Kepentingan Modal Asing Dalam Masalah
Papua<http://diarypapua.blogspot.com/2007/06/kepentingan-modal-asing-dalam-masalah.html>

Ditulis Oleh: Diary Papua*

Papua masih merupakan wilayah rawan konflik yang belum dapat didamaikan atau
paling tidak belum ditemukan jalan terbaik penyelesaian masalahnya. Masalah
Papua bukan sekedar masalah politik melulu tetapi sudah merupakan konflik
multi dimensional yang merasuk segala aspek kehidupan social rakyat. Sebuah
konflik multi dimensional yang harus diurai dan dicari jalan penyelesaiannya
dengan adil.

Jika mulai bicara soal Papua pastilah terpampang disana masalah pelanggaran
HAM yang kronis, kemiskinan structural yang melilit kehidupan hampir 40
persen penduduk (peringkat pertama di Indonesia), pengembangan sumber daya
manusia yang stagnan, operasi dan represi militer yang tiada henti,
praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang korup disertai malpraktek
manajemen negara atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan bagi Papua --
episode pertarungan Ostsus Papua versus Propinsi IJB dapat menjadi contoh
dalam hal ini --, pembalakkan liar, perusakan lingkungan yang parah hingga
pencurian sumber-sumber daya ekonomi rakyat yang tiada henti adalah
merupakan beberapa aspek konflik multi dimensional Papua yang dapat dilihat
jika hendak mencermati masalah Papua secara tuntas.

Konflik Papua juga bukan melulu konflik politik domestik Indonesia. Tanah
Papua, dengan sumber daya alam yang melimpah, sudah mengundang begitu banyak
pihak yang memiliki kepentingan eksploitasi ekonomi sejak awal permasalahan
politik Papua muncul dalam forum-forum internasional ketika menguatnya
perebutan hegemoni atas Tanah Papua oleh Indonesia dan Belanda pada tahun
1960-an. Bolehlah dikatakan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat,
Belanda, Inggris dan Australia adalah pihak-pihak luar yang dalam lima
decade terakhir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung atas berbagai
soal yang muncul di Papua karena kepentingan eksplotasi sumber-sumber
ekonomi mereka di Tanah Papua. Karena sumber daya alam yang melimpah itu
maka dapatlah dikatakan Papua sejak awal telah menjadi masalah dalam peta
politik global yang harus diamati secara lugas jika hendak melakukan sebuah
perubahan yang kualitatif dan berarti dalam permasalahan Papua.

Konkalikong imperialis global dengan pemerintah Indonesia pada saat
negosiasi-negosiasi politik internasional soal Tanah Papua dibicarakan
tampak dengan jelas. Sandiwara politik mengenai Papua yang disutradarai
agen-agen imperialis seperti AS jelas menjadi sebuah kebijakan politik resmi
kekuatan imperialis (konspirasi modal asing) dalam mengintervensi masalah
politik Papua yang menghendaki Papua masuk kedalam NKRI dengan syarat-syarat
eksploitasi ekonomi yang akan menjadi hak ekslusive bagi imperialis dalam
mengeruk sumber daya alam Papua. Latar belakang deal-politik mengenai status
politik Papua yang demikian, jelas sekali menjadi latar sejarah yang dominan
dalam masalah Papua.

Untuk mengelabui masyarakat global, berbagai kebijakan diplomatic
internasional ditetapkan untuk dijalankan dalam penyelesaian masalah Papua.
Sebagai contoh, tarik ulur antara Indonesia dan Belanda soal Papua,
berdasarkan intervensi AS, berhasil diminimalisir menjadi bentrok terbuka
dengan dipaksakannya pelaksanaan proposal Bunker -- proposal ini dirancang
oleh Elsworth Bunker, seorang diplomat senior AS di PBB -- yang mengatur
mengenai aksi politik penyelesaian masalah Tanah Papua.

Berdasarkan tekanan yang kuat dari AS, Belanda dan Indonesia akhirnya
menyepakati usulan Bunker dan ditandatangani pada tanggal 31 Juli 1962.
Proposal Bunker inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya resolusi PBB Nomor
1752 dalam Sidang Umum PBB mengenai Perjanjian New York yang ditetapkan pada
tanggal 24 September 1962. Bagian terpenting dari New York Agreement adalah
ketetapan mengenai aksi bebas memilih (Act of Free Choice) bagi rakyat Papua
yang dalam beberapa hal dilakukan secara manipulatif saat itu di Papua.

Perjanjian New York itu tidak dipraktekkan secara benar di Papua oleh karena
kepentingan ekonomi politik yang lebih dominan dari imperialis global dalam
penyelesaian masalah Papua. Untuk tetap menjaga kepentingan eksploitasi
ekonominya, atas inisiatif AS, dilakukan sebuah pertemuan rahasia di Roma
yang dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat
Perjanjian Rahasia Roma (the Secret Rome Agreement) pada tanggal 30
September 1962, tepat seminggu setelah ditetapkannya Perjanjian New York.

Isi perjanjian rahasia roma adalah; Pertama, pelaksanaan penentuan nasib
sendiri agar ditunda atau dibatalkan; Kedua, Indonesia memerintah Papua
selama 25 Tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 1963; Ketiga, metode Act of
Free Choice digunakan dengan metode Indonesia, yakni musyawarah; Keempat, AS
berkewajiban melakukan penanaman modal melalui badan usaha di Indonesia bagi
eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya; Kelima, AS menjamin Bank
Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua sebesar 30 Juta
dollar AS untuk jangka waktu 25 tahun; Keenam, AS menjamin Indonesia melalui
Bank Dunia dengan sejumlah dana bagi pelaksanaan Transmigrasi dalam rangka
penempatan orang-orang Indonesia di Papua, terhitung sejak tahun 1977.

Pasal empat perjanjian rahasia Roma, seperti tertulis diatas, menjadi giroh
atau inti dari semua soal yang melatar belakangi kepentingan ekonomi politik
AS mengenai Papua. Semangat ekspansionis modal imperialis yang demikian kuat
menjadi dasar sengketa politik Papua yang kemudian menjadi semakin stabil
dibawah pemerintahan orde baru Soeharto yang pro AS. Sebuah cerita panjang
mengenai pencurian sumber daya alam Papua yang tanpa henti itu, rupa-rupanya
berawal dari dan bermula dari sini.

*Papua Sebagai Jaminan Liberalisasi Ekonomi Imperialis Di Indonesia*

Bulan Nopember 1965, sebulan setelah kudeta berdarah terhadap Soekarno yang
anti Barat, Freeport McMoran Gold & Copper mulai melakukan penjajakan
investasi ekonomi dengan regime baru yang pro AS. Penjajakan investasi itu
dilakukan Freeport untuk menambang singkapan deposit tambang tembaga
terbesar didunia yang terdapat di Ertsberg, didaerah pegunungan tengah
Papua. Kepastian mengenai adanya deposit tambang tembaga terbesar itu
dibuktikan oleh Forbes Wilson, seorang geolog AS, melalui sampel geologis
dari singkapan Ertsberg yang ditelitinya pada tahun 1960.

Soeharto, presiden RI kedua, berpaling pada ekonom-ekonom Indonesia yang
dididik AS. Mafia Berkeley, demikian sebutan kelompok ekonom ini, pada masa
orde baru akan menjadi kelompok sentral yang mengarahkan kemana arah
kebijakan ekonomi Indonesia dijalankan, mereka menjadi kaki tangan IMF dan
Bank Dunia dan berdasarkan nasihat-nasihat ekonomi yang mereka berikan
kepada pemerintahan orde baru dimulailah sebuah fase liberalisasi ekonomi
yang memudahkan investasi modal asing masuk ke Indonesia dan Papua --
sebagai daerah yang masih bermasalah pada awal pemerintahan orde baru --
menjadi pertaruhan ekonomi dan harga yang harus dibayar bagi imperialis oleh
Indoneia sebagai bargaining position untuk tetap memiliki Tanah Papua.

Barangkali banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa pintu gerbang
investasi modal Asing di Indonesia terbuka lebar oleh karena kehadiran
Freeport McMoran Gold & Copper yang sejak awal 1960-an sudah berminat dan
bernafsu untuk melakukan penambangan tembaga dan emas di Papua. Barangkali
juga banyak yang hendak melupakan kenyataan bahwa Papua, yang sampai
sekarang masih bermasalah itu, adalah harga yang harus dibayar oleh
Indonesia untuk memperoleh dukungan AS dan imperialis global dan memantapkan
pijakkan kekuasaannya atas wilayah ini.

Untuk membuka kemungkinan dilakukannya investasi ekonomi, Freeport melakukan
negosiasi dengan pemerintah Indonesia yang melahirkan kontrak karya (kk)
generasi pertama yang mengatur tentang ketentuan pokok penambangan oleh
pihak asing di Indonesia. Kontrak karya yang dibuat Indonesia dan pihak
Freeport itu ditetapkan pada bulan April 1967. Seperti kita ketahui, pada
saat itu aksi bebas memilih (act of free choice) atau yang lebih dikenal
dengan istilah 'penentuan pendapat rakyat' (pepera) belum dilakukan dan
wilayah Papua secara de jure belum berada dalam kekuasaan NKRI.

Desakan liberalisasi ekonomi yang kuat dari modal asing mengharuskan
Indonesia mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan
mudah diakses oleh modal asing tanpa banyak urusan birokrasi yang
memberatkan dalam rangka eksploitasi ekonomi mereka. Oleh karena itu
kehadiran Freeport dan kontrak karya yang sudah dibuatnya dengan Indonesia
dikemudian hari melahirkan dua paket ekonomi yang sangat vital bagi
investasi modal asing dibidang pertambangan dan juga sebagai suatu tanda
dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia. Kedua paket kebijakan ekonomi itu
adalah dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1967 Mengenai Penanaman Modal Asing (UU
PMA) dan UU No.11 Tahun 1967 Mengenai Pertambangan (UU Pertambangan). Kedua
paket kebijakan ekonomi itu pulalah yang membuka peluang masuknya raksasa
modal atau multi nationals corporation seperti Freeport McMoran Gold &
Copper, Exxon-Mobil, Rio Tinto, Newmont, Dutch-Shell, Conoco Oil, Petro
China dan beberapa lainnya.

Tidaklah mengherankan jika dikatakan bahwa Papua menjadi tolok ukur sebuah
perubahan kebijakan ekonomi secara signifikan di Indonesia dan bisa
dibenarkan pula bahwa Papua dikorbankan dan digadaikan kepada asing oleh
Indonesia dalam rangka membeli dukungan politik internasional, terutama AS,
untuk memasukkan Papua ke Indonesia. Sebuah sikap politik yang hingga saat
ini menimbulkan konflik tiada henti antara rakyat Papua yang sadar akan
tergadainya hak-hak politik mereka dengan pemerintah Indonesia yang tamak,
serakah dan yang diperbudak modal asing.

*Otonomi Khusus Papua Merupakan Paket Ekonomi Politik Neo-Liberal*

Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 1995 dan semakin menguat pada
tahun 1997 juga menerpa Indonesia. Beberapa analisis strukturalis
mengemukakan pendapat mereka bahwa krisis ekonomi yang terjadi saat itu
adalah merupakan wujud dari dinamika internal kapitalisme yang hendak
merubah metode eksploitasi ekonominya. Pada tahun 1960-an dalam metode
eksploitasi kapitalisme global dikenal istilah pembangunanisme atau
developmentalism, pada decade 1970-an sampai dengan 1980-an akhir
kapitalisme menerapkan metode eksploitasi ekonomi melalui sebuah pendekatan
yang disebut liberalisme pasar.

Rupa-rupanya liberalisme pasar tidak lagi menghasilkan fulus yang aman bagi
induk kapitalis karena berbagai praktek birokrasi yang korup dinegara-negara
dunia ketiga, kondisi yang demikian melahirkan ekonomi biaya tinggi dan
tidak efisien bagi ekspansi modal maupun penarikan untung oleh kapitalisme
global.

Dengan demikian dibuatlah krisis ekonomi yang dilancarkan sendiri oleh kaum
imperialis di beberapa negara, termasuk di Indonesia saat itu, untuk
merontokkan mesin-mesin kekuasaan yang korup dan yang sudah tidak lagi
memberi keuntungan secara ekonomis dan politik bagi eksploitasi ekonomi
negara-negara induk kapitalis.

Krisis ekonomi global menyebabkan gerakan reformasi muncul kepermukaan dan
melahirkan sentimen perlawanan rakyat yang meluas atas berbagai
ketidakadilan, praktek korupsi yang merajalela, sentralisasi kekuasaan
politik dan ekonomi, pengebirian hak-hak demokrasi rakyat dan berbagai
pelanggaran hak asazi manusia yang sangat identik dengan kekuasaan
fasis-militeristik orde baru.

Dalam konteks Papua, dua sisi musti dilihat. Pertama, munculnya gerak
reformasi itu memberikan ruang demokrasi yang lapang bagi rakyat Papua untuk
menyuarakan hak-hak politiknya yang lebih dari empat decade ditiadakan
dengan paksa dibawah tekanan militeristik pemerintahan yang berkuasa yang
telah melahirkan begitu banyak pelanggaran HAM yang mengerikan. Kedua,
ketidakadilan ekonomi yang terjadi selama ini rupanya tidak termaafkan lagi
oleh rakyat Papua, betapa tidak, puluhan trilyun rupiah disumbang Papua
secara rutin tiap tahun kedalam kocek pemerintahan pusat dari berbagai
eksploitasi sumber daya alam yang terjadi, sementara Papua hanya mendapat
bagian dengan jumlah tidak lebih dari satu persen, sebuah paradoks yang
menyakitkan.

Dua hal diatas menyebabkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka menguat.
Tidak ada pilihan lain, pemerintah Indonesia rupanya harus mengambil jalan
baru untuk tetap menjaga Papua berada dalam kekuasaan NKRI agar proses
eksploitasi ekonomi yang telah berlangsung selama ini tetap berjalan dengan
eksis.

Mirip politik etis jaman Hindia Belanda, pemerintah Indonesia juga
mengeluarkan paket politik, yang dapat disebut politik etis, yaitu Otonomi
Khusus bagi rakyat Papua. Disatu sisi, Otsus dipandang pemerintah Indonesia
dapat selesaikan masalah Papua secara tuntas, tetapi disisi yang lain, Otsus
Papua yang merupakan paket politik neo-liberal titipan IMF dan Bank Dunia,
bagi para pemilik modal asing, memberikan dampak positif dan jaminan bagi
kelangsungan eksploitasi mereka serta bahkan semakin memudahkan cengkeraman
modal dan eksploitasinya di Papua.

Dalam konteks ini, desentralisasi politik yang diberikan kepada Papua dalam
paket Otsus adalah merupakan taktik imperialisme global yang disodori kepada
pemerintah Indonesia untuk dijalankan di Papua. Bukan cerita baru,
sentralisasi ekonomi selama ini dijalankan oleh Jakarta dengan praktek
korupsi yang menggila, dianggap merugikan bagi investasi modal asing. Jalan
aman memutus budaya korup Jakarta dan memuluskan hubungan modal asing secara
langsung dengan Papua adalah melalui pemberian Otsus, karena dalam paket
Otsus, pemodal asing bisa langsung berurusan dengan pemerintah Papua, tanpa
harus melalui Jakarta, jika menginginkan investasi ekonomi diwilayah ini.
Bukan tidak mungkin, jika Otsus dijalankan dengan tepat berdasarkan
keinginan imperialis global, maka Papua akan menjadi primadona eksploitasi
modal asing pada masa-masa yang akan datang.

Itulah mengapa dalam beberapa tahun terakhir, AS, Inggris, Australia dan
beberapa negara Barat lainnya selalu mengemukakan dengan jelas bahwa mereka
tetap mendukung Papua berada dalam NKRI, karena sudah terbaca dengan jelas
keuntungan ekonomis yang akan mereka peroleh jika mereka mampu mendorong
pemerintah Indonesia menjalankan agenda Otsus dengan benar di Papua.

Kirim email ke