lawan politik penguasa. Kelompok yang berbeda pandangan dengan penguasa
dicap sebagai orang yang tidak pancasilais dan subversi terhadap negara
yang sah.




Di era reformasi peringatan kebangkitan Pancasila nyaris tak terdengar,
tidak termasuk hari libur nasional. Dan, bahkan nyaris tak ada upacara
resmi memperingati hari Kesaktian Pancasila, baik di kantor-kantor
pemerintah atau di sekolah-sekolah. Pancasila terlupakan dan cenderung
terstigma sebagai produk Orba sehingga tak lagi popular dan bagi sebagian
masyarakat tak membangggakan  ketika menyebut Pancasila.




Penyimpangan terhadap makna dan falsafah negara dalam konteks politik
jangan sampai mengakibatkan pada abainya warga negara pada dasar negara.
Memang kesaktian Pancasila bukan karena menumpas PKI tetapi sejujurnya
kesatian itu karena mampu menyatukan semua elemin dan keyakinan anak bangsa
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.




Pemaknaan Pancasila tak perlu terfokus pada peristiwa Gerakan 30 September
1965 PKI membunuh enam jendral dan satu perwira sehingga terjadi pembunuhan
massal terbesar di abad 20 ini, tetapi lebih pada makna Pancasila sebagai
"kalimat tengah" diantara pluralitas anak bangsa.
Kini Pancasila di kalangan warga negara nyaris tak pernah terdangar sebagai
dalil pandangan hidup, falsafah bernegara dan sistem nilai berbangsa.




Bahkan ironi, ada segelintar masyarakat yang ingin merubah dasar negara
dengan agama atau merubah negara menjadi libral. Kini maraknya radikalisme
dengan atas nama agama karena merubah NKRI dengan negara agama. Bahkan
melakukanya dengan cara kekerasan. Ironi, anak bangsa yang tak lagi cinta
Pancasila sehingga ingin merubah negara Indonesia menganut sistem libral.
Kedua arus negatif itu sedang menggerus keutuhan NKRI sekaligus melemahkan
rasa nasionalisme.




Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai nilai sejarahnya. Termasuk
melestarikan capaian peradaban bangsa dan melanjutkan cita-cita para
pahlawannya. Indonesia telah berhasil mencapai peradaban kemanusiaan dalam
membangun dasar dan sistem negara sehingga menyatukan bangsa Indonesia
dalam kesatuan Republik Indonesia. Bayangkan Indonesia yang besar: terdiri
dari 17508 pulau dan pendudunyak 237,6 juta, lebih dari 300 bahasa,
mengakui enam agama dan kepercayaan, dan terdiri dari bermacam-maca suku
dan golongan namun dapat disatukan dalam satu negara.




Kebhinekaan Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu itulah ciri
Indonesia. Pluralitas adalah sesuatu yang niscaya dan persatuan adalah
bingkai kelestariannya. Tekat masyarakat Indonesia untuk bersatu dalam satu
kesatuan negara karena dasar negaranya adalah Pancasila yang mengakomudir
seluruh budaya, keyakinan dan Bahasa rakyat Indonesia. Jika kebhinekaan
terhapus dari sistem negara maka tak dapat dibayangkan NKRI akan tetap
bertahan. Menjaga harmoni keragaman Indonesia adalah hal yang niscaya untuk
keutuhan NKRI.




Kebinekaan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Piagam Madinah
(al-shahifah al-Madindah) sebagai konsitutisi pertama dalam Islam
mengajarkan kebinekaan. Bahwa umat Islam, Kristen dan Yahudi di Madinah
saat itu bersatu padu dalam membela negara dan patuh pada konsensus
nasional Madinah. Siapa pun yang melakukan pembangkangan terhadap
konstitusi Madinah maka akan diperangi bersama-sama tanpa melihat suku dan
agamanya.




Indonesia punya konstitusi yang mirip dengan konstitusi Madinah, bahwa
setiap warga negara dijamin untuk menjalankan ajaran agama dan tidak boleh
menyiarkan agama dengan menistakan agama lain. Ini termaktub dalam UUD
1945, Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I Ayat (2); dan Pasal 29
Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya.




Piagam Madinah menanamkan nilai nasionalisme kolektif tanpa melihat
keyakinan agamanya. Dalam pasal 37 menyebutkan tentang umat Islam, umat
Yahudi dan Nasrani untuk mengorbankan harta dan jiwanya untuk memerangi
orang menyerang keutuhan negara Madinah. Konstitusi Madinah menempatkan
nasionalisme sebagai kesadaran kolektif demi keutuhan negara.




Konsitusi Indonesia hampir sama dengan Konstitusi Madinah menempatkan
nasionalisme sebagai jangkar NKR. Semboyan bangsa Indonesia Binneka Tunggal
Ika, baik secara suku, Bahasa dan agama terakomodir dalam bingkai NKRI.
Bagi bangsa Indonesia, nasionalisme merupakan sesuatu yang sangat mendasar
karena  telah mengantarkan bangsa Indonesia dalam mengarungi hidup dan
kehidupannya.




Nasionalisme adalah manifestasi kesadaaran bernegara atau semangat
bernegara. Sehingga barang siapa yang merasa dirinya adalah warga negara
yang memiliki jiwa nasionalisme, selayaknya membuktikan dengan perbuatan
yang nyata untuk menunjukkan rasa cinta pada negaranya.


Nasionalisme di Indonesia lahir dengan proses yang panjang, tidak instan.
Sehingga dalam perkembanganya tampak bahwa proses pendewasaan dan
kematangan konsep nasionalisme Indonesia bergerak dari nasionalisme
kultural, berkembang ke sosioekonomis, dan memuncak manjadi nasionalisme
politik revolusioner yang mempunyai aspek multidimensional.




Nasionalisme Indonesia secara umum bertujuan untuk memperhebat nation
building dan character building sesuai dengan falasafah dan pandangan hidup
bangsa. Pancasila, inilah cara pandang yang digunakan dalam membangun
nasionalisme bangsa. Dengan cara pandang tersebut kita dapat membangun
nasionalme. Tegaknya nasionalisme dibangun diatas tiga pilar dan konsensus
nasional. Yaitu UUD, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI dalam kerangka dan dasar
Pancasila. []






DETIK, 30 September 2015


KH Cholil Nafis | Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke