haha engga pak.. cuman suka keusik ga sih pak.. buat sebagian orang
itu hefty profit by exploit weakness ato loophole di sistem finansial
dgn currency play ato margin leverage cornering ato semacemnya seems
like a "fair and square deal" or just an usual act on so-called modern
world., tp seringnya yg kena dampak parahnya ya masyarakat awam pak.
ga ngerti apa2. buat survive hidup sehari2 aja udah barely, gimana
bisa punya priviledge investing kaya kita semua.. bubble harga makanan
partly disebabkan sama spekulan, pun harga BBM, pun harga material,
atau waktu krisis98 dulu jg mata uang kita terpukul.., kan kasian
rakyat yg kecil-kecil pak. seems hypocrite emang krn kita2 semua ya
dibilang kapitalis ya iya jg wong idupnya dr pasar modal. tp untuk
bisa TERTAWA2 dan BERBANGGA2 dr hasil eksploitasi yg di sisi sebelah
sana mungkin aja malah ngebikin hidup banyak orang jd susah tanpa tahu
sebab kenapa hidup mereka yg udah sulit makin sulit seems to aching to
just be ignored and valued as "common practices".. 

sedikit ngingetin yg kmaren terakhir pak., diambil dr catatan pinggir
goenawan mohammad. ini dekat sekali dgn kita. paling tidak lingkungan
sosial saya masih sering nemu yg kayak gini., pensiunan ngeluh karena
daya beli uangnya makin lama makin susah., tukang gorengan depan
kantor curhat gara2 minyak goreng mahal dy susah nabung buat anaknya
sekolah. yah di Indonesia mah begini., gatau tuh di kampungnya El
gimana. mungkin jauh lebih beruntung dari kebanyakan kita. yah gimana
lagi yah.. Let's all Hail The Great Capitalism Than!! (Dengan Senym
Kecut dan Lidah Tertahan)




Slamet


Slamet adalah sebuah teriakan, ketika ia bunuh diri pada umur 48.
Mungkin kota Pandeglang mendengarnya. Mungkin Banten dan Jakarta
mendengarnya. Tapi hanya 10 menit.

Segera setelah itu, teriakan itu lenyap. Slamet hilang. Ia kembali
jadi noktah yang melintas tipis pada layar radar, seperti berjuta-juta
titik lain yang diabaikan. Jakarta sibuk. Tuan-tuan sibuk: tuan-tuan
berbaris membesuk Suharto, sang patriakh yang gering terbaring di
rumah sakit itu, dan dengan tekun tuan-tuan mengikuti naik-turun
tekanan darahnya, menyimak jantung dan paru-parunya, berkomat-kamit
membaca doa untuknya, dan berseru, makin lama makin keras, maafkan
dia, maafkan dia …

Tentu, semua itu karena tuan-tuan orang yang beradab. Tapi tak ada
peradaban yang tak berdiri di atas pengakuan bahwa ada mala yang
besar, (meskipun tak disebut sebagai dosa), ketika di luar pintu
seseorang rubuh, tertindih, hilang harap — dan kita tak menolongnya.

Slamet adalah indikator negatif peradaban.

Lelaki ini seorang pedagang yang tekun, meskipun tetap miskin. Sejak
1993 dengan angkringannya ia jajakan gorengan singkong, tahu, tempe,
dan pisang di sekitar jalan Ahmad Yani di Pandeglang. Ia pernah yakin
hidup akan lebih baik setelah ia berhenti bekerja di sebuah
pom-bensin. Mula-mula memang ada harapan: ia bisa memperoleh untung
sedikit sedikit. Kata isterinya, Nuriah, Slamet dapat membawa laba
sampai Rp 20 ribu sehari.

Tapi kemudian harga kedelai naik cepat dari Rp 3.400 menuju ke Rp 8000
sekilo. Akhirnya Slamet hanya bisa membawa pulang rata-rata Rp 8000,
sementara tiap kali ia harus belanja bahan sampai Rp 100 ribu.

Apa yang bisa dilakukannya? Utangnya memberat. Tapi bukan hanya itu
yang menimpanya. Ia, yang lahir di Ciamis dan mati di Pandeglang, ia
yang berkeluarga di rumah 7 x 7 meter persegi berdinding gedeg yang
terletak di dekat Pasar Badak, ditentukan nasibnya tak di sana,
melainkan di kejauhan: oleh para birokrat Departemen Pertanian dan
Perdagangan, oleh pasar dunia yang bergejolak, oleh ladang dan lumbung
di Amerika Serikat, oleh pusat-pusat makanan di Cina, oleh cuaca dan
panen di Brazil, oleh struktur agribisnis di Argentina.

Apa daya Slamet di sela-sela jaringan raksasa itu? Seorang pakar
Departemen Pertanian Amerika Serikat telah memperhitungkan, produksi
kedelai tahun 2007-2008 akan turun 14% di negeri itu, dan pembaca
koran tahu Amerika Serikat adalah salah satu produsen terbesar. Ketika
para petani Amerika mendahulukan menanam jagung yang lebih
menguntungkan untuk industri biodiesel, suplai kedelai pun merosot di
dunia. Sementara itu, Brazil dan Argentina hanya meningkat sedikit
panennya. Sementara itu, permintaan bertambah, terutama dari Cina dan
India, dua negeri yang lebat penduduk dan sedang tumbuh pesat
ekonominya. Maka harga pun membubung tak terelakkan. Di Pandeglang,
Slamet terjungkal.

Apa yang bisa dilakukannya? Ia hidup di sebuah negeri dengan para
birokrat yang seperti tak hendak tahu dan berbuat; trend memburuk di
pasar dunia itu bukanlah sesuatu yang mendadak. Slamet adalah sebuah
indikator keteledoran.

Ia juga gejala kegagalan. Di tahun 1974, Indonesia bisa memenuhi
kebutuhan kedelai dengan produksi sendiri, tapi sejak 1975 sudah mulai
jadi pengimpor. Ketika di Jawa tanah-tanah pertanian yang subur
dipergunakan untuk kebutuhan lain, kedelai kian tak dapat ruang yang
cukup untuk ditanam. Seorang peneliti, Dewa K.S. Swastika, bahkan
sejak tahun 2000 menghitung: tanpa terobosan yang berarti, defisit
kedelai akan berlanjut.

Apa "terobosan" itu, saya, seperti halnya Slamet, tak tahu. Yang saya
tahu, Indonesia tak mengalami apa yang dialami Brazil. Di sana,
demokrasi yang menggantikan kediktaturan militer membongkar juga
kendali pemerintah atas pasar, dan di antara 2002-2003 (ketika di
Indonesia tak ada lagi harapan untuk swa-sembada) di negeri Amerika
Selatan itu produksi kedelai naik hampir 300% dibandingkan dengan
1987-1988.

Lebih beruntungkah Brazil ketimbang Indonesia, yang kembali ke
demokrasi dengan masyarakat yang telah dipangkas habis sumber-sumber
kepemimpinannya? Saya tak tahu adakah ini soal malang dan mujur. Yang
pasti, demokrasi datang dan negeri ini hanya punya sederet pengambil
keputusan yang kacau, atau tak cerdas, atau bingung. Tampaknya cerita
kedelai ini juga cerita keledai-keledai.

Tuan-tuan pasti tak mau seperti itu. Tapi jangan takut. Cerita Slamet
bukanlah hanya cerita tentang tempe dan kekuasaan dan kebebalan. Ia
juga cerita sebuah keadaan, ketika seorang bisa begitu putus asa
dililit utang yang tinggal separuh dari Rp 5 juta, sementara tak jauh
dari tempat ia menggantung diri ada orang-orang yang menghabiskan
beratus juta untuk satu malam perhelatan. Cerita Slamet adalah cerita
seorang yang dibunuh dengan acuh tak acuh. Maka ia juga cerita tentang
kematian yang tak terdengar, tapi seperti sebuah teriakan.

Slamet memang tak menggugat siapa-siapa, tapi ia tetap sebuah kontras:
ia kecemasan yang tak ditengok, ia bukan Suharto yang terus menerus
dijenguk. Tapi ia lebih siap mati. Menjelang ia menggantung diri,
dibelinya dua helai kaus putih. Ia bicara dengan Oji, anaknya yang
masih di kelas tiga SMK Pariwisata dan sudah setahun belum membayar
uang sekolah. Ia bisikkan bahwa ia akan segera meninggal.

Slamet akhirnya sebuah cerita selamat tinggal yang tenang. Putus-asa
itu tampaknya menyebabkannya siap dan ikhlas. Ia adalah pemberitahuan,
ia seperti sajak Subagio Sastrowardojo: pada akhirnya, apa sebenarnya
yang dimiliki manusia?

    Tak ada yang kita punya

    Yang kita bisa hanya
    membekaskan telapak kaki,
    dalam, sangat dalam,
    ke pasir
    Lalu cepat lari sebelum
    semua beakhir

~Majalah Tempo, Edisi. 47/XXXVI/21 - 27 Januari 2008

--- In obrolan-bandar@yahoogroups.com, "ngarep.kaya.nih"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> ha ha ha ... bukan belain siapa-2 tp cuman geli ajah.... udah
dibilang email direct aja kan..
> Kang kalo 98 baru masuk smp berarti belum ngalamin market gini ya
??? (sorry bukan ngeledek ya...)
> Market seperti ini yang dicari karena menurut saya, u gain from
volatility not only from bull market. Setuju gak ya ?
> Lagian maen saham kan capitalism, kalo gak maen indeks syariah aja
kali..??
> 
> kang_ocoy_maen_saham <[EMAIL PROTECTED]> wrote:             
               Dasar Kapitalis Kamuh!! ;P... Kembalikan Kemakmuran
Kepada Rakyat!!!..
>  
>  -Now that u mentioned The Baht Currency Disaster., Hiks.. jd inget
>  krisis 98.. waktu itu baru masuk smp, tp keterpurukan rakyat gara2
>  spekulator masih kerasa ampe sekarang... sialan kalian para
kapitalis...
>  
>  --- In obrolan-bandar@yahoogroups.com, Elaine
>  <you.can.call.me.elaine@> wrote:
>  >
>  > *I'm not a trader, so I guess I still rely on my salary. :) But if
>  you ask
>  > about the firm I work for, well for Asia Pacific  it's around USD
2,500
>  > million this year (excl. China & Malaysia) in stocks/options, swaps,
>  bonds
>  > and forex. (that makes up around 33% gain, we made a big shot when we
>  > shorted the USD)
>  > 
>  > Before I got flamed again, guys please DON'T SPAM this mailing list.
>  Mind
>  > other members. If your subject is specifically directed to me, then
>  email me
>  > directly. Ok? :)
>  > 
>  > Umm about the robots, I'm not talking about things like the
Transformers
>  > LOL. It's actually a computer network that manage our portfolios
>  around the
>  > world. Come on, don't tell me you didn't know this kinda stuff.
>  Almost all
>  > brokerage firm in the world utilize this one.
>  > 
>  > I read someone commented about LTCM. I know, they suffered huge loss
>  in 1997
>  > (they were bailed out but later liquidated) but it was global
financial
>  > catastrophe. Even the Russian government defaulted their bonds
and most
>  > Asian country were troubled with the crisis (which all started from
>  the fall
>  > of Baht - shorted by speculators lol. Baht plunged because of
liquidity
>  > crises from PROPERTY developers who were unable to pay their US
dollar
>  > nominated debt from banks)
>  > 
>  > But the failure of LTCM was caused by using a strategy which was
>  non-market
>  > directional (ignoring stock PRICES and interest RATES). They also
>  > overweighted in Merger Arbitrage and SP500 options.
>  > 
>  > *blah blah*
>  > 
>  > I could explain more but this is OB, not Finance Class. lol
>  > 
>  > **Elaine*
>  > 
>  > 2008/3/25 JsxTrader <jsxtrader@>:
>  > 
>  > > Bukti bahwa Pendekar Tangan Kosong ternyata MAMPU mengalahkan
>  > > ROBOT-ROBOTnya
>  > > EL yg canggih dan namanya aneh-aneh.., bayangin sejak awal tahun
>  cuannya
>  > > Sang Pendekar sdh RATUSAN PERSEN..., ck..ck..ck.. coba kita tanya
>  robotnya
>  > > EL sdh cuan brp...
>  > >
>  > > Gimana kalo saya nitip aja deh ke Pa' Oen? Untungnya nanti kita
>  bagi dua
>  > > Pak?? Setuju? He..he..he..canda Pak.
>  > >
>  > > Salam,
>  > > JsxTrader
>  > >
>  > > -----Original Message-----
>  > > From: obrolan-bandar@yahoogroups.com [mailto:
>  > > [EMAIL PROTECTED]
>  > > On Behalf Of jsx_consultant
>  > > Sent: 25 Maret 2008 13:29
>  > > To: obrolan-bandar@yahoogroups.com
>  > > Subject: [obrolan-bandar] Re: IHSG RESIT = 2390
>  > >
>  > > Anda memang pantas disebut pendekar tangan KOSONG karena
>  > > anda bisa membuat analisa langsung dari BID-OFFER-DONE tanpa
>  > > grafik...
>  > >
>  > > Tuh, ilmu baru dari pak Oentoeng....
>  > >
>  > >
>  > >
>  > > No virus found in this outgoing message.
>  > > Checked by AVG.
>  > > Version: 7.5.519 / Virus Database: 269.22.0/1341 - Release Date:
>  > > 24/03/2008
>  > > 15:03
>  > >
>  > >
>  > >
>  > >
>  > > ------------------------------------
>  > >
>  > > + +
>  > > + + + + +
>  > > Mohon saat meREPLY posting, text dari posting lama dihapus
>  > > kecuali diperlukan agar CONTEXTnya jelas.
>  > > + + + + +
>  > > + +Yahoo! Groups Links
>  > >
>  > >
>  > >
>  > >
>  >
>  
>  
>      
>                                        
> 
>        
> ---------------------------------
> Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. 
Try it now.
>


Kirim email ke