*Hukum Wanita Hamil di Luar Nikah*





Pertanyan:






Assalamu'alaikum wr. wb. Redaksi NU yang Insya Allah dirahmati Allah swt,
pertanyaannya tentang hukum Islam bagi wanita yang mengandung anak di luar
nikah tapi tidak menikah dengan ayah biologisnya maupun dengan lelaki lain,
sampai dengan lahirnya anak tersebut. Penjelasannya sangat diharapkan,
terima kasih. Wassalamu'alaikum wr. wb.






Nani Solaiman/ Kota Tual – Maluku Tenggara, Propinsi Maluku






Jawaban:






Assalamu’alaikum wr. wb.


Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa dalam hukum
Islam orang yang melakukan zina terkena hukumam had. Secara umum hukuman
had ini tergantung siapa pelakuknya. Bisa dengan rajam, atau dengan jild
(dera) dan pengasingan. Jika zinanya masuk kategori zina muhshan maka
hukuman hadnya adalah dengan rajam. Namun jika ternyata ia hamil maka
pelaksanaan rajam itu setelah melahirkan bayinya.






قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْحَامِلَ
لاَ تُرْجَمُ حَتَّى تَضَعَ






“Ibnu al-Mundzir berkata; para ulama telah sepakat bahwa orang hamil tidak
dirajam sampai ia melahirkan”. (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu’un
al-Islamiyyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait Dar
as-Salasil, cet ke-1, 1404 H, juz, 22, h. 126).






Sedang jika zina masuk kategori ghairu muhshan artinya pelakunya adalah
orang yang belum menikah (perjaka atau gadis, dan telah memenuhi ketentuan
yang berlaku) maka hukuman hadnya adalah dengan didera seratus kali dan
diasingkan selama setahun. Dan boleh saja diasingkan dulu baru kemudian
didera. Hal ini sebagaimana keterangan yang kami pahami terdapat dalam
kitab Kifayah al-Akhyar berikut ini;






وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا تَرْتِيبَ بَيْنَ الْجِلْدِ وَالتَّغْرِيبِ فَيُقَدَّمُ
مَا شَاءَ مِنْهُمَا






“Ketahuilah, bahwa tidak ada aturan harus tertib di antara dera dan
pengasingan, karenanya maka boleh salah satu di antara keduanya boleh
didahulukan”. (Taqiyyuddin Abi Bakr al-Husaini al-Hishni asy-Syafi’i,
Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-Ilm, tt,
juz, 2, h. 143).






Namun untuk menentukan seseorang dikatakan berzina sehingga layak
mendapatkan had zina tidaklah semudah membalik telapak tangan. Jika ada
seorang perempuan yang hamil, padahal tidak bersuami maka harus dibuktikan
dulu apakah kehamilannya karena berbuat zina atau karena hal lain seperti
diperkosa. Yang harus kita lakukan adalah jangan terburu-buru memvonis ia
telah melakukan zina dengan seorang laki-laki jika memang kita tidak
memiliki bukti yang kuat.






Dalam hukum Islam, seseorang dikatakan berzina harus dibuktikan terlebih
dahulu dengan bukti yang kuat, bisa dengan menghadirkan empat orang saksi
laki-laki, atau bisa juga dengan adanya pengkuan dari pihak pelakunya
sendiri sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah saw.






Sedang mengenai saksi haruslah orang yang adil. Dan di zaman sekarang
sangat susah mencari orang yang adil. Di samping dari sisi person, ada juga
syarat yang harus yang harus dipenuhi dalam kesakasian tersebut. Di antara
syarat yang disepakati para ulama adalah bahwa kesaksian tersebut.






وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ مِنْ شُرُوطِ هَذِهِ الشَّهَادَةِ أَنْ تَكُونَ
بِمُعَايَنَةِ فَرْجِهِ فِي فَرْجِهَا وَأَنْ تَكُونَ الشَّهَادَةُ
بِالتَّصْرِيحِ لَا بِالْكِنَايَةِ






“Para ulama sepakat bahwa di antara syarat kesaksian ini ialah dengan
melihat secara langsung alat vital pihak laki-laki masuk ke lubang vagina
pihak perempuan, dan kesaksian tersebut harus diungkapkan dengan bahasa
yang jelas (tashrih) tidak dengan bahasa sindirin (kinayah)”. (Abdurraham
al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 5,

h. 29 ).






Pertanyaan selanjutnya yang harus diajukan di sini adalah, apakah kehamilan
seorang perempuan yang tidak bersuami bisa dijadikan sebagai alat bukti
bahwa ia telah melakukan zina sehingga ia harus dihad? Mayoritas pakar
hukum Islam menyatakan bahwa kehamilan seorang perempuan yang tidak punya
suami tidak dengan serta merta menunjukkan ia berbuat zina sehingga harus
dihad.






وَإِذَا ظَهَرَ بِالْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ حَمْلٌ لَا زَوْجَ لَهَا وَكَذَلِكَ
الْأَمَةُ الَّتِي لَا يُعْرَفُ لَهَا زَوْجٌ وَتَقُولُ أُكْرِهْتُ ، أَوْ
وُطِئْتُ بِشُبْهَةٍ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا حَدٌّ كَمَا قَالَهُ : أَبُو
حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ فِي أَظْهَرِ رِوَايَتَيْهِ






“Apabila tampak adanya kehamilan pada seorang perempuan merdeka yang tidak
bersuami, begitu juga budak yang tidak bersuami, dan ia mengatakan saya
dipaksa atau saya disetubuhi dengan persetubuhan syubhat maka ia tidak
wajib dihad. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh imam Abu Hanifah, imam
Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hanbal menurut dalam riwayatnya yang adhhar”
(Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, Bairut-Dar

al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, 5, h. 15).






Pandangan ini mengandaikan bahwa kehamilan seorang perempuan yang tidak
memiliki suami belum tentu akibat dari perbuatan zina, tetapi bisa jadi
karena ia dipaksa, diperkosa, atau karena ia mengalami wathi syubhat. Ini
artinya kehamilan itu masih mengandung pelbagai kemungkinan. Sedangkan
sesuatu yang mengandung pelbagai kemungkinan tidak bisa dijadikan sebagai
bukti utama untuk menentukan sebuah ketetapan hukum.






Berangkat dari penjelasan ini, maka jawaban yang dapat kami ketengahkan
untuk menjawab pertanyaaan di atas adalah bahwa status hukum perempuan yang
hamil dan tidak mempunyai suami sampai ia melahirkan anaknya dalam hukum
Islam belum tentu disebut sebagai pezina yang berhak mendapat hukumam had.
Bahkan seandainya ia benar-benar melakukan zina, ia tetap disunnahkan untuk
menutupinya, bahkan ada pendapat yang mewajibkannya. Sebagaimana yang telah
kami kemukakan dalam Rubrik Bahtsul Masail yang dimuat pada tanggal
12/2/2015.






Ia baru bisa dikatakan sebagai pelaku zina dan berhak mendapatkan hukuman
had jika memang telah terpenuhi buktinya, seperti kesaksian empat orang
laki-laki yang adil yang melihat dengan jelas kejadiannya, atau atas dasar
pengakuannya.






Apabila memang ia telah tebukti, maka dalam hukum Islam ia berhak
mendapatkan had. Sedang hadnya adalah didera seratus kali kemudian
diasingkan. Jika ia adalah orang yang belum pernah menikah (zina ghairu
muhshan), namun jika ia janda, maka dirajam (zina muhshan).






Lantas siapakah yang melaksanakan hukuman tersebut? Negara adalah
pelaksananya sehingga masyarakat tidak boleh main hakim sendiri. Namun di
negara kita hukumam had zina sampai hari belum diberlakukan. Karenanya,
yang terbaik adalah dengan memintanya untuk segera bertaubat. Biarlah apa
yang ia lakukan menjadi urusannya dengan Allah swt.






Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan, dan kami selalu terbuka dengan
kritik dan saran dari para pembaca. Dan bersikaplah hati-hati dalam
memberikan penilaian kepada orang lain, jangan gampang memberikan tuduhan
yang tercela kepadanya kecuali memang ada bukti kuat. Dan sebagai
masyarakat kita harus taat hukum yang berlaku di negara kita, dan jangan
main hakim sendiri.






Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,


Wassalamu’alaikum wr. wb.






Mahbub Ma’afi Ramdlan


Tim Bahtsul Masail NU






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke