Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme di Indonesia (II)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif






Dan, situasi akan semakin memburuk serta berbahaya pada saat politisi
menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan pragmatisnya sendiri. Selama
sikap semacam ini berlanjut di kalangan mereka yang juga menyebut dirinya
sebagai pemeluk agama, tidak ada harapan bahwa perdamaian akan terwujud.






Dengan frasa Bhinneka Tunggal Ika, Mpu Tantular sebenarnya ingin
menyaksikan bahwa antara penganut Hindu (khususnya Syiwa) dan penganut
Buddha dapat membina hidup bersama dengan damai dan serasi dalam kerajaan
itu.






Bilamana pada akhirnya Kerajaan Majapahit runtuh, bukanlah disebabkan oleh
konflik agama antara penganut Hindu dan penganut Buddha, melainkan menurut
catatan sarjana Prancis Coedes karena sebab-sebab berikut. Pertama,
munculnya Malaka sebagai pusat perdagangan dan sebuah awal penyebaran Islam.






Kedua, pecahnya perang suksesi di kalangan elite puncak Majapahit. Dan,
ketiga, adanya upaya Cina di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo untuk mengambil
alih posisi Jawa sebagai yang dipertuan di nusantara dan di semenanjung.
(Lih. G Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, ed Oleh Walter F
Vella, terj. Oleh Susan Brown Cowing. Honolulu: East-West Center Press,
1968, hlm 241).






Sekalipun Kerajaan Majapahit telah masuk ke museum sejarah, Bhinneka
Tunggal Ika rumusan Mpu Tantular bertahan sampai hari ini di Indonesia,
sebagaimana telah disebut di atas. Tidak ada masalah dalam menerima ciptaan
sastrawan Buddha ini.






Kenyataannya, seluruh rakyat Indonesia telah menerima sasanti Bhinneka
Tunggal Ika sebagai warisan sejarahnya sendiri, sesuatu yang amat penting
bagi pengembangan iklim kemerdekaan agama, harmoni sosial, dan toleransi di
negeri ini.






Kemudian, kita tengok pula kehadiran Islam dan agama Kristen di kepulauan
ini beberapa abad silam. Saat kedatangan kedua agama ini, akar-akar
sosiokultural Hindu-Buddha masih sangat kuat, dan bahkan perilaku rakyat
umum masih dipengaruhi oleh nilai-nilai agama kosmopolitan asal India ini.






Diperlukan waktu beberapa abad bagi Islam dan Kristen untuk menggantikan
posisi dominan Hinduisme dan Buddhisme di nusantara. Islam, khususnya,
sejak abad ke-17, telah tampil sebagai agama yang sangat berpengaruh di
kawasan ini. Keberhasilan besarnya bukan diraih melalui peperangan,
melainkan “melalui perembesan damai, toleran, dan bersifat membangun”
(penetration pacifique, tolerant, et constructive), sebagai disimpulkan
oleh Yosselin de Yong.






Berdasarkan gejala sosial ini, watak utama Islam Indonesia dengan
sendirinya bersifat damai dan toleran, sampai suatu ketika belum lama ini
muncul kelompok sempalan kecil dengan topangan ideologi radikal dari luar
negeri sebagai filsafat politik yang dianutnya untuk melakukan
tindakan-tindakan brutal dan kejam. Dalam kasus semacam ini, agama pastilah
merupakan bahaya dan kutukan bagi kehidupan manusia.






Kemudian, kita lihat pula agama Kristen dan persandingannya dengan Islam
dalam masalah toleransi dan perdamaian. Dengan mengesampingkan sisi
imperialistik dari penganut Kristen Eropa, agama Kristen sendiri adalah
agama perdamaian, toleransi, dan harmoni.






Pernyataan Yesus dalam Bibel berikut ini, “Anda telah dengar dan dikatakan
bahwa 'Kamu harus mencintai tetanggamu dan membenci musuhmu'. Tetapi aku
katakan kepadamu, 'Cintailah musuhmu, sayangilah orang yang mengutukmu,
berbuat baiklah kepada orang yang membencimu, dan doakanlah mereka yang
memanfaatkanmu dengan dengki dan yang menganiayamu'.” (Matteus 5:43-44)
adalah salah satu bukti teologis bahwa agama Kristen pada dasarnya adalah
sebuah agama kasih dan damai.







Sama halnya dengan Islam. Islam menurut definisi berarti damai dan sikap
penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Alquran sebagai sumber utama
Islam dalam sebuah ayat menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam beragama.” (QS
al-Baqarah [2]: 256). Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada satu pun Kitab
Suci sepanjang sejarah peradaban manusia yang demikian gamblang membela
prinsip kebebasan beragama. []






REPUBLIKA, 13 Oktober 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke