***********************
Your mail has been scanned by Chandra Asri InterScan.
***********-***********




-----Original Message-----
From:

Ayo Bantu Palestina !!

Assalamualaikum wr. wb.

Tahun 1945 kita menyatakan diri merdeka (kalau di SMA dulu,
istilahnya DE FACTO). Di buku sejarah diceritakan, Belanda ingin
balik kembali ke Indonesia. Maka terjadilah perang kemerdekaan. Baru
tahun 1949 (4 tahun kemudian) kemerdekaan kita diakui dunia
internasional (kita diajari di sekolah dengan istilah DE JURE).

Saat-saat kritis 4 tahun tsb. siapa kira-kira yang paling perduli dan
mengkampanyekan kemerdekaan bangsa Indonesia ? Pasukan sekutu-kah ?
Mereka yang menang perang dunia ke-2 kah ?

Ternyata ditulis di buku sejarah, yang pertama kali mengakui
Indonesia merdeka adalah MESIR. Tokoh-tokoh Islam Mesir pernah
menyerukan boikot terhadap kapal-kapal Belanda yang mampir via
terusan Suez. Buruh-buruh mesir di kapal mengibarkan bendera merah
putih.

Dunia Arab membuat komite solidaritas untuk kemerdekaan bangsa
Indonesia. Salah satu anggota nya adalah Mufti Palestina. Saat itu
Indonesia belum ada apa-apanya, masih tertatih-tatih. Para pemimpin
kita (H. Agus Salim dll) mengunjungi dunia Arab untuk minta dukungan
kemerdekaan.

Maka entahlah, apa kata kita sekarang. Saat anak-anak menangis karena
lapar, orang yang sedang sakit terus merintih karena tidak ada obat,
dll. Dan itu semua hanya karena diisolasi, bantuan ditutup. Pelajaran
bagi kita untuk perduli dan berbagi, walau hanya dengan sekeping uang
logam.

"Barangsiapa tidak perduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukan
golongan mereka".

Wassalam

a.fatih

=============

Sumbangan Ikhwanul Muslimun untuk Kemerdekaan RI

Pemimpin Ikhwanul Muslimun (IM), Hasan Al Banna ternyata pernah menjadi anggota 
Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia di Mesir. Atas desakan IM, Mesir menjadi 
negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Dengan demikian, lengkaplah 
syarat-syarat sebuah negara berdaulat bagi RI.

***

Kota pelabuhan Iskandariyah pertengah Juli 1945. Jam kayu di sebuah penginapan 
murah di kota pelabuhan Mesir telah menunjuk angka 22.00 waktu setempat. Di 
satu ruangan yang tak seberapa besar, empat-puluhan kelasi kapal berkebangsaan 
Indonesia berkumpul. Sejumlah mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Mesir 
terlihat memimpin rapat.

Beda dengan pertemuan sebelumnya, malam itu atmosfir rapat terasa agak 
emosionil! Para kelasi Indonesia yang bekerja di berbagai kapal asing yang 
tengah merapat di Iskandariyah, Port Said, dan Suez itu banyak yang yakin, 
jihad fii sabilillah yang tengah digelorakan banga Indonesia melawan penjajah 
belanda dalam waktu dekat akan sampai pada puncaknya.

Muhammad Zein Hassan, salah seorang mahasiswa Indonesia yang hadir, berpesan 
pada para kelasi agar mulai menabung. "Di saat terjadinya jihad, mereka 
sebaiknya meninggalkan kapal-kapal sekutu agar tidak menodai perjuangan."

Sambutan para kelasi yang dalam kesehariannya jauh dari tuntunan agama itu 
sungguh mengharukan. Mereka dengan sepenuh hati menyanggupi hal tersebut. "Jika 
fatwa sudah turun, kami akan mematuhi," ujar salah seorang dari mereka.

Tak terasa, jam telah berada di angka satu. Acara ditutup dengan sumpah setia 
dengan perjuangan bangsanya yang nun jauh di seberang lautan. Seluruh peserta 
mengangkat tangan kanan dan dikepalkan. Dengan menyebut nama Allah SWT, mereka 
bertekad akan membantu dengan sekuat tenaga jihad fii sabilillah yang akan 
digelorakan bangsanya dalam waktu dekat ini.

Sumpah para kelasi tersebut tidak main-main. Terbukti di kemudian hari, dua 
bulan setelah proklamasi dibacakan Soekarno-Hatta, dua orang kelasi Indonesia 
tiba di Kairo dengan berjalan kaki dari Tunisia.

"Saat kami tanya mengapa berjalan kaki sejauh itu, mereka menjawab bahwa mereka 
menerima fatwa yang dibawa teman-teman mereka dari Indonesia. Fatwa itu 
menyatakan haram hukumnya bekerja dengan orang kafir yang memerangi kaum 
Muslimin," ujar Zein Hassan.

Walau tidak punya cukup uang, dua orang kelasi itu segera meninggalkan kapal 
sekutu tempatnya bekerja dan berjalan kaki menuju Mesir, karena di Mesir-lah 
berada banyak orang sebangsanya.

Di Mesir sendiri kala itu tengah berkembang sikap antipati terhadap penjajahan 
Inggris. Sikap non kooperatif terhadap penjajah Inggris ini dicetuskan oleh 
organisasi Ikhwanul Muslimin yang mendapat sambutan luar biasa dari rakyat 
Mesir.

Sebagai gerakan dakwah yang menembus sekat geografis, Ikhwanul Muslimin telah 
memiliki "jaringan iman" dengan berbagai gerakan Islam di seluruh dunia, 
termasuk Indonesia.

Sebab itu, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Sekutu dengan 
sekuat tenaga memblock-out berita ini masuk ke Timur Tengah. Dikhawatirkan jika 
kemerdekaan Indonesia sampai didengar umat Islam di sana, ini bisa menjadi 
inspirasi bagi gerakan serupa di Timur Tengah.

Serapat-rapatnya sekutu menutup informasi ini, akhirnya pada awal September 
1945, sebulan setelah kemerdekaan Indonesia dibacakan, berita ini sampai juga 
ke Mesir.

Mansur Abu Makarim, seorang informan Indonesia yang bekerja di Kedutaan Belanda 
di Kairo, membaca berita kemerdekaan Indonesia dalam suatu artikel di majalah 
Vrij Nederland. Bagai angin berhembus, berita ini dengan cepat menyebar ke 
Dunia Islam.

Koran dan radio Mesir memuat berita kemerdekaan RI dengan gegap gempita. Para 
penyiar dengan penuh semangat mengatakan bahwa inilah awal kebangkitan Dunia 
Islam melawan penjajahan Barat.

Di Mesir saat itu, seorang Arab hanya dihargai sepuluh pound Mesir jika dibunuh 
atau dilindas kendaraan militer Sekutu tanpa hak mengadu atau menggugat. Sebab 
itu, proklamasi kemerdekaan sebuah negeri Muslim terbesar di dunia ini disambut 
dengan luapan kebahagiaan.

Di sejumlah kota, Ikhwanul Muslimin segera menggelar munashoroh besar-besaran 
mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Ini dijadikannya momentum momentum yang 
bagus untuk memerdekakan Mesir dari Inggris.

Bukan itu saja, sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif sendiri 
membentuk "Lajnatud Difa'i'an Indonesia" (Panitia Pembela Indonesia). Badan ini 
dideklarasikan pada 16 Oktober 1945 di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam 
dengan Jendral Saleh Harb Pasya sebagai pimpinan pertemuan.

Hadir dalam acara itu antara lain Syaikh Hasan Al Banna dan Prof. Taufiq Syawi 
dari Ikhwanul Muslimin, Pemimpin Palestina Muhammad Ali Taher, dan Sekjen Liga 
Arab Dr. Salahuddin Pasya.

Dalam pertemuan yang semata didasari ukhuwah Islamiyah, pakar hukum 
internasional Dr. M. Salahuddin Pasya menyerukan negara-negara Islam untuk 
sesegera mungkin mendukung, membantu, dan mengakui kemerdekaan RI. Selain itu, 
Panitia Pembela Indonesia juga mengancam Inggris agar tidak membantu Belanda 
kembali ke Indonesia.

"Jika Inggris membantu Belanda untuk kembali ke Indonesia, maka Inggris akan 
menuai kemarahan Dunia Islam di Timur Tengah!" ancam Salahuddin Pasya.

Sejarah telah menulis, Inggris tetap membela "kawan seakidah" bernama Belanda. 
Pasukan NICA membonceng Sekutu kembali ke Indonesia.

Pada 25 Oktober 1945, sejumlah ulama NU pimpinan KH. Wahid Hasyim bertemu dan 
mengeluarkan fatwa jihad fii sabilillah melawan penjajah. Fatwa ini bergema ke 
seluruh nusantara dan disambut dengan gegap gempita.

Fatwa jihad inilah yang melatarbelakangi pertempuran 10 November 1945 di 
Surabaya (hingga kini 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan di 
Indonesia, hdn). Untuk memompakan keberanian rakyat Surabaya, Bung Tomo lewat 
corong radio perlawanan - cikal bakal RRI - terus menerus mengingatkan para 
mujahid bahwa gerbang surga telah terbuka luas bagi mereka yang syahid.

Hanya semangat jihad dan keridhaan Allah SWT yang mampu membuat ribuan rakyat 
Surabaya berani melawan pasukan Sekutu bersenjata lengkap.

Kedahsyatan pertempuran Surabaya bergema hingga ke Dunia Arab. Keberanian umat 
Islam Surabaya mengobarkan jihad melawan pasukan Sekutu yang habis mabuk 
kemenangan dalam Perang Dunia II, ditambah tewasnya satu Jenderal Sekutu - 
Malaby - di Surabaya, dirasakan oleh kaum Muslimin Timur Tengah sebagai bagian 
dari kemenangan Islam atas kaum kafir. Upaya perlawanan terhadap Inggris di 
Mesir pun kian membuncah.

Di berbagai lapangan dan Masjid di Kairo, Mekkah, Baghdad, dan negeri-negeri 
Timur Tengah, dengan serentak umat Islam mendirikan sholat ghaib untuk arwah 
para syuhada di Surabaya.

Melihat fenomena itu, majalah TIME (25/1/46) dengan nada salib menakut-nakuti 
Barat dengan kebangkitan Nasionalisme-Islam di Asia dan Dunia Arab. 
"Kebangkitan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia seperti di Indonesia akan 
menginspirasikan negeri-negeri Islam lainnya untuk membebaskan diri dari Eropa."

Dukungan negara-negara Islam di Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia 
tidak saja dilakukan dalam tingkat akar rumput, namun juga dalam dunia 
diplomasi. Dalam berbagai sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa, terlihat dengan 
jelas adanya perbedaan sikap antara negeri-negeri Muslim yang mendukung 
Indonesia dengan negeri-negeri salib yang memandang Indonesia masih bagian dari 
Belanda.

Wakil-wakil dari Indonesia di sidang PBB, diperbolehkan ikut sidang setelah 
negeri-negeri Arab mengakui kedaulatan RI, dalam menghadapi serangan pihak 
Sekutu sering menanggapinya dengan cara diplomatis dan terkesan lunak. Hal ini 
dikecam keras Muhammad Ali Taher dari Palestina.

"Mengapa kamu masih saja bersikap diplomatis terhadap seseorang yang ingin 
menghancurkan negeri kamu!" sergahnya mengingatkan wakil dari Indonesia agar 
tidak takut melawan kezaliman.

Di Mesir, sejak diketahui sebuah negeri Muslim bernama Indonesia memplokamirkan 
kemerdekaannya dari penjajah kafir, Ikhwanul Muslimin tanpa kenal lelah terus 
menerus memperlihatkan dukungannya.

Selain menggalang opini umum lewat pemberitaan media, yang memberikan 
kesempatan luas kepada para mahasiswa Indonesia untuk menulis tentang 
kemerdekaan Indonesia di koran-koran lokal miliknya, berbagai acara tabligh 
akbar dan demonstrasi pun digelar.

Para pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan Ikhwan, dengan caranya sendiri 
berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak hanya dengan slogan dan 
spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan teriakan-teriakan permusuhan 
terhadap Belanda kerap dilakukan mereka.

Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo ketakutan. Mereka dengan tergesa 
mencopot lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Mereka juga menurunkan 
bendera merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar tidak mudah 
dikenali pada demonstran.

Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI, juga atas desakan dan lobi 
yang dilakukan para pemimpin Ikhwanul Muslimin, membuat pemerintah Mesir 
mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret 1946.

Inilah pertama kalinya suatu negara asing mengakui kedaulatan RI secara resmi. 
Dalam kacamata hukum internasional, lengkaplah sudah syarat Indonesia sebagai 
sebuah negara berdaulat.

Bukan itu saja, secara resmi pemerintah Mesir juga memberikan bantuan lunak 
kepada pemerintah RI. Sikap Mesir ini memicu tindakan serupa dari negara-negara 
Timur Tengah.

Untuk menghaturkan rasa terima kasih, pemerintah Soekarno mengirim delegasi 
resmi ke Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah delegasi pemerintah RI 
pertama yang ke luar negeri. Mesir adalah negara pertama yang disinggahi 
delegasi tersebut.

Tanggal 26 April 1946 delegasi pemerintah RI kembali tiba di Kairo. Beda dengan 
kedatangan pertama yang berjalan singkat, yang kedua ini lebih intens. Di Hotel 
Heliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir dan Dunia Arab 
mendatangi delegasi RI untuk menyampaikan rasa simpati. Selain pejabat negara, 
sejumlah pemimpin partai dan organisasi juga hadir. Termasuk pemimpin Ikhwanul 
Muslimin Hasan al Banna dan sejumlah tokoh Ikhwan dengan diiringi puluhan 
pengikutnya.

Setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia, diikuti serius oleh setiap 
Muslim baik di Mesir maupun di Timur Tengah pada umumnya. Para mahasiswa 
Indonesia yang saat itu tengah berjuang di Mesir dengan jalan diplomasi 
revolusi, senantiasa menjaga kontak dengan Ikhwan.

Ketika Belanda melancarkan agresi Militer I (21 Juli 1947) atas Indonesia, para 
mahasiswa Indonesia di Mesir dan aktivis Ikhwan menggalang aksi pemboikotan 
terhadap kapal-kapal Belanda yang memasuki selat Suez.

Walau Mesir terikat perjanjian 1888 yang memberi kebebasan bagi siapa saja 
untuk bisa lewat terusan Suez, namun keberanian para buruh Ikhwan yang 
menguasai Suez dan Port Said berhasil memboikot kapal-kapal Belanda.

Pada tanggal 9 Agustus 1947, rombongan kapal Belanda yang dipimpin kapal kapal 
Volendam tiba di Port Said. Ribuan aktivis Ikhwan yang kebanyakan terdiri dari 
para buruh pelabuhan, telah berkumpul di pelabuhan utara kota Ismailiyah itu.

Puluhan motor boat dan motor kecil sengaja berkeliaran di permukaan air guna 
menghalangi motor-boat motor-boat kepunyaan perusahaan-perusahaan asing yang 
ingin menyuplai air minum dan makanan kepada kapal Belanda itu.

Motor-boat para ikhwan tersebut sengaja dipasangi bendera merah putih. Dukungan 
Ikhwan terhadap kemerdekaan Indonesia bukan sebatas dukungan formalitas, tapi 
dukungan yang didasari kesamaan iman dan Islam.

Walau pemimpin Ikhwan Hasan Al Banna menemui syahid ditembak mati oleh begundal 
rezim Mesir di siang hari bolong, 12 Februari 1949, dukungan ikhwan terhadap 
muslim Indonesia tidaklah berakhir. Dakwah tiada kenal kata akhir, hingga Islam 
membebaskan semua manusia.

Rizki Ridyasmara
Majalah Saksi - No. 21 Tahun VI, 18 Agustus 2004. 








[Non-text portions of this message have been removed]






Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke