On Wed, 20 Mar 2002, Dayan wrote:
> >Siswa sekolah SD/SMP/SMA di negara-negara commonwealth (termasuk Hongkong,
> >Australia) biasanya pakai seragam juga.
> 
> Apakah pernah ada tawuran antarsekolah juga ? 

Wah email ini kelupaan saya tanggapin, tapi menarik 8-).  Ke permasalahan
seragam dan sekolah, relatif di sana tidak ada tawuran antar sekolah.
Jadi mungkin ini juga kembali kepada fungsi seragam itu :

1. Membedakaan asal (dia SMA mana, saya SMA mana)
2. Membedakan status (dia SMA keren, dia SMA tidak keren)
3. Memudahkan mencari orang

Nomor 1, dan 2 ini diterapkan untuk seragam sekolah (awalnya nomor 1) tapi
secara tidak sengaja jadi juga nomor 2 (lucunya di Australia seragam
menjadi "simbol" lebih besar dari di Indonesia), tapi dampak tawuran lebih
besar di Indoensia, karena rupanya seragam lebih berperan sebagai alat
penarik garis "ini kita", "itu mereka".

Nomor 3 ini diterapkan di negara seperti Jerman, jadi seragam dikenakan
ketika orang itu sedang bertugas.  Jadi misalnya polisi dari rumah
berangkat (tidak pakai seragam), sampai kantor baru ganti seragam.  Begitu
juga cleaning service, pakai seragam, Tujuannnya agar orang mudah mencari
petugas.

Jadi mungkin seragam/tidak seragam belum tentu memiliki dampak yang buruk.
Tapi yang pasti memang ada extra cost untuk beli seragam (atau bisa juga
penghematan karena nggak perlu mahal-mahal beli baju, cukup yg sesuai dg
seragam).

> Kalau mengenai Jepang, saya dengar persaingan antarsiswanya amat ketat,
> sehingga ada yang bunuh diri, gara-gara musti belajar spartan untuk
> memenangkan persaingan memasuki PTN di sana.

Jepang menganut model piramida, masuk SD bagus bisa ke SMP bagus, masuk
SMP bagus bisa ke SMA bagus, masuk SMA bagus, bisa masuk ke Uni bagus, dan
akhirnya dapat kerjaan bagus.

Indonesia "nyaris" seperti ini, sayangnya koq jadi lain... .he.h.e Artinya
dibangun "center of excellence" yang dibiayai pemerintah, dg harapan putra
"cemerlang" masuk ke Center of Excellence, melakukan research dll yg
hasilnya diberikan ke publik seluas-luasnya. Sayang koq bagian "bagi"nya
ke publik yg tidak terjadi 8-)


> >Di Jerman ...
> >Bila
> >kita tidak ingin ikut wajib militer ini maka kita harus melakukan "kerja
> >sosial" (Civieldienst) selama 18 bulan.
> 
> Apakah ini bisa diterapkan di Indonesia ? Paling tidak orang akan memilih
> melakukan kerja sosial. Dengan demikian TNI akan lebih memusatkan diri pada
> keprofesionalan mereka, karena masyarakat bisa mengurus dirinya sendiri.
> Namun, apakah masyarakat akan bersedia ? Bosan rasanya, mendengar tuntutan
> dari segolongan masyarakat mengenai "Kembali ke Tangsi" (Back to Barrack),
> tapi cuma sebatas melarang orang lain. Kalau masyarakat taat azas, maka
> mustinya pilihan kerja sosial akan menyeimbangkan tuntutan dan kewajiban.

Saya fikir tampaknya sulit diterapkan di INdonesia, karena terlanjur
antipatinya dengan sesuatu "kewajiban" (entah wajib militer atau wajib
kerja sosial sipil).

Soal TNI harus memusatkan diri pada kerjaan "prajurit" sih OK-OK saja,
tapi yg saya perhatikan kadang timbul kondisi tidak "adil".  Ketika di
suatu kondisi, kadang terjadi sipil (atau pegawai biasa) tidak mau
berangkat ke tempat itu (misal jadi Bupati, pak Lurah, dll) maka biasanya
yg "jadi" harapan akhir adalah "ABRI" (saya ngalamin sendiri ketika ortu
harus ke daerah terpencil hanya gara-gara tidak ada orang lain yang
mau.he.he.h.e)

Tapi ketika jabatan itu adalah di kota "besar", yang "enak" baru terjadi
perebutan, dan tuntutan "Back to Barrack" kembali berkumandang.
Sebetulnya sih bukan saya membela "tengtara".  Tapi kadang memang timbul
ketidak "fair"-an dalam menuntut.h.e.he.he

Memang masih banyak sipil seperti dokter yang mau "ke daerah" tapi coba
ambil diri kita sendiri 8-) (misal dosen atau whatever lah), ditempatkan
di tempat terpencil, atau Uni di daerah, apa mau (tentu banyakan yang
menolak.h.e.he.he)

> bermanfaat dibandingkan melaksanakan 'hura-hura' dalam bentuk banpol
> (pembantu polisi), kader GDN (Gerakan Disipiln Nasional) atau wanra. ehm,
> tampaknya ini lebih kena dibicaran dalam milis hankam...
> :)

He.he. status saya lagi "digest" aja di sana..he.h.e maklum banyak kerjaan
8-)

> <dalam kuliah umum di depan militer>
> >Yang menarik semua yang hadir di sana, mendengarkan dengan serius dan
> >melemparkan pertanyaan yang berkualitas.
> 
> Salah satu aturan -dan ini artinya _aturan_ sesungguhnya- dalam mendengarkan
> pembicara, adalah menunjukkan perhatian dan ketertarikan, karena pembicara
> dianggap sebagai atasan. Bagi taraf perwira menengah ke atas, tentunya

Nah nilai positif seperti inilah sayangnya belum (atau tidak) ditiru di
kalangan mahasiswa/dosen 8-).    Dalam soal menulis bahasa Indonesia 8-)
kalau saya baca tulisan mahasiswa Uni dan "siswa SESKO" maaf dari sisi
bahasanya jauh... 8-) (saya kadang mencuri baca karya siswa ini).  Mungkin
mahasiswa Indoensia ada baiknya juga dilakukan semacam "pertukaran" dengan
siswa SESKO.  Biar sama-sama merasakan "dua dunia" ini. 

> >Bila saya bandingkan dengan pengalaman saya memberikan kuliah umum di
> >Universitas (atau lembaga sipil) sangatlah berbeda.  Biasanya "ketua
> >jurusan/atau dekan" membuka seminar, terus setelah itu "kabur". 
> 
> Namun -mengingat kebiasaan di Tanah Air, yang 'pandai' mencari alasan dan
> pembenaran- ini cuma masalah budaya dan kemauan. Saya yakin, ada pejabat
> fungsional yang merasa gerah kalau tidak melaksanakan peran teknisnya,
> karena merasa seperti terpasung dan tidak berkesempatan menambah dan
> mengolah pengetahuannya.

Yang saya temui adalah banyaknya orang tidak mau tahu 8-) apalagi kalau
level mereka udah menjadi dosen 8-) (kalau baca site resmi saya di Univ
Gunadarma...he.he. mungkin paham).   Sehingga alasan "pekerjaan
administratif" sering menjadikan alasan untuk tidak mendengarkan kuliah
umum/seminar.  (apalagi kalau seminar itu tidak ada kredit pointnya ,
alias kum). 

> darinya, maka tidak akan terjadi tindakan badan. Saya kurang mengetahui
> apakah profesionalisme peran juga dikenal oleh mahasiswa, bukan sekadar pada
> dosen.

Istilah profesionalisme di Indonesia sering dikaburkan dengan istilah
"bayaran" 8-).  Ini tidak saja melanda masyrakat umum tapi juga orang yang
seharusnya memahami apa itu "profesi" dan "profesionalisme"

IMW


* Gunadarma Mailing List -----------------------------------------------
* Archives     : http://milis-archives.gunadarma.ac.id
* Langganan    : Kirim Email kosong ke [EMAIL PROTECTED]
* Berhenti     : Kirim Email kosong ke [EMAIL PROTECTED]
* Administrator: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke