Once you dream about BIOFUEL, it would be a real Bio Nightmare!
Saya terlibat dalam liputan Al Jazeera mengenai ancaman Bio Fuel dan
Global Warming. Mereka menggambarkan kehancuran Kalimantan seperti
Tsunami!
Mereka tidak berlebihan. Apa yang saya saksikan benar - benar biadab,
jauh lebih kejam dan jahat daripada illegal logging.
Dalam kejahatan illegal logging, hany akayu - kayu jenis tertentu
yang punya nilai jual saja yang ditebang, yang kecil - kecil
dibiarkan saja untuk kemudian tumbuh besar beberapa tahun kemudian.
Hutan tidak benar - benar gundul.
kalau perusahaan kelapa sawit, mereka benar - benar mencukur gundul
hutan itu. Pohon besar kecil, semak - semak semuanya disapu bersih.
Seauh mata memandang hanya hutan yang porak poranda, rata dengan
tanah seperti tsunami. Panas, panas dan panas. Orangutan dan jutaan
satwa liar musnah digilas buldoser dan excavator.
Selamat datang Malaysia, tuan baru bangsa Indonesia.
Hardi dan Orangutan.
On May 11, 2007, at 2:14 PM, Sunny wrote:
RIAU POS
11 Mei 2007 Pukul 09:38
Ancaman "Biofuel"
Malam itu dua orang wanita bule menemui saya sebagai teman lama.
Saya langsung saja pada masalah pokok dan bertanya “Kenapa datang
ke Indonesia?”. Diapun menjelaskan “Saya baru saja dari Brazil dan
sayang sekali saya di sana mendapat serangan jantung. Tapi ada hal
yang menarik disamping sakit yang saya derita dan dua hari tidak
sadar.
Sekitar seperempat bahan bakar transportasi di Brazil tahun 2002
adalah etanol”. Pembicaraan lebih serius. Uni Eropa merencanakan
5,75 persen etanol yang dihasilkan dari gandum, bit, kentang atau
jagung ditambahkan pada bahan bakar fosil pada tahun 2010 dan 20
persen pada 2020.
Apa hubungannya dengan Indonesia? Masyarakat dunia khawatir sesudah
penghancuran hutan Sumatera dan Kalimantan maka deretan yang
berikutnya adalah Papua. Pada masa kini di Eropa sudah tak ada lagi
musim semi dan begitu musim dingin maka langsung didera oleh panas.
Selama saya mengikuti Al-Jazeera, BBC dan CNN memang perubahan
iklim sangat dahsyat sekarang ini. Temperatur di seantero dunia
menaik. Akibatnya kutub utara dan antartika akan mencair karena
efek rumah kaca yang timbul oleh karena industrialisasi di Barat
besar-besaran sementara di Indonesia hutan tanaman industri dan
kelapa sawit akan menggantikan humus sehingga terhambatnya proses
fotosintesa dan produksi CO2 yang berlebih di negara-negara utara.
Nah, maksud Tim Eropa ini adalah memetakan Papua sehingga entah
namanya biji jarak, kelapa sawit yang diharapkan oleh pemerintah
menjadi biofuel sebagai energi alternatif makin menyebabkan dunia
semakin panas.
Pemerintah Indonesia bahkan merespon kondisi tersebut dengan
melahirkan kebijakan mendorong percepatan penyediaan biodiesel di
Indonesia. Jarakisasi (pengembangan tanaman jarak secara meluas)
dipandang sebagai sebuah program yang dapat memberikan jawaban atas
krisis energi dan perbaikan kesejahteraan rakyat.
Nah, bagaimana dengan Riau? Ambisi Riau ujung-ujung ini memang
meningkat. Dumai akan dijadikan pelabuhan biofuel terbesar di
dunia. Kelapa sawit dan hutan tanaman industri akan mencabut hutan-
hutan di Riau. Yang satu untuk kertas dan yang satu lagi untuk
biofuel.
Sekalipun dunia memandang Indonesia sebuah masalah yang akan timbul
dalam mengembangkan biofuel di negeri ini adalah ketika ternyata
pengembangan yang dilakukan adalah harus dalam skala areal yang
sangat luas. Penyediaan energi bagi mobil mewah hingga industri-
industri yang hingga saat ini sangat tidak jelas konstribusinya
bagi kesejahteraan rakyat, akan berakibat pada semakin terpuruknya
sistem kehidupan rakyat.
Disadari atau tidak kelapa sawit bukanlah jargon untuk biofuel.
Maka pemerintahpun akan melihat tanaman jarak pagar. Pada tahun
2006 pemerintah telah memfasilitasi upaya percepatan pengembangan
jarak pagar yaitu melalui Bagian Anggaran 62 MAK 581129
(Divesifikasi Energi) untuk membangun kebun induk di 14 provinsi
masing-masing 10 hektare dan penanaman seluas 1.720 hektare, masing-
masing 120 hektare di 11 provinsi (Jambi, Sumbar, Jabar, Jateng,
DIY, Jatim, NTT, Sulut, Gorontalo, Sulsel dan Sultra) dan 140 Ha di
NTB serta 260 Ha di Papua. Di samping itu juga difasilitasi
pengadaan 1 paket UPH (Unit Pengolahan Hasil) yang terdiri dari 1
unit mesin pengupas buah jarak, 1 unit mesin press biji jarak, 1
unit mesin penyaring minyak jarak dan 20 unit kompor minyak jarak
untuk 12 propinsi (Jambi, Sumbar, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, NTT,
Sulut, Gorontalo, Sulsel, Sultra dan Papua). Pengadaan 2 paket UPH
serta 40 unit kompor untuk NTB.
Berapa luas kebun sawit di Riau di luar yang diusahakan rakyat?
Sedikitnya 105.732 hektare (tahun 2000). Kini diprediksikan dengan
kebun sawit rakyat paling sedikit dua kali lipat. Sebagai
kelanjutan dari program tahun 2006, pemerintah pada tahun 2007 akan
menfasilitasi pemeliharaan kebun induk seluas 140 hektare di 12
provinsi/kabupaten.
Pengembangan tanaman seluas 1.838 hektare sebagai luncuran kegiatan
tahun 2006 di 13 propinsi/kabupaten. Luncuran kegiatan tahun 2006
dilakukan karena keterbatasan benih unggul, maka pengembangan
tanaman tahun 2006 yang direncanakan seluas 1.750 hektare tidak
dapat dilaksanakan sesuai rencana, sehingga hanya terealisir 478
hektare (27,7 persen).
Saatnya bagi kelompok-kelompok komunitas lokal untuk berdiri pada
posisi kedaulatan atas sumber kehidupan, dengan tidak membiarkan
terjadinya kerusakan ekologi akibat pengembangan produk tanaman
tunggal (monokultur) pada kawasan luas pada lokasi dan sekitar
lokasi berkehidupan. Menyerahkan tanah pada kepentingan industri
monokultur untuk kepentingan energi hayati, sama saja dengan
mencabut ruh kehidupan komunitas secara perlahan.
Bagaimana dengan pengalaman negara lain? Ternyata penggunaan
biofuel justru menambah panas bumi. Pengalaman dari Brazil dan
Amerika yang telah puluhan tahun mengembangkan bioethanol dari tebu
dan jagung, malah memerlukan sumber energi yang jauh lebih banyak
dalam proses pengolahannya, yang tentu saja sumbernya berasal dari
sumber energi yang tersedia saat itu, berupa sumber energi fosil.
Juga telah dibuktikan bahwa secara tidak langsung pengembangan
biofuel tersebut telah memberikan tambahan gas rumah kaca di
atmosfer.
Lalu bagaimana dengan rencana ambisius provinsi ini yang menjadikan
Dumai Pelabuhan biofuel terbesar di dunia sementara hutan di Riau
telah pipil oleh HTI. Mungkinkah kelapa sawit yang ditanam
menggantikan HTI setelah pasca Indah Kiat dan RAPP punah-ranah?
Jawabnya bukan disini tapi di Papua di mana mata dunia kini sedang
melihat agar Papua dan Amazone tetap hijau. Untuk inilah LSM dunia
beramai-ramai datang ke Papua. Jangan-jangan hutan di sinipun telah
pula menjadi hutan Kalimantan.
Tapi paling tidak kedatangan kedua tamu saya ini yang akan
berangkat ke Papua menunjukkan perhatian dunia, tinggal Amazone dan
Papua yang memberikan nafas bagi dunia. Bila Eropa telah kehilangan
musim semi maka di Riau pun berubah menjadi musim banjir dan musim
kabut.***
Prof dr Tabrani Rab, Rektor Rab University