Bung Hardi yth.,
Yang saya ketahui di Eropa tanaman untuk produksi biofuel dibudidayakan di lahan
yg telah puluhan atau ratusan tahun dipakai untukpertanian. Kini Eropa sangat 
melirik
ke tenaga nuklir yang bersih tetapi berrisiko. Alternatif2 lainnya dikatakan 
sangat mahal
atau juga kontra-produktif, seperti biofuel ini. Di Brazil, Amazonia sedang
digunduli, diantaranya untuk biofuel. Memang banyak pertanda Kalimantan dan 
Indonesia umumnya akan mengikuti strategi ini. Mungkin sembako akan di impor
sebagian besarnya? Sumber2 utama oxygen dunia sedang dibabat. Apa gantinya?

Bagaimana Mas Koentyo yg Greener dan insinyur kimia?

Tampaknya di Dunia Ketiga sangat lemah perlawanan terhadap penjarahan yang 
sangat
serakah oleh bisnis pada alam. Termasuk di Indonesia dimana belum marak gerakan
NEW LEFT yang berunsur solidaritas atau bahkan pembebasan sosial, HAM, gender,
ekologi, multikulturalisme dan lain sebagainya.
Pemerintah indonesia kelihatannya tidak punya visi dalam konteks ini. Pihak 
oposisi
parlementer yaitu PDI Perjuangan sebetulnya bisa berupaya menolong bangsa dan 
sekaligus memakai tema ini sebagai salah satu "bendera" oposisinya.

Dimana Bung JJ Kusni, sang budayawan dan pejuang lingkungan? Apa sedang bosan
di Champs Elyses, Paris  dan kini masuk lagi dirimba menyimak sikon di antara 
warga 
Dayak?

Salam, Bismo DG

  ----- Original Message ----- 
  From: Hardi Baktiantoro 
  To: mediacare@yahoogroups.com 
  Sent: Friday, May 11, 2007 2:37 PM
  Subject: Re: [mediacare] Ancaman "Biofuel"


  Once you dream about BIOFUEL, it would be a real Bio Nightmare!



  Saya terlibat dalam liputan Al Jazeera mengenai ancaman Bio Fuel dan Global 
Warming. Mereka menggambarkan kehancuran Kalimantan seperti Tsunami! 
  Mereka tidak berlebihan. Apa yang saya saksikan benar - benar biadab, jauh 
lebih kejam dan jahat daripada illegal logging. 
  Dalam kejahatan illegal logging, hany akayu - kayu jenis tertentu yang punya 
nilai jual saja yang ditebang, yang kecil - kecil dibiarkan saja untuk kemudian 
tumbuh besar beberapa tahun kemudian. Hutan tidak benar - benar gundul. 


  kalau perusahaan kelapa sawit, mereka benar - benar mencukur gundul hutan 
itu. Pohon besar kecil, semak - semak semuanya disapu bersih. Seauh mata 
memandang hanya hutan yang porak poranda, rata dengan tanah seperti tsunami. 
Panas, panas dan panas. Orangutan dan jutaan satwa liar musnah digilas buldoser 
dan excavator. 


  Selamat datang Malaysia, tuan baru bangsa Indonesia. 




  Hardi dan Orangutan. 




  On May 11, 2007, at 2:14 PM, Sunny wrote:




    RIAU POS

          11 Mei 2007 Pukul 09:38

          Ancaman "Biofuel"

         
          Malam itu dua orang wanita bule menemui saya sebagai teman lama. Saya 
langsung saja pada masalah pokok dan bertanya “Kenapa datang ke Indonesia?”. 
Diapun menjelaskan “Saya baru saja dari Brazil dan sayang sekali saya di sana 
mendapat serangan jantung. Tapi ada hal yang menarik disamping sakit yang saya 
derita dan dua hari tidak sadar.  


          Sekitar seperempat bahan bakar transportasi di Brazil tahun 2002 
adalah etanol”. Pembicaraan lebih serius. Uni Eropa merencanakan 5,75 persen 
etanol yang dihasilkan dari gandum, bit, kentang atau jagung ditambahkan pada 
bahan bakar fosil pada tahun 2010 dan 20 persen pada 2020. 

          Apa hubungannya dengan Indonesia? Masyarakat dunia khawatir sesudah 
penghancuran hutan Sumatera dan Kalimantan maka deretan yang berikutnya adalah 
Papua. Pada masa kini di Eropa sudah tak ada lagi musim semi dan begitu musim 
dingin  maka langsung didera oleh panas. 

          Selama saya mengikuti  Al-Jazeera, BBC dan CNN memang perubahan iklim 
sangat dahsyat sekarang ini. Temperatur di seantero dunia menaik. Akibatnya 
kutub utara dan antartika akan mencair karena efek rumah kaca yang timbul oleh 
karena industrialisasi di Barat besar-besaran sementara di Indonesia hutan 
tanaman industri dan kelapa sawit akan menggantikan humus sehingga terhambatnya 
proses fotosintesa dan produksi CO2 yang berlebih di negara-negara utara. Nah, 
maksud Tim Eropa ini adalah memetakan Papua sehingga entah namanya biji jarak, 
kelapa sawit yang diharapkan oleh pemerintah menjadi biofuel sebagai energi 
alternatif makin menyebabkan dunia  semakin panas.

          Pemerintah Indonesia bahkan merespon kondisi tersebut dengan 
melahirkan kebijakan mendorong percepatan penyediaan biodiesel di Indonesia. 
Jarakisasi (pengembangan tanaman jarak secara meluas) dipandang sebagai sebuah 
program yang dapat memberikan jawaban atas krisis energi dan perbaikan 
kesejahteraan rakyat. 

          Nah, bagaimana dengan Riau? Ambisi Riau ujung-ujung ini memang 
meningkat. Dumai akan dijadikan pelabuhan biofuel terbesar di dunia. Kelapa 
sawit dan hutan tanaman industri akan mencabut hutan-hutan di Riau. Yang satu 
untuk kertas dan yang satu lagi untuk biofuel. 

          Sekalipun dunia memandang Indonesia sebuah masalah yang akan timbul 
dalam mengembangkan biofuel di negeri ini adalah ketika ternyata pengembangan 
yang dilakukan adalah harus dalam skala areal yang sangat luas. Penyediaan 
energi bagi mobil mewah hingga industri-industri yang hingga saat ini sangat 
tidak jelas konstribusinya bagi kesejahteraan rakyat, akan berakibat pada 
semakin terpuruknya sistem kehidupan rakyat. 

          Disadari atau tidak kelapa sawit bukanlah jargon untuk biofuel. Maka 
pemerintahpun akan melihat tanaman jarak pagar. Pada tahun 2006 pemerintah 
telah memfasilitasi upaya percepatan pengembangan jarak pagar yaitu melalui 
Bagian Anggaran 62 MAK 581129 (Divesifikasi Energi) untuk membangun kebun  
induk di 14 provinsi masing-masing 10 hektare dan penanaman seluas 1.720 
hektare, masing-masing 120 hektare  di 11 provinsi (Jambi, Sumbar, Jabar, 
Jateng, DIY, Jatim, NTT, Sulut, Gorontalo, Sulsel dan Sultra) dan 140 Ha di NTB 
serta 260 Ha di Papua. Di samping itu juga difasilitasi pengadaan 1 paket  UPH 
(Unit Pengolahan Hasil) yang terdiri dari 1 unit mesin pengupas buah jarak, 1 
unit mesin press biji jarak, 1 unit mesin penyaring minyak jarak dan 20 unit 
kompor minyak jarak untuk 12 propinsi (Jambi, Sumbar, Jabar, Jateng, DIY, 
Jatim, NTT, Sulut, Gorontalo, Sulsel, Sultra dan Papua). Pengadaan 2 paket UPH 
serta 40 unit kompor untuk NTB. 

          Berapa luas kebun sawit di Riau di luar yang diusahakan rakyat? 
Sedikitnya 105.732 hektare (tahun 2000). Kini diprediksikan dengan kebun sawit 
rakyat paling sedikit dua kali lipat. Sebagai kelanjutan dari program tahun 
2006, pemerintah pada tahun 2007 akan menfasilitasi pemeliharaan kebun induk 
seluas 140 hektare di 12 provinsi/kabupaten. 

          Pengembangan tanaman seluas 1.838 hektare sebagai luncuran kegiatan 
tahun 2006 di 13 propinsi/kabupaten. Luncuran kegiatan tahun 2006 dilakukan 
karena keterbatasan benih unggul, maka pengembangan tanaman tahun 2006 yang 
direncanakan seluas 1.750 hektare tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana, 
sehingga hanya terealisir 478 hektare (27,7 persen). 

          Saatnya bagi kelompok-kelompok komunitas lokal untuk berdiri pada 
posisi kedaulatan atas sumber kehidupan, dengan tidak membiarkan terjadinya 
kerusakan ekologi akibat pengembangan produk tanaman tunggal (monokultur) pada 
kawasan luas pada lokasi dan sekitar lokasi berkehidupan. Menyerahkan tanah 
pada kepentingan industri monokultur untuk kepentingan energi hayati, sama saja 
dengan mencabut ruh kehidupan komunitas secara perlahan. 

          Bagaimana dengan pengalaman negara lain? Ternyata penggunaan biofuel 
justru menambah panas bumi. Pengalaman dari Brazil dan Amerika yang telah 
puluhan tahun mengembangkan bioethanol dari tebu dan jagung, malah memerlukan 
sumber energi yang jauh lebih banyak dalam proses pengolahannya, yang tentu 
saja sumbernya berasal dari sumber energi yang tersedia saat itu, berupa sumber 
energi fosil. Juga telah dibuktikan bahwa secara tidak langsung pengembangan 
biofuel  tersebut telah memberikan tambahan gas rumah kaca di atmosfer.

          Lalu bagaimana dengan rencana ambisius provinsi ini yang menjadikan 
Dumai Pelabuhan biofuel terbesar di dunia sementara hutan di Riau  telah pipil 
oleh HTI. Mungkinkah kelapa sawit yang ditanam menggantikan HTI setelah pasca 
Indah Kiat dan RAPP punah-ranah? 

          Jawabnya bukan disini tapi di Papua di mana mata dunia kini sedang 
melihat agar Papua dan Amazone tetap hijau. Untuk inilah LSM dunia 
beramai-ramai datang ke Papua. Jangan-jangan hutan di sinipun telah pula 
menjadi hutan Kalimantan. 

          Tapi paling tidak kedatangan kedua tamu saya ini yang akan berangkat 
ke Papua menunjukkan perhatian dunia, tinggal Amazone dan Papua yang memberikan 
nafas bagi dunia. Bila Eropa telah kehilangan musim semi maka di Riau pun 
berubah menjadi musim banjir dan musim kabut.***


          Prof dr Tabrani Rab, Rektor Rab University 






   

Kirim email ke