Cerita lama bukan ya ini ? Udah pernah launching tp belum jalan ya ampe 
sekarang..? Sama seperti proyek listrik yg heboh tp belom operational..atau 
medical city, atau hotel, atau tower rusunami..atau yg belum lama ini di 
release, dry port nya.
Kalo jababeka pakai ta ajah mungkin ya..? :)

-----Original Message-----
From: Vernichtung <gambler....@gmail.com>
Date: Tue, 22 Sep 2009 21:07:14 
To: obrolan-bandar<obrolan-bandar@yahoogroups.com>
Subject: [ob] KIJA

Dapat info nih, bisa tlg dikonfirmasi?

Kendati diproyeksikan tidak akan semewah Dubai City World di Uni Emirat Arab
yang menghebohkan itu, namun upaya PT Jababeka Tbk (selanjutnya Jababeka)
untuk membangun pusat industri perfilman dan pertelevisian terintegrasi
patut mendapat apresiasi positif.

Jababeka seperti mencoba menawarkan spektrum pengembangan baru dalam
konstelasi bisnis dan industri properti di Indonesia. Mereka menciptakan
blue ocean untuk tidak dikatakan market baru, yakni Indonesia Movieland. Ini
merupakan kawasan industri perfilman dan pertelevisian yang sama sekali
belum dirambah pengembang lain yang justru masih berkutat dalam perlombaan
proyek ‘superblok’ biasa.

Pengembang yang baru saja meresmikan operasionalisasi Metropark Condominium
itu berencana membangun Indonesia Movieland di atas lahan seluas 36 Ha.
Dirancang dengan konsep kawasan industri yang didedikasikan untuk
insan-insan perfilman dan pertelevisian Nasional.

Dikatakan Presiden Direktur PT Jababeka Tbk Setiyono Djuandi Darmono,
Indonesia Movieland bukan sekadar theme park seperti halnya Universal Studio
di Amerika Serikat yang tujuan utamanya memang menarik wisatawan. “Indonesia
Movieland lebih dari itu, merupakan pusat industri kreatif perfilman dan
pertelevisian. Diharapkan dari sini lahir sineas-sineas andal yang mampu
memproduksi film-film bermutu yang mampu mengisi pasar domestic dan
mancanegara,” ujar Darmono.

Proyek istimewa ini akan merangkum fasilitas-fasilitas yang mendukung
berlangsungnya kegiatan produksi, pasca produksi dan apreasiasi film dan
televisi seperti studio dengan ukuran yang bervariasi sebagai tempat
syuting, TV Station, President Film Academy, museum dan laboratorium film,
pusat kebudayaan, gedung serba guna (convention hall). Yang paling utama,
terdapat lokasi syuting dengan sejumlah replika yang sangat dibutuhkan
kalangan perfilman dan pertelevisian. Akan disediakan mobil-mobil kuno,
jalan-jalan legendaris di dalam dan luar negeri, dan rumah-rumah yang
dibangun seperti tahun 50-an, atau bahkan hutan buatan.

Karena dirancang sebagai kawasan industri (industrial estate), Jababeka juga
bakal melengkapinya dengan membangun perumahan dan fasilitas menginap guna
mengakomodasi kebutuhan para penggiat perfilman dan televisi akan tempat
tinggal. Fasilitas tempat tinggal tersebut berupa 29 unit town houses, 64
unit landed houses, apartemen dan pusat hiburan yang beroperasi 24 jam serta
hotel bintang lima. Pembangunan Indonesia Movieland sendiri dijadwalkan
berlangsung kuartal IV 2008 dan direncanakan rampung pada 2011.

Dibutuhkan dana lumayan besar untuk merealisasikan proyek tersebut, sekitar
Rp3,6 triliun. Jababeka sendiri hanya sanggup menyediakan sekitar 20
persennya saja. “Sebagian besar lainnya kami upayakan mendapat pinjaman dari
bank,” ujar Darmono. Agar tidak menjadi proyek yang sebatas ‘wacana’
Jababeka juga menempuh opsi strategis melalui perkongsian dengan beberapa
pihak. Di antaranya Multivision Plus sebagai equity partner dan Microsoft
Indonesia. Nama terakhir ini berkomitmen dengan memberikan new graphics
software secara gratis kepada seluruh mahasiswa jurusan multimedia yang
menimba ilmu di President Film Academy, serta kepada semua perusahaan pemula
di bidang multimedia yang beroperasi di Indonesia Movieland.

Selain itu, kontribusi Microsoft Indonesia juga merambah pada pemberian
diskon yang besar untuk software high performance computing yang dibutuhkan
dalam rendering grafis bagi industri film dan animasi.

Bukan perkara mudah untuk mewujudkan proyek ini. Mengingat beberapa waktu
silam, TVRI juga pernah membangun properti serupa yakni Studio Alam di
Depok, Jawa Barat, sementara rumah produksi milik Camelia Malik juga punya
Studio Persari, dan Kampung Artis milik PT Taman Kampung Artis (anak usaha
Gajah Mada Record). Ketiganya juga dilengkapi fasilitas indoor dan outdoor
studio, kafe dan tempat hiburan. Meski masih kerap digunakan sebagai lokasi
syuting film dan sinetron, namun pengelolaan dan teknologi yang digunakan
masih terhitung sederhana untuk tidak dikatakan primitif. Jadi, belum bisa
diandalkan untuk menghasilkan karya film dan televisi yang bisa berkompetisi
dengan karya impor.

Kehadiran Indonesia Movieland mustinya bisa mengisi celah ini. Sebab, gairah
perfilman dan pertelevisian di Indonesia tengah dalam masa tinggal landas.
Hasil riset AGB Nielsen di 10 kota area survei (Jakarta, Bandung, Medan,
Semarang, Surabaya, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan
Banjarmasin) menunjukkan kenaikan yang cukup dramatis pada jam tayang film
lokal tahun 2007. Yakni 2.292 jam yang berasal dari beberapa stasiun
televis, seperti RCTI (160 jam tayang), SCTV (99 jam), TPI (88 jam), dan
Indosiar (82 jam).

Dus, belanja iklan televisi yang mencatat nilai Rp23,121 triliun, bisa
dijadikan indikator atas proyeksi perkembangan kawasan industri spesifik
ini. Tren belanja iklan tersebut memperlihatkan kurva meningkat 13% dari
tahun 2006 silam yang hanya mampu menuai Rp20,51 triliun. Jelas, data dari
Nielsen Media Research bisa dijadikan acuan betapa industri perfilman dan
pertelevisian membutuhkan sebuah kawasan terpadu yang dapat mengakomodasi
sekaligus merangsang pertumbuhan produksi.
“Diharapkan dari Indonesia Movieland dapat melahirkan lebih dari 1.000 karya
film dan sinetron. Melebihi yang dihasilkan Bollywood di India dan Negara
tetangga seperti Hong Kong sebagai pusat perfilman Asia,” harap Darmono.

Indonesia Movieland termasuk salah satu dari dua proyek besar yang
dicanangkan Jababeka tahun ini. Selain Indonesia Movieland, tahun ini
perseroan akan mengembangkan Medical City di atas lahan seluas 70 Ha.

Kapitalisasi Jababeka Capai Rp2 Triliun
Meskipun kalah agresif dibanding pengembang lain macam PT Bakrieland
Development Tbk dan Agung Podomoro Group, PT Jababeka Tbk diam-diam memiliki
kapitalisasi aset senilai lebih dari Rp 2 triliun. Angka ini tercipta berkat
amannya aset-aset mereka dari intaian pihak lain saat melakukan
restrukturisasi hutang beberapa waktu lalu.
Sebut saja Kawasan Industri (KI) Jababeka seluas 1.580 Ha. KI ini kini
bernilai Rp853 miliar. Sementara KI Cilegon yang seluas 800 Ha
berkapitalisasi Rp960 miliar. Ini belum termasuk 1.500 Ha Perumahan Graha
Buana Cikarang senilai Rp 675 miliar, KI Indocargo Mas (200 Ha) Rp 108
miliar, tanah Batavia Perkasa (Rp150 miliar) dan Padang Golf Cikarang (40
Ha) dengan nilai Rp 200 miliar.

Selain itu, Jababeka juga masih memiliki 1.500 Ha lahan yang belum digarap
di Tanjung Lesung, Banten senilai Rp 807 miliar, aset properti komersial
Batavia City Realty yang popular dengan sebutan Menara Batavia di Jakarta
(Rp112 miliar), Plaza Jababeka (Rp38 miliar) dan Tanjung Lesung Resort
dengan lahan seluas 18.300 Ha, yang ditaksir bernilai Rp18 miliar.

DIarsipkan di bawah: property business and industry
« Urban Lifestyle, Tak Pernah Mati 8 Ribu Unit dari Graha Rayhan

Kirim email ke