Boleh ga posting cerpen kayak gini, buat baca iseng2 sebelum tidur?

Thanks

Merengkuh Rembulan

Oleh : [EMAIL PROTECTED]


Saya sedang membaca dua buah buku silih berganti, yaitu La Tahzan (Jangan 
Bersedih) tuntunan untuk menjadi seorang insan yang berbahagia karangan Dr. Aid 
Abdullah al-Qarni dan Steps to the top karangan Zig Ziglar yang mengajarkan 
kiat-kiat menuju puncak.

Steps to the top:

Syahdan, gubernur Massachusetts sedang bejuang keras untuk memenangkan 
pencalonan gubernur untuk kedua kalinya. Ia kampanye sepanjang hari, tidak 
sempat makan siang dan terlambat datang pada acara bakar ayam bersama yang 
diselenggarakan oleh pendukungnya disebuah gereja.

Tatkala ia menyodorkan piring, perempuan tua yang berada diseberang meja 
menaruh sepotong ayam saja di piringnya. “Ma’af” katanya, “Bisa saya minta 
sepotong lagi?”.

“Tidak bisa pak, jatahnya hanya sepotong untuk setiap orang” jawab si perempuan 
tua sopan.

“Ibu tidak kenal saya” ia menekan. “Saya Christian Herter, Gubernur negara 
bagian ini”.

Perempuan tua itu menatap kedepan lalu berkata. “Dan saya adalah orang yang 
bertanggung jawab atas ayam bakar ini” tegas dan berani sembari memerintahkan 
sang gubernur maju sebab banyak orang yang antri di belakang.

Sumatera Ekpres 5 Februari 06 H, Dulmukti Djaja menulis dalam Refleksi dengan 
judul ‘Warga Belanda tak takut polisi’, ia menceritakan tentang kecintaan warga 
negara Belanda terhadap kebersihan dan kepatuhan mereka terhadap hukum. Warga 
Belanda tidak takut kepada polisi berkumis tebal ataupun akar bahar hitam yang 
melingkar di lengan seperti disini, tetapi takut kepada hukum yang berlaku di 
negara itu.

Kedua hal tersebut diatas tidak ada hubungannya dengan karangan yang akan saya 
tulis dibawah ini, tetapi sangat menarik untuk dijadikan sebuah renungan.

Lagipula, saya kurang berminat untuk menulis topik yang terlalu berat. Saya 
lebih cenderung kepada yang manis-manis saja, yang tentunya disukai setiap 
orang.

Seperti yang satu ini;

Lokasi kejadian adalah desa Ninh Phuoc terletak dipinggir pantai di propinsi 
Khan Hoa Vietnam Selatan. Desa ini dahulunya sangat terisolir, baru saja 
terbuka beberapa tahun lalu semenjak berdirinya sebuah galangan kapal milik 
perusahaan Korea disitu. Kaum pria disini sangat ringan tangan, pemabuk dan 
berlaku kejam terhadap perempuan. Para pelaut yang singgah menjadi idola bagi 
gadis-gadis remaja.. Tidak saja mereka royal dalam hal materi tapi juga berlaku 
baik terhadap gadis-gadis itu. Sedangkan para orang tua akan bangga kalau ada 
orang asing berkunjung kerumahnya. Suasananya kurang lebih seperti kalau ada 
‘belando masuk dusun’ begitulah.

Tanah masih lembab, gerimis baru saja berhenti. Desiran angin malam berhembus 
lembut, kelopak-kelopak bunga yang sudah mekar terjatuh dari kuntumnya, 
sedangkan putik-putik yang masih kuncup tersuruk-suruk diantara ranting-ranting 
perdu yang saling bergesekan.

Kami baru saja keluar dari pintu gerbang galangan kapal. Bau makanan laut bakar 
memenuhi rongga hidung. Kami merunuti sumber bau yang menyengak itu. Sekitar 
seratus meter dari pintu galangan, berpuluh-puluh pedagang cangkungan memenuhi 
kiri kanan jalan yang menuju ke kampung dalam. Jualan mereka bermacam-macam, 
makanan kecil, minuman ringan hingga minuman keras. Bahkan perempuan-perempuan 
berdandan menor pun ada disitu. Mendapati suasana seperti ini, rombongan kami 
pun terpecah belah, berhamburan sesuai selera masing-masing. Ya, seperti 
persatuan tahi kambing lah, kompak di dalam cerai berai kalau sudah diluar.

“Selamat malam” sapa seorang gadis kecil dengan bahasa Inggeris yang kurang 
mengena. Aku membalasnya. “Silakan duduk” ia menunjuk kearah bangku-bangku 
plastik rendah yang ada di sekeliling bakul dagangan. Seorang perempuan 
setengah baya duduk dibelakang bakul itu, tangannya mengipas-ngipas sotong 
kering (cumi-cumi besar) di atas tungku arang di hadapannya. “Ibu ku” ia 
mengenalkan perempuan itu padaku. Kami bersalaman. “Hoa” ia menyebut namanya.

Hoa yang dalam bahasa Vietnam berarti bunga adalah gadis kecil yang baru gede, 
umurnya baru masuk tujuh belas tahun. Di pipi sebelah kirinya menempel sebuah 
tanda hitam selebar daun jeruk nipis. Dandanannya asal-asalan saja. Bersandal 
jepit, rambut di ikat kebelakang. Baju yang sama kadang ia pakai sampai dua 
tiga hari. Aku memaklumi saja hal itu, sebab ibunya adalah seorang janda yang 
tidak punya. Ayahnya meninggal ketika Hoa masih berusia tiga tahun. Mereka anak 
beranak mengais rezeki di pinggir galangan kapal itu.

Walaupun terkendala komunikasi aku ‘dekat’ dengan Hoa. Hampir setiap malam aku 
mencangkung di bakulnya, minum sebotol limun dan melahap selembar sotong bakar 
selebar telapak tangan. Kadang-kadang aku memberinya hadiah-hadiah kecil. Ia 
sering kali berlaku manja kepada diriku. Kata teman-teman Hoa menyukai aku. 
Tapi, aku tak mau berpikir hingga sejauh itu. Toh kuncup ini masih berbentuk 
putik. Aku lebih pantas menjadi pamannya.

Suatu hari, aku terserempak dengan kuntum yang sedang mekar, keindahan bunga 
ini agak sulit aku gambarkan. Tapi kira-kira begini, bibirnya adalah Desy 
Ratnasari yang sedang tersungging, matanya Meriam Bellina yang sedang 
mengerling. Bodynya Maudy Kusnaedy yang sedang berjinjit. Hidungnya...? Sorry 
mas, ada masalah sedikit, pas-pasan saja. Tapi seandainya hidung itu di permak, 
maka ia adalah Lin Ching Hsia yang baru bersolek.

Aura kecantikan memancar deras dari kulit halus gadis pemilik salon di desa 
Ninh Phuoc itu. Ia berkilau-kilau laksana matahari membakar sahara. Kenal 
dengan dirinya adalah sebuah prestige, maka perlombaan diantara teman-temanpun 
di mulai. Setiap hari ada saja yang gunting rambut, cuci muka, potong kuku dan 
sebagainya. Mau tahu siapa pemenangnya? Sudah tentu pengarangnya dong!.

Singkat cerita akupun ‘dekat’ dengan Huong yang dalam bahasa Vietnam berati 
wewangian di musim semi. Huong berumur sekitar dua puluh satu tahun lebih 
sedikit. Ia berpenampilan trendy seperti foto model di sampul majalah remaja, 
bahasa Inggerisnya baik dan mudah dimengerti. Aku merasa nyaman berada di 
dekatnya. Aku seakan berada disebuah taman yang luas, burung-burung bercicitan, 
air terjun mendesir-desir. Pohon apel berbaris rapi menaungi semak perdu dan 
bunga-bungaan alam berwarna-warni ditepian sungai yang mengalir dibawahnya. 
Buah-buahan seakan-akan memberikan diri mereka kepadaku. Tangkai-tangkai 
anggur, rambutan dan tandan pisang pang yang harum baunya menjulur-julur 
kedalam pondok tempat aku lesehan diatas permadani hijau, sembari minum dari 
cangkir-cangkir berwarna perak yang indah ukirannya. Seorang bidadari bermata 
bundar menuangkan minuman yang tidak memabukkan untuk ku. Bidadari itu lalu 
membawaku ke pinggir sungai. Mata kami tertangkap
 sebiji buah apel yang tersembul dibalik dedaunan. Warnanya berkilau, menggoda 
untuk dipetik Kami mendekati pohon. Seekor ular mendesis-desis keluar dari 
dalam tanah, ia membujuk kami supaya memetik buah yang ranum itu.

“Petiklah jangan ragu” kata si ular.

“Aku akan memberi aba-aba. Pada hitungan ketiga petiklah apel itu” bujuk siular 
lagi.

Bidadari menjangkau dahan apel, ia bersiap-siap akan memetik.

Si ular mulai berhitung “satu....dua ..” tiba-tiba ia berhenti menghitung. 
Seorang lelaki India sekonyong-konyong tiba di tempat itu. Ia meniup 
serulingnya mengalunkan irama gangga. Serta merta kepala si ular bergoyang 
kekiri dan kekanan, tubuhnya meliuk-liuk seperti Inul. Bidadari kecewa sebab 
ular telah terlupa akan hitungan ketiga.

Aku terperanjat. Tangan ku menepis ke udara, Yusuf temanku yang mirip orang 
India menepuk pundak ku. “Mari pulang....” ia menggamit. Jam sebelas malam aku 
ketiduran di kursi selonjor di salon Huong.

‘Dekat’ dengan Huong berarti jauh dari Hoa, saking jauhnya sampai-sampai tidak 
terlintas lagi di dalam ingatan. Kata teman-teman Hoa mencari-cari aku. Ah! 
peduli amat sama anak kecil itu, pikir ku kala itu.

Peristiwa diatas terjadi kurang lebih empat tahun yang lalu, tatkala pertama 
kali barge kami melakukan perbaikan di galangan kapal Hyundai Vinashin yang 
terletak didesa Ninh Phuoc.

Sekarang kami kembali lagi ke desa Ninh Phuoc dalam rangka perombakan barge 
agar bisa memasang pipa bawah laut yang lebih besar diameternya. Aku menapak 
tilas. Orang-orang yang kukenal dulu masih ada disini, ada perubahan disana 
sini. Tapi kali ini aku lebih ‘dekat’ kepada Hoa dari pada Huong, bukan karena 
kuntum mekar itu sudah mulai layu ataupun putik yang kuncup ini sudah pun 
bersemi. Tetapi.............

Hoa yang kukenal sekarang bukan lagi dia yang dulu. Dia bukan lagi gadis kecil 
yang berdiri dipinggir bakul dagangan ibunya. Hoa sekarang adalah pemilik dua 
buah warung yang ramai pengunjung di terminal bis karyawan. Ia seorang bos, 
beberapa orang gadis kecil bekerja untuknya. Penampilannya berubah 180 derajat, 
tidak kalah dengan gadis-gadis remaja yang berkeliaran di pusat perbelanjaan 
mewah di ibukota. Rambutnya yang berwarna hitam berkilau dibiarkan tergerai 
bebas di pundaknya. Tanda hitam dipipi sebelah kiri sudah tidak ada lagi, hanya 
barutan-barutan tipis bekas operasi tersisa disitu. Dia berpakaian modis dan 
trendy, jemarinya yang lembut menggenggam HP Samsung model terbaru. Aku takjub 
dan terpukau melihat perubahan drastis gadis yatim yang baru berusia dua puluh 
satu tahun ini.

“Kamu jahat.......!” sergah Hoa ketika kami bertemu kembali.

“Ya.....” aku mengakui. “Ma’af kan aku...” hanya itu yang bisa keluar dari 
mulutku..

Dengan suara sember dan mata berkaca-kaca Hoa mengungkit masa silam. Kala itu, 
dia merasa malu dan terhina ketika aku meninggalkannya tanpa sebarang alasan. 
Bermalam-malam ia menangis di dalam gubuknya yang hanya diterangi pelita kecil. 
Dia marah kepada kepapaan dirinya, yang dia pikir karena itu aku 
meninggalkannya. Dia mencari aku untuk meminta penjelasan. Tapi pesan-pesannya 
ku anggap sebagai angin lalu saja. Kemilau kecantikan Huong telah membutakan 
matahatiku. Aku tidak cukup punya nurani untuk mendengar rintihan gadis kecil 
yang menemukan figur pelindung dalam diriku. Cintanya yang pertama telah 
kukandaskan pada gugusan karang tajam yang mencuat dari lubuk keangkuhanku.

Hoa melanjutkan. Dia semakin tak sanggup menatap matahari ketika dia tahu aku 
menjalin hubungan dengan Huong. Ibaratkan langit dan bumi, dia hanyalah sebuah 
pelataran kecil tempat menapak para dewata yang menaiki tangga langit untuk 
memuja keindahan nirwana. Huong mencangking diatas nirwana itu. Salonnya laris 
manis, koceknya tebal. Ia membeli make-up buatan luar negeri, perhiasan emas 
bertaburan di tubuhnya.

Hoa pernah berpikir untuk berbaur dengan gelombang, berselimutkan buih-buih dan 
menenggelamkan perasaan marah, malu, kecewa dan frustasi ke dasar lautan yang 
melambai-lambai kepadanya.

LA TAHZAN, jangan bersedih. Ibunya selalu menasihati Hoa. “Tahanlah amarah mu 
dan ma’afkan orang yang menyakitimu”.. “Bangkitlah, tentangkan matamu kearah 
matahari. Bakar dendam mu dengan sinarnya”. “Berusahalah, kejar ketinggalan mu 
dari orang lain”. Hoa merebahkan diri dipangkuan ibunya. Nasihat-nasihat bernas 
dan belaian lembut sang ibu menyejukkan hatinya. “Nak...” sambungnya lagi 
“suatu hari kau akan melebihi Huong dalam segalanya”. Hoa mendongak menatap 
wajah ibu yang memeluknya. Ibunya meneruskan “sekarang kita memang miskin, 
tidak punya apa-apa. Tapi ada rezeki dibawah matahari dan ada pula dibawah 
rembulan”. Hoa menangkap makna yang dalam itu.

Hari-hari berlalu, Hoa mulai bangkit. Sekolah dipagi hari, membantu ibu jualan 
di sore hingga malam hari.. Dia tidak menyia-nyiakan waktunya sedikitpun. Tidak 
pula dia membelanjakan uangnya sembarangan. Ada keuntungan dia gunakan untuk 
memperbesar modal bakul ibunya. Segala usaha dia jalankan, jualan kerang, 
jualan baju, buah-buahan ia lakoni. Usahanya terus menanjak. Satu warung sudah 
dibeli, dia membeli satu lagi. Dia mengkreditkan hand phone kepada karyawan 
galangan yang selalu mampir diwarungnya. Di hari valentine dia tidak berasyik 
masyuk seperti remaja-remaja yang lain, malah dia menjual bunga serta 
mengantarkan bunga-bunga tersebut ke alamat-alamat yang di tulis di pita bunga 
itu. Untuk menambah kepercayaan diri, dia membuang tanda hitam yang menempel di 
pipinya, memperdalami bahasa Inggeris dan sekolah tata rias rambut di kota. Dia 
kini telah melebihi Huong dalam hal penataan rambut. Ia adalah seorang hair 
stylist berusia muda, sedangkan Huong
 hanya tukang potong biasa.

Saya kembali membuka La Tahzan dan Steps to the top yang saya baca. 
Beratus-ratus halaman yang terjilid rapi dalam kedua buku itu tercermin utuh di 
dalam diri gadis muda yang dinamis ini. Meskipun saya tahu, dia tidak akan 
pernah tahu tentang buku-buku itu, apa lagi membacanya. Tetapi dia sudah 
mempraktekkan keseluruhan isinya. Betapa seorang gadis kecil yang terluka dapat 
melejit menembus batas-batas ketidak mungkinan yang senantiasa bersemayam di 
dalam alam pikiran negatif manusia. Ibunya sang motivator telah menyulut api 
semangat yang membakar perasaan rendah dirinya, menggali kemampuannya dan 
mendorong sehingga ia bergerak lebih cepat dari kebanyakan orang. Sabar, gigih, 
kosisten, jujur dalam berusaha telah ia jalankan. Ia tidak bermusuhan dengan 
Huong, tapi dendanmnya ia formulasikan menjadi sebuah energi dahsyat yang 
melontarkannya menuju puncak. Kini dia memang belum sepenuhnya mengungguli 
Huong, tapi sebentar lagi, dia akan...................

Malam itu, dikala bulan benderang menembus awan.. Berdua kami duduk berhadapan, 
kepiting goreng, udang gala rebus dan makanan kecil serta minuman keras khas 
Vietnam terhidang diatas meja restoran tak beratap yang menghampar di tepi 
pantai. Hoa mengungkapkan obsesinya.

“Aku ingin benar-benar mengalahkan Huong” ia memecah keheningan.

“Oya..” aku menunjukkan antusiasme.

“Bagaimana...?” tanyaku memancing.

“Kalau Huong mempunyai salon kecil didesa ini, aku ingin memiliki salon yang 
besar di Nhatrang (ibu kota provinsi Khan Hoa)”. Aku menatapnya lurus sembari 
mengira-ngira berapa banyak biaya yang diperlukan..

“Dan aku ingin memiliki beberapa buah warung lagi dipinggir galangan itu” ia 
menambahkan. Aku makin tercenung.

“Aku akan berusaha untuk itu” seakan ia membaca pikiranku.

“Bagaimana?” tanyaku penuh selidik.

“Sebentar lagi aku akan berangkat ke Jepang. Aku akan bekerja disana selama dua 
tahun. Aku akan mencari modal untuk itu. Sekarang tinggal menunggu 
dokumen-dokumennya selesai” ucapnya datar.

Rasa kagumku makin bertimbun-timbun. Ambisi gadis berusia dua puluh satu tahun 
dari pinggir galangan kapal ini sungguh menakjubkan. Aku mengalihkan pandangan 
kelangit. Minuman khas Vietnam yang menyengat lidah itu sudah beberapa kali aku 
teguk. Awan yang tertembus sinar bulan berpendar di awang-awang. Kulihat gadis 
itu melompat dari gugusan awan yang satu ke gugusan yang lain. Awan itu 
melayang menghampiri bulan yang tersenyum. Makin dekat, gadis itu merentangkan 
kedua tangannya. Makin dekat lagi,....Nguyen Thi Hoa akan bersegera merengkuh 
rembulan.

Galangan Kapal Hyundai Vinashin, Desa Ninh Phuoc Vietnam 24 Februari 2006



----- Original Message ----
From: bbudiman <[EMAIL PROTECTED]>
To: pelaut@yahoogroups.com
Sent: Thursday, December 13, 2007 5:55:51 PM
Subject: [pelaut] FROM KLENDER WITH LOVE


Dari Klender dengan Cinta ? Tentu ada maksudnya. Terus terang saya
seorang pemimpi. Ya katakanlah olah raga otak biar nggak pikun.

Memasuki tahun 2008 dan mengahiri 2007, saya berencana untuk
mengirimkan buku yang banyak memberi inspirasi orang. Judul bukunya
"Laskar Pelangi". Saya ingin buku ini beredar juga diatas kapal dibaca
oleh semua Pelaut.
Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Tetapi keinginan saya, buku itu
bisa terus terpantau oleh jaringan Milis Ini. 
Ada usulan ? Aku tunggu.

Salam dari Klender dgn Cinta
(Satu guru satu ilmu jangan saling ganggu)





      
____________________________________________________________________________________
Be a better friend, newshound, and 
know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now..  
http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ 

Kirim email ke