Yah, Manneke, hopeless ya memperhatikan diskusi ini. 

Argumentasi2 dibangun atas dasar sikap a priori! atas dasar phobia!
(lucunya, phobia itu dengan sangat jelas mereka pertontonkan, terlebih
sudah Anda jelaskan, eh masih blon mudheng :D esensi argumentasi Anda
tak bisa ditangkap).
Pendidikan tidak membebaskan mereka dari mentalitas kerdil. Kerdil,
karena apriori telah melumpuhkan mereka untuk bisa bersikap melampaui
perbedaan.

Andaikan saya seorang muslimah, saya tidak akan bersedia mengamini
tafsir sempit yang berwujud burqa. Honestly speaking, saya pun
menganggap perempuan berburqa sebagai aneh, namun saya akan berpihak
pada mereka bila mereka dizalimi (ranah privatnya diintervensi negara). 

Tentang mereka, kesimpulan saya: 

1. Di sudut mentalitas: Tak satupun dari mereka menampakkan setitik
saja mentalitas pejuang2 kita, seperti Yap Thiam Hien yang bisa tidak
bias ketika membela orang yang berseberangan secara politis dengannya
(seperti ketika membela H.R. Dharsono)

2. Kalau dibandingkan dengan pejuang2 di era yang lebih belakang lagi:
mereka pun mempertontonkan kemunduran sekian langkah kalau
dibandingkan dengan para founding fathers/mothers kita yang studi di
Belanda yg tidak menampakkan MENTALITAS ORANG TERJAJAH (tidak
memandang negeri Barat dengan mata shock), padahal mereka hidup di
negeri penjajah dalam masa penjajahan. 

Kini, setelah merdeka, kok malah pada bermunculan orang2 dengan
mentalitas kerdil. 
Pathetic!!

Mungkin JP Coen dan penerus2nya terbahak2 geli di kuburannya
menyaksikan buah2 keberhasilannya menghancurkan mentalitas orang2
Indonesia kelompok semacam itu. 


Salam,
Ida Khouw


--- In mediacare@yahoogroups.com, manneke <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> Dear Ida,
> 
> Saya sendiri terus terang terkejut menyaksikan berbagai akrobatik
logika yang dipertontonkan teman-teman yang selama ini tampak begitu
gigih mendukung kebebasan dan melawan intervensi negara ke dalam ranah
pribadi warganya, termasuk juga menentang RUU APP, tetapi kini
ternyata menjadi jelas bagi saya siapa mereka ini sesungguhnya. Tak
punya konsistensi, tak berprinsip, hebat berasionalisasi demi
menjustifikasi kesewenang-wenangan. 
> 
> Tak kalah mengejutkan adalah bahwa ternyata mereka ini adalah
pendukung "pendekatan keamanan" yang persis dengan apa yang selama ini
diterapkan Orde Baru: demi keamanan, maka kebebasan boleh diberangus.
demi keamanan, boleh dibuat aturan represif yang menindas warga.
> 
> Dan lucunya, ketika ini saya ungkapkan, saya lalu dicap sebagai
akademisi idealis tanpa empati, cuma mengunggulkan logika tanpa
melihat realitas. Dengan kata lain, saya dipaksa untuk menerima begitu
saja "realitas" yang berbentuk segala aturan yang mewajibkan
"integrasi" bagi para warga pendatang, yang membenarkan pelarangan
terhadap budaya pendatang yang dianggap tak kompatibel dengan budaya
"indigenous", yang membenarkan legitimasi penerapan aturan hukum di
atas landasan mayoritas lawan minoritas, dll.
> 
> Saya cuma bisa bereaksi dengan cara: ha ha ha ha ha ha ha! secara
keras-keras saking lucunya sekaligus tragisnya situasi para "pejuang
HAM" yang selama ini sibuk menentang berbagai pemaksaan aturan
keislaman dan militerisme di Indonesia.
> 
> manneke
>

Kirim email ke