Apapun isunya, Indonesia hanya akan jadi korban. Jadi hati - hatilah
dalam bicara atau menulis karena akan merugikan Indonesia. Demikian
yang bisa kusarikan dari berbagai pembicaraan dengan para pengelola
negara.
Misalnya: Malaysia hancurkan hutan Indonesia untuk kelapa sawit maka
yang namanya rusak karena publikasi sebagai penghancur hutan tercepat
di dunia adalah Indonesia. Kalau saja investasi sawit itu gagal
karena dilawan masyarakat Indonesia, tetap saja alamnya sudah rusak
duluan.
Kalau saja dipermasalahkan secara hukum, salah sendiri Indonesia
punya Bupati - Bupati yang tega menjual bangsa dan negaranya sendiri
demi membelikan anaknya jeep Humvee.
Kalau pada akhirnya terungkap ke publik dunia bahwa sawit Indonesia
tidak ramah lingkungan dan menghancurkan alam, maka yang kena boikot
juga Indonesia.
Industri minyak sawit Malaysia akan aman karena mereka tidak merusak
hutannya sendiri. Mereka merusaknya di negara Indonesia.
Selamat datang tuan baru: Malaysia. Bangsa Indonesia siap dijajah.
Hardi dan orangutan
On May 11, 2007, at 9:09 PM, BDG KUSUMO wrote:
Bung Hardi yth.,
Yang saya ketahui di Eropa tanaman untuk produksi biofuel
dibudidayakan di lahan
yg telah puluhan atau ratusan tahun dipakai untukpertanian. Kini
Eropa sangat melirik
ke tenaga nuklir yang bersih tetapi berrisiko. Alternatif2 lainnya
dikatakan sangat mahal
atau juga kontra-produktif, seperti biofuel ini. Di Brazil,
Amazonia sedang
digunduli, diantaranya untuk biofuel. Memang banyak pertanda
Kalimantan dan
Indonesia umumnya akan mengikuti strategi ini. Mungkin sembako akan
di impor
sebagian besarnya? Sumber2 utama oxygen dunia sedang dibabat. Apa
gantinya?
Bagaimana Mas Koentyo yg Greener dan insinyur kimia?
Tampaknya di Dunia Ketiga sangat lemah perlawanan terhadap
penjarahan yang sangat
serakah oleh bisnis pada alam. Termasuk di Indonesia dimana belum
marak gerakan
NEW LEFT yang berunsur solidaritas atau bahkan pembebasan sosial,
HAM, gender,
ekologi, multikulturalisme dan lain sebagainya.
Pemerintah indonesia kelihatannya tidak punya visi dalam konteks
ini. Pihak oposisi
parlementer yaitu PDI Perjuangan sebetulnya bisa berupaya menolong
bangsa dan
sekaligus memakai tema ini sebagai salah satu "bendera" oposisinya.
Dimana Bung JJ Kusni, sang budayawan dan pejuang lingkungan? Apa
sedang bosan
di Champs Elyses, Paris dan kini masuk lagi dirimba menyimak sikon
di antara warga
Dayak?
Salam, Bismo DG
----- Original Message -----
From: Hardi Baktiantoro
To: mediacare@yahoogroups.com
Sent: Friday, May 11, 2007 2:37 PM
Subject: Re: [mediacare] Ancaman "Biofuel"
Once you dream about BIOFUEL, it would be a real Bio Nightmare!
Saya terlibat dalam liputan Al Jazeera mengenai ancaman Bio Fuel
dan Global Warming. Mereka menggambarkan kehancuran Kalimantan
seperti Tsunami!
Mereka tidak berlebihan. Apa yang saya saksikan benar - benar
biadab, jauh lebih kejam dan jahat daripada illegal logging.
Dalam kejahatan illegal logging, hany akayu - kayu jenis tertentu
yang punya nilai jual saja yang ditebang, yang kecil - kecil
dibiarkan saja untuk kemudian tumbuh besar beberapa tahun kemudian.
Hutan tidak benar - benar gundul.
kalau perusahaan kelapa sawit, mereka benar - benar mencukur gundul
hutan itu. Pohon besar kecil, semak - semak semuanya disapu bersih.
Seauh mata memandang hanya hutan yang porak poranda, rata dengan
tanah seperti tsunami. Panas, panas dan panas. Orangutan dan jutaan
satwa liar musnah digilas buldoser dan excavator.
Selamat datang Malaysia, tuan baru bangsa Indonesia.
Hardi dan Orangutan.
On May 11, 2007, at 2:14 PM, Sunny wrote:
RIAU POS
11 Mei 2007 Pukul 09:38
Ancaman "Biofuel"
Malam itu dua orang wanita bule menemui saya sebagai teman lama.
Saya langsung saja pada masalah pokok dan bertanya “Kenapa datang
ke Indonesia?”. Diapun menjelaskan “Saya baru saja dari Brazil dan
sayang sekali saya di sana mendapat serangan jantung. Tapi ada hal
yang menarik disamping sakit yang saya derita dan dua hari tidak
sadar.
Sekitar seperempat bahan bakar transportasi di Brazil tahun 2002
adalah etanol”. Pembicaraan lebih serius. Uni Eropa merencanakan
5,75 persen etanol yang dihasilkan dari gandum, bit, kentang atau
jagung ditambahkan pada bahan bakar fosil pada tahun 2010 dan 20
persen pada 2020.
Apa hubungannya dengan Indonesia? Masyarakat dunia khawatir
sesudah penghancuran hutan Sumatera dan Kalimantan maka deretan
yang berikutnya adalah Papua. Pada masa kini di Eropa sudah tak
ada lagi musim semi dan begitu musim dingin maka langsung didera
oleh panas.
Selama saya mengikuti Al-Jazeera, BBC dan CNN memang perubahan
iklim sangat dahsyat sekarang ini. Temperatur di seantero dunia
menaik. Akibatnya kutub utara dan antartika akan mencair karena
efek rumah kaca yang timbul oleh karena industrialisasi di Barat
besar-besaran sementara di Indonesia hutan tanaman industri dan
kelapa sawit akan menggantikan humus sehingga terhambatnya proses
fotosintesa dan produksi CO2 yang berlebih di negara-negara utara.
Nah, maksud Tim Eropa ini adalah memetakan Papua sehingga entah
namanya biji jarak, kelapa sawit yang diharapkan oleh pemerintah
menjadi biofuel sebagai energi alternatif makin menyebabkan dunia
semakin panas.
Pemerintah Indonesia bahkan merespon kondisi tersebut dengan
melahirkan kebijakan mendorong percepatan penyediaan biodiesel di
Indonesia. Jarakisasi (pengembangan tanaman jarak secara meluas)
dipandang sebagai sebuah program yang dapat memberikan jawaban
atas krisis energi dan perbaikan kesejahteraan rakyat.
Nah, bagaimana dengan Riau? Ambisi Riau ujung-ujung ini memang
meningkat. Dumai akan dijadikan pelabuhan biofuel terbesar di
dunia. Kelapa sawit dan hutan tanaman industri akan mencabut hutan-
hutan di Riau. Yang satu untuk kertas dan yang satu lagi untuk
biofuel.
Sekalipun dunia memandang Indonesia sebuah masalah yang akan
timbul dalam mengembangkan biofuel di negeri ini adalah ketika
ternyata pengembangan yang dilakukan adalah harus dalam skala
areal yang sangat luas. Penyediaan energi bagi mobil mewah hingga
industri-industri yang hingga saat ini sangat tidak jelas
konstribusinya bagi kesejahteraan rakyat, akan berakibat pada
semakin terpuruknya sistem kehidupan rakyat.
Disadari atau tidak kelapa sawit bukanlah jargon untuk biofuel.
Maka pemerintahpun akan melihat tanaman jarak pagar. Pada tahun
2006 pemerintah telah memfasilitasi upaya percepatan pengembangan
jarak pagar yaitu melalui Bagian Anggaran 62 MAK 581129
(Divesifikasi Energi) untuk membangun kebun induk di 14 provinsi
masing-masing 10 hektare dan penanaman seluas 1.720 hektare,
masing-masing 120 hektare di 11 provinsi (Jambi, Sumbar, Jabar,
Jateng, DIY, Jatim, NTT, Sulut, Gorontalo, Sulsel dan Sultra) dan
140 Ha di NTB serta 260 Ha di Papua. Di samping itu juga
difasilitasi pengadaan 1 paket UPH (Unit Pengolahan Hasil) yang
terdiri dari 1 unit mesin pengupas buah jarak, 1 unit mesin press
biji jarak, 1 unit mesin penyaring minyak jarak dan 20 unit kompor
minyak jarak untuk 12 propinsi (Jambi, Sumbar, Jabar, Jateng, DIY,
Jatim, NTT, Sulut, Gorontalo, Sulsel, Sultra dan Papua). Pengadaan
2 paket UPH serta 40 unit kompor untuk NTB.
Berapa luas kebun sawit di Riau di luar yang diusahakan rakyat?
Sedikitnya 105.732 hektare (tahun 2000). Kini diprediksikan dengan
kebun sawit rakyat paling sedikit dua kali lipat. Sebagai
kelanjutan dari program tahun 2006, pemerintah pada tahun 2007
akan menfasilitasi pemeliharaan kebun induk seluas 140 hektare di
12 provinsi/kabupaten.
Pengembangan tanaman seluas 1.838 hektare sebagai luncuran
kegiatan tahun 2006 di 13 propinsi/kabupaten. Luncuran kegiatan
tahun 2006 dilakukan karena keterbatasan benih unggul, maka
pengembangan tanaman tahun 2006 yang direncanakan seluas 1.750
hektare tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana, sehingga hanya
terealisir 478 hektare (27,7 persen).
Saatnya bagi kelompok-kelompok komunitas lokal untuk berdiri pada
posisi kedaulatan atas sumber kehidupan, dengan tidak membiarkan
terjadinya kerusakan ekologi akibat pengembangan produk tanaman
tunggal (monokultur) pada kawasan luas pada lokasi dan sekitar
lokasi berkehidupan. Menyerahkan tanah pada kepentingan industri
monokultur untuk kepentingan energi hayati, sama saja dengan
mencabut ruh kehidupan komunitas secara perlahan.
Bagaimana dengan pengalaman negara lain? Ternyata penggunaan
biofuel justru menambah panas bumi. Pengalaman dari Brazil dan
Amerika yang telah puluhan tahun mengembangkan bioethanol dari
tebu dan jagung, malah memerlukan sumber energi yang jauh lebih
banyak dalam proses pengolahannya, yang tentu saja sumbernya
berasal dari sumber energi yang tersedia saat itu, berupa sumber
energi fosil. Juga telah dibuktikan bahwa secara tidak langsung
pengembangan biofuel tersebut telah memberikan tambahan gas rumah
kaca di atmosfer.
Lalu bagaimana dengan rencana ambisius provinsi ini yang
menjadikan Dumai Pelabuhan biofuel terbesar di dunia sementara
hutan di Riau telah pipil oleh HTI. Mungkinkah kelapa sawit yang
ditanam menggantikan HTI setelah pasca Indah Kiat dan RAPP punah-
ranah?
Jawabnya bukan disini tapi di Papua di mana mata dunia kini sedang
melihat agar Papua dan Amazone tetap hijau. Untuk inilah LSM dunia
beramai-ramai datang ke Papua. Jangan-jangan hutan di sinipun
telah pula menjadi hutan Kalimantan.
Tapi paling tidak kedatangan kedua tamu saya ini yang akan
berangkat ke Papua menunjukkan perhatian dunia, tinggal Amazone
dan Papua yang memberikan nafas bagi dunia. Bila Eropa telah
kehilangan musim semi maka di Riau pun berubah menjadi musim
banjir dan musim kabut.***
Prof dr Tabrani Rab, Rektor Rab University