Assalamu'alaikum wr.wb.,

Alhamdulillah, wa syukurillah, wa laa haula walaa quwwata illa billaah.

Nabi Muhammad Salallahu 'alaihi wassalam bersabda tentang (rukun) iman yaitu
beriman kepada Allah, dan kepada malaikat-malaikatNya, dan kepada
kitab-kitabNya, dan kepada rasul-rasulNya, dan kepada hari akhirat, dan
kepada qadar yang baik maupun yang buruk.

Kita mengenalnya dengan enam rukun iman di dalam agama Islam.

Apakah yang dimaksud dengan qadar, yang baik maupun yang buruk? Qadar, atau
kita tulis saja takdir, adalah ketentuan-ketentuan Allah yang sudah berlaku.
Yang sudah terjadi dan tidak dapat dirubah lagi. Seorang Munir yang
meninggal di atas pesawat dalam perjalanan ke negeri Belanda adalah takdir
Allah. Bom yang meledak di Kuningan kemarin itu adalah takdir. Begitu juga
kerusakan di negeri Iraq yang saat ini menderita karena di hancurkan oleh
penjajah Amerika adalah takdir. Bercokolnya Suharto selama 32 tahun
memerintah negara kita ini adalah takdir. Sebaliknya, terhindarnya banyak
orang dari kebinasaan ketika bom meledak seperti di Kuningan itu juga
merupakan takdir. Ada orang yang selamat dari musibah besar yang melanda
adalah takdir. Begitupun, terbebasnya Indonesia dari penjajahan Belanda
menjadi sebuah negeri yang berdaulat juga merupakan takdir ketetapan Allah.

Bila takdir yang berlaku itu berupa kerugian, atau kerusakan, atau
kemalangan kita biasa menyebutnya musibah. Itulah yang termasuk kedalam
golongan qadar atau takdir yang buruk. Kalau kejadiannya berupa
kebaikan, terhindar dari mala petaka, keberhasilan usaha,
kita menyebutnya nikmat atau keberuntungan dan itulah yang disebut sebagai
takdir yang baik.

Manusia boleh berikhtiar untuk memperoleh suatu hasil, berusaha untuk meraih
keberuntungan. Begitu pula manusia boleh berikhtiar untuk terhindar dari
kemalangan, terhindar dari kerugian, terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Akan tetapi adakalanya ikhtiar, usaha, kerja keras itu tidak
membawa hasil seperti yang diharapkan, karena Allah menetapkan 'takdir' yang
lain sekehendakNya. Orang-orang yang beriman menyikapi takdir yang terjadi
itu secara proporsional. Dikala mendapat keberuntungan dia bersyukur karena
sadar bahwa keberuntungannya itu adalah takdir dan anugerah Allah Subhanahu
Wa Ta'ala. Dia syukuri nikmat atau keberuntungan itu dan dia sadari bahwa
tanpa pertolongan Allah tidak mungkin dia mendapatkannya. Sebaliknya, dikala
mendapat ujian berupa musibah, kehilangan sesuatu yang disayanginya, dicobai
dengan penyakit, atau dicobai dengan kecelakaan dan sebagainya, dia segera
berserah diri kepada Allah. Dia kembalikan segala urusan itu kepada Allah.
Tidak ada umpatan, tidak ada penyesalan, tidak ada ratapan serta hujatan
kepada Allah seolah-olah Allah telah berlaku tidak adil kepadanya. Yang ada
hanya pasrah dan kesabaran. 'Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun,'
itulah yang keluar dari lubuk sanubarinya.

Bukankah lebih beruntung orang-orang yang mampu menyikapi segala sesuatu
yang dia terima itu dengan senantiasa bersandar kepada Allah? Bersyukur
kepada Allah ketika mendapat kebajikan, dan bertawakkal kepada Allah waktu
dicobai dengan musibah? Berbeda dengan orang-orang yang tidak beriman.
Ketika memperoleh keberuntungan, muncul sombong dan takaburnya. Merasa bahwa
dia hebat. Dengan kehebatannyalah dia memperoleh keberhasilan itu.
Kebalikannya ketika dia gagal, ketika mendapat musibah, kalang kabut dia
mencari kambing hitam. Dia mengumpat kesana kemari, panjang pendek. Dia
sesali kenapa tadi mesti begini, tidak begitu saja. Kenapa tadi dikerjakan
dengan cara
itu, tidak dengan cara ini. Padahal, ketika takdir itu sudah berlaku, tidak
ada yang dapat merubahnya lagi. Tidak dapat kita merubah keadaan dan
kerusakan yang terjadi di Kuningan seperti sebelum bom meledak.

Apakah terjadinya musibah, kerusakan, kehancuran di muka bumi Allah itu
seizin Allah juga? Apakah Allah membiarkan saja hambanya berbuat kerusakan
di muka bumi? Benar, terjadinya kerusakan, kehancuran, malapetaka yang
disebabkan oleh tangan-tangan manusia itu terjadi dengan seizin Allah jua.
Sepengetahuan Allah jua, melalui sunatullah. Kalau dibakar dengan api,
terbakar. Kalau hutan dihancurkan, lalu tidak ada lagi yang menahan air,
makaakibatnya mudah  terjadi banjir. Semua itu dengan ketentuan Allah. 'Maa
ashaaba min mushiibatin illaa bi itznillaah' ( Setiap musibah yang menimpa
seseorang adalah dengan izin Allah (sesuai dengan sunnahNya) (al Quran
64:11)).

Bagi orang yang beriman, ini mengajarnya untuk mawas diri, untuk
berhati-hati, untuk berikhtiar agar terhindar dari malapetaka. Namun,
seandainya petaka itu datang juga, dia bersabar dan berlindung kepada Allah
semata.

Wassalamu'alaikum wr.wb.,

Lembang Alam






____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke