HARI SANTRI

Resolusi Jihad NU


Sabtu, 10/10/2015 17:09






[image: Resolusi Jihad NU]






70 tahun lalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di
seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois
Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary dideklarasikanlah perang
kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini
populer dengan istilah Resolusi Jihad.






Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu
kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara
pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai
syahid. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Meski darah
para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang kota
Surabaya selama tiga minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu
akhirnya kalah.






Pasukan Inggris mendarat di Jakarta pada pertengahan September 1945 dengan
nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pergerakan pasukan
Inggeis tidak dapat dibendung. Sementara pemerintah RI yang berpusat di
Jakarta menginginkan berbagai penyelesaian diplomatik sembari menata
birokrasi negara baru, mendorong terbentuknya partai-partai politik dan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pasukan Inggris telah menduduki Medan,
Padang, Palembang, Bandung, dan Semarang lewat pertempuran-pertempuran
dahsyat. Sebagian pendudukan ini juga mendapat bantuan langsung dari Jepang
yang kalah perang, sebagai konsekuensi dari alih kuasa. Sedangkan kota-kota
besar di kawasan timur Indonesia telah diduduki oleh Australia.






Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan
sekitar 6.000 orang yang terdiri dari serdadu jajahan India. Di belakangnya
membonceng pasukan Belanda yang masih bersemangat menguasai Indonesia.
Resolusi Jihad meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci
melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan disambut rakyat
dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai dan
pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang
dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan
pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai
sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.






Di saat-saat yang bersamaan, saat-saat perang kemerdekaan sedang berkecamuk
dan terus digelorakan oleh para kiai dan santri, dinamika dan persaingan
politik dalam negeri semakin memanas. Pada bulan Oktober Partai Komunis

Indonesia (PKI) didirikan kembali. Lalu setelah Makloemat Iks (4 November)

dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, partai-partai politik lain

juga bermunculan. Dideklarasikanlah Pesindo dan partai Islam Masyumi. Lalu,
Maklumat Hatta 11 November mengubah pemerintahan presidensial menjadi
parlementer, pemerintah harus bertanggungjawab kepada KNIP yang berfungsi
sebagai parleman. Kabinet parlementer ditetapkan pada 14 November, dipimpin
Perdana Menteri Sjahrir dan Mentri Keamanan Amir Syarifudin.






Januari 1946, PNI dibentuk lagi tanpa Soekarno. Di sisi lain, “Tentara
profesional” dan kelompok gerilyawan melakukan konsolidasi. Pada saat-saat
itu juga Indonesia sedang mengalami “revolusi sosial” hingga ke desa-desa.
Pertikaian merajalela dan kekacauan tak terhindarkan lagi. Waktu itu timbul
pertikaian horisontal yang terkenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” yakni
Brebes, Pemalang dan Tegal. Kondisi inilah, tak pelak memberi peluang bagi
upaya-upaya militer Belanda (yang sebelumnya datang membonceng sekutu)
untuk semakin merangsek masuk menguasai kota-kota besar di Indonesia.
Belanda semakin intensif menguasai Jakarta, sehingga Pemerintah Republik
terpaksa mengungsi ke Yogyakarta pada Januari 1946.






Maret 1946, PM Sjahrir mencapai kesepakatan rahasia dengan van Mook bahwa
Belanda mengakui kedaulatan RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan
Sumatera. Sementara Belanda berdaulat atas wilayah-wilayah lainnya. Kedua
belah pihak juga menyepakati rencana pembentukan uni Indonesia-Belanda.






Di tengah tekanan Belanda itu NU menyelenggarakan muktamar yang pertama
setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Muktamar ke-16 itu diadakan
di Purwekorto pada 26-29 Maret 1946. Salah satu keputusan pentingnya, NU
menyetuskan kembali Resolusi Jihad yang mewajibkan tiap-tiap umat Islam
untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat
di Yogyakarta. Kewajiban itu dibebankan kepada setiap orang Islam, terutama
laki-laki dewasanya, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan
musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan
menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan
bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang
lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka.


Dalam podatonya, Mbah Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad
di hadapan para peserta muktamar. untuk disebarkan kepada seluruh warga
pesantren dan umat Islam. Syariat Islam menurut Mbah Hasyim tidak akan bisa
dijalankan di negeri yang terjajah. ”…tidak akan tercapai kemuliaan Islam
dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negerijajahan.” Kaum penjajah
datang kembali dengan membawa persenjataan dan tipu muslihat yang lebih
canggih lagi. Umat Islam harus menjadi pemberani.






*Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang
pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang
disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka
ikut berjuang bersama rasulullah……*






*Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk
mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan
dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.*







*Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka
berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya….. … maka barang
siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka
dengan pedang siapa pun orangnya itu….*.






Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya
membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak
Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh
Belanda. Pada Desember 1945 pemerintah Inggris secara tidak resmi mendesak
pemerintah Belanda agar agar mengambil sikap yang lebih luwes terhadap
Republik Indonesia. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr,
mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara republik Indonesia
dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani, namun Belanda tiba-tiba
meancarkan agresi militernya. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia
Tenggara dibubarkan, dan ”tanggung jawab” atas Jawa dan Sumatera diserahkan
sepenuhnya kepada Belanda. Sejak itu, orang asing yang semakin terlibat
dalam pertikaian antara Republik Indonesia dan Belanda, menggantikan
Inggris, adalah Amerika Serikat. Mungkin sampai sekarang. *(Red: A Khoirul
Anam)*






Sumber:


http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62693-lang,id-c,nasional-t,Resolusi+Jihad+NU-.phpx






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke