Pak DE,
jangan lupa juga penikmat rendahnya exchange rate Tiongkok thdp mata uang
asing adalah perusahaan persh multinasional yg ngendong di Tiongkok.
Dan spt kita tahu dari data FDI (foreign direct invesmente) selama 20 thn
terakhir siapa yg tidak ada di Tiongkokk.

Combine annual purchase Walmart, IKEA, Carrefour saja sekitar US$ 26 milyar
(billion) dan itu dipasok dari para Mattel Mattel yg diajak pindah ke
Tiongkok. Selain memasok ke gajah gajah gede ini, para Mattel Mattel et al
ini juga memasok ke segenap penjuru bumi dng export langsung dari daratan
sana.

Belum dihitung dengan beneift yg dinikmati dari penjual penjual jasa
(services) spt Microsoft, Intel yg punya pusat pusat pengembangan dan
penelitian secara massif.

Lobby pengusaha pengusaha ini yg sesungguhnya bekerja keras juga agar mata
uang Tiongkok tidak secara drastis di revaluasi (istilah yg amat asing
dikita ya..yg udah biasa dng devaluasi ).

GE menyatakan kemarin selama pertumbuhan di Tiongkok tetap sebaik sekarang
mereka tidak kawatir dng resesi di US, artinya tingkat ketergantungan bisnis
nya di US jauh lebih mengecil dibanding masa lalu.

Tiongkok sendiri sangat menyadari tingginya tingkat pertumbuhan juga ndak
sehat buat mereka dan usaha usaha riel selama ini amat intensif dilakukan
tanpa tekanan dari luar.

Contoh kecil liburan 1 x 3 minggu tahunan, yg diharapkan mendorong tingkat
konsumsi agar saving level yg mendekat 55% GDP bisa berkurang. Pajak atas
properti kedua bila dijual dlm 2 thn.

Posisi Indonesia?
Mestinya jadi pemasok bahan baku yg serious utk menunjang pertumbuhan
industri disana adalah salah satu yg baik menurut hemat saya.

salam,
t

Kirim email ke