Haji Mabrur, Para Penegak Kehendak Tuhan

Oleh: Nihayatul Wafiroh




Sistem ritual dan sistem nilai selalu inheren di dalam setiap agama. Islam
memiliki dua sistem tersebut dan menganggap keduanya sama-sama penting.
Agama yang hanya dibangun di atas sistem ritual hanya akan menjadikan agama
hampa dan semu. Sebab sistem nilai itulah yang pada hakikatnya akan
menentramkan dan menunjukkan ‘jalan yang benar’ bagi pemeluk agama.




Haji merupakan salah satu sistem ritual dalam Islam dan menjadi rukun dalam
Islam yang mengandung nilai-nilai. Pelaksanaan haji tanpa menyelami
nilai-nilai haji hanya akan menjadikan haji sebagai tamasya biasa, sehingga
tidak memberikan pengaruh apa-apa yang kuat sepulang haji kepada pelaku
haji tersebut. Maka janganlah heran jika banyak orang yang sudah haji,
tetapi masih melakukan korupsi, masih membuat keputusan yang tidak adil,
masih suka mendhalimi dan lain-lain. Itu semua akibat dari tidak adanya
penghayatan, transformasi dan kontekstualisasi terhadap nilai-nilai yang
ada di dalam ritual haji.




Singkatnya, haji diharapkan dapat membekas di dalam jiwa pelakunya melalui
upaya-upaya peresapan nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya.
Tetapi, nilai-nilai yang diresapi itu juga bisa melahirkan dampak positif
dalam bentuk hasil nyata yang diaktualisasikan ke dalam bentuk amaliah
positif kehidupan nyata.




Sebab, kata Farid Esack dalam On Being a Muslim, di dalam haji (perjalanan
ke Makkah), terdapat pertemuan akar umat Islam yakni akar geneologis, akar
religius dan akar spiritual. Akar geneologis karena Adam dan Hawa bertemu
di padang Arafah, yang terletak di Makah, setelah perpisahan mereka dengan
surga. Akar religius karena Gua Hira, tempat pertama kali Nabi Muhammad
menerima wahyu, merupakan aspek fisik permulaan Islam sebagai agama. Dan
terakhir akar spiritual karena Ka’bah merupakan simbol kehadiran Allah.




Hampir setiap jenis ritual memuat simbol-simbol, begitu juga dengan ibadah
haji. Untuk menyelami dan menghayati nilai-nilai haji, pelaku haji mau
tidak mau harus mampu menyingkap makna di balik simbol-simbol haji. Di
antara simbol-simbol haji yang perlu dimaknai, paling tidak, adalah ka’bah,
ihram, sa’i, dan wukuf di ‘Arafah.




Ihram adalah menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan lembaran kain putih
tak berjahit. Menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam
perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial.
Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta
menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan
demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Tak heran jika
Gus Mus—panggilan akrab KH. Mustofa Bisri—seringmenyebut haji sebagai gladi
resik kematian.




Apa sebenarnya makna pakaian ihram warna putih itu? Para pelaku haji
(hujjaj) adalah tamu-tamu Allah (duyufullah). Meraka mendatangi baitullah
(Rumah Allah) dengan berpakaian putih. Putih adalah simbol kesucian yang
utuh. Oleh karena itu, menghadap kepada-Nya  harus dilandasi kesucian hati
dan niat, sehingga tidak ada tendensi apapun  kecuali hanya memenuhi
panggilan Allah. Semua hujjah diharuskan menggunakan pakaian ihram yang
berwarna putih. Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah, tama-tamu itu
diperlakukan sama, tidak ada perbedaan. Semuanya berpakaian putih,
kaya-miskin, tua-muda, semuanya berstatus sama.




Di dalam berpakaian ihram, hujjaj pun dikenai peraturan yang ketat,
misalnya, tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh memotong atau mencabut
tanam-tanaman, tidak boleh menggunakan parfum, tidak boleh bersetubuh,
tidak boleh melakukan kekerasan dan lain-lain. Larangan-larangan itu pada
hakikatnya mengajarkan hujjaj tentang pembatasan konsumsi, pengekangan hawa
nafsu dan menjauhi tamak. Sebab kata ihram itu sendiri memiliki makna
batas, larangan atau tabu.




Sa’i, atau lari-lari kecil di antara bukti Safa dan Marwa merupakan
dinamika hidup, yakni sebuah usaha tak kenal lelah demi mempertahankan
hidup, sebagaimana Hajar ketika kehausan dan tidak menemukan adanya
tanda-tanda air di sekitarnya. Dia tidak hanya duduk diam menunggu mukjizat
datang, namun dia berlari-lari dari bukit Safa ke Marwa hingga akhirnya
mendapatkan sumber mata air.




Sa’i dilakukan secara bolak-balik hingga tujuh kali dimulai dari bukit
Safa—Safa  artinya cinta kasih kepada sesama—dan diakhiri di bukit Marwa
(Muruwwah), yang berarti bentuk ideal kemanusiaan. Sehingga pada hakikatnya
Sa’i mengajarkan manusia untuk mencintai dan menyayangi sesama hingga
muncullah kedamaian kemanusiaan yang ideal.




Simbol penting lainnya adalah wukuf di Arafah. Seperti yang diungkapkan
oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang
berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang.
Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula
berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Mahaesa. Tidak
ada perbedaan sama sekali. Yang ada, persamaan dari sisi kemanusiaan,
persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama.




Di Arafah, hujjaj dianjurkan untuk berdoa seharian penuh pada hari ke
sembilan bulan Dzulhijjah. Arafah berarti pengetahuan (ma’rifah). Saat
wukuf di Arafah adalah saat musyahadah atau ma’rifah, yakni suatu kondisi
keimanan yang sempurna dan kehangatan cinta yang membara kepada-Nya. Dengan
keterbakaran cinta, Hujjaj akan mengalami fana' (lebur dirinya dan hilang
sama sekali) sehingga tidak ada yang disaksikannya kecuali siapa yang
dicintainya. Hujjaj akan iri kepada segala sesuatu, walaupun kepada matanya
sendiri. Berangkat menuju Arafah berarti berangkat menuju keasyikan
berdialog dengan Allah. Di sinilah komunikasi terbangun antara hujjah dan
Allah sehingga hujjaj bisa mengetahui ‘kehendak-kehendak’ Allah yang
kemudian dijalankan di muka bumi.




Itulah sebagian dari simbol-simbol haji yang penting untuk dikuak maknanya
(kontekstualisasi). Islam bukanlah agama ritual belaka tetapi Islam adalah
agama keimanan, yang memiliki nilai-nilai pengabdian dan amal. Nilai-nilai
pengabdian dan amal yang diambilkan dari pemaknaan terhadap simbol-simbol
tersebut harus diekspresikan dalam konteks bermasyarakat di mana setiap
individu terlibat di dalamnya.




Apabila para hujjaj—yang jumlahnya ratusan ribu dalam setiap tahun--mampu
melakukan hal ini, kiranya akan lahirlah reformis-reformis sejati yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia untuk menegakkan ‘kehendak’ Tuhan di
muka bumi. Bukankah kata mabrur—berasal dari akar kata birr—adalah pangkat
bagi pencapaian puncak kebaikan dalam hubungan spesifik antara manusia dan
Tuhan? []






Penulis adalah Anggota DPR RI






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke