That's my point. Rupanya agak sulit untuk menterjemahkan kalimat saya di
bawah ini. (Iku rak cuma nglulu mas...., mosok mau sejajar Australia).

Memang pemerintah waktu itu kelihatannya agak deblon. Masak Australia dapat
bagian yg lebih dekat dengan RI, dan RI dapat bagian yg lebih dekat dengan
Australia. Mana wilayah yg lebih dekat ke Australia itu merupakan celah yg jauh lebih
dalam sehingga menyulitkan eksplorasi (mungkin malah memustahilkan). Jelas
terlihat ini adalah sekedar upaya politik saja. Jelasnya RI waktu itu membeli suara
Australia saja, dan nyatanya berhasil. Kalau mau jujur, kasus Timor Gap merupakan
kemenangan politik RI kala itu, jadi ya nggak ada hubungannya dengan segi
FINANSIAL sumber daya minyak. Yang ada mah SIAL-nya doang.

Untuk mas IA, yang namanya referendum, potensi masalahnya juga besar.
Misal lebih banyak yg pengen gabung, nanti yang kalah akan bilang referendum
nggak jujur lah. Jangan samakan dengan Quebec yang penduduknya sudah
melek huruf dan paham benar dengan untung-rugi gabung dengan Canada.
Referendum di neg. kayak RI masih mengandalkan kampanye, di mana suara
yang paling keras itulah yang diturut. Tentu saja pemerintah nggak akan bisa
kampanye, dan orang yg ingin lepas dari RI bisa kampanye. Bila menilik
kemungkinan ini, hasil referendum mah bakalan pilih lepaskan diri. Itu belum
seberapa. Dengan melihat mental kita, maka potensi ingin balas dendam kepada
orang-orang yg memilih gabung RI juga ada. Hasilnya akan ada pengungsian besar-
besaran ke wilayah Timor Barat. Apa nggak kasihan tuh sama propinsi satu itu.
Mana wilayahnya udah susah masih ketiban pengungsi. Yah, ini sekedar
kemungkinan, yg menurut saya cukup besar.

Dari Seminar 97 Permias, salah seorang calon doktor politik menyebutkan bahwa
kehadiran RI di Timtim semata-mata karena 'pride', sudah kadung telanjur basah.
Mau maju susah dan mundur juga susah. Pernyataan Menlu kita dulu berarti
menegaskan pendapat calon doktor ini, sekaligus memang bikin capek....
mending juga quit langsung.



"Efron Dwi Poyo (Amoseas Indonesia)" wrote:

>
>
> Saya nggak sependapat kalo dibilang Timtim punya sumberdaya yang besar. Melengkapi 
>posting saya sebelumnya bahwa sumberdaya lahan/alam Timtim sangatlah terbatas. Bagian 
>terbesar adalah lahan kering karena iklim yang menjadikannya demikian. Kalaupun 
>diberitakan "panen besar" kopi di Timtim, hasil itu tak signifikan untuk menyumbang 
>PAD Timtim.
>
> Menyoal "Timor Gap" janganlah berpikiran itu adalah "East Timor Gap". Pulau Timor 
>dibagi dua: Barat dan Timur. Yang barat merupakan bagian NTT yang Kupang juga ada di 
>Timor Barat. Biarpun "Timor Gap" itu ada minyaknya tak mudah mengeksploitasinya. 
>Perjanjian RI dan Australia sangat merugikan RI seperti yang dikecam oleh Bapaknya 
>Helmi Johannes. Semestinya pembagian wilayahnya berdasarkan landasan kontinen negara 
>secara adil alias menurut garis bujur. Namun yang terjadi pembagiannya menurut garis 
>lintang. Akibatnya RI kebagian laut yang sangat dalam. Jika pada akhirnya "Republik 
>Timor Timur" mengusik perjanjian tersebut, ini tentu melibatkan RI juga, karena RI 
>berhubungan dengan celah tersebut menurut landasan kontinen.
>
> Wassalam,
> Efron
> -----Original Message-----
> From:   Brawijaya [SMTP:[EMAIL PROTECTED]]
> Sent:   Thursday, 28 January, 1999 12:05
> To:     [EMAIL PROTECTED]
> Subject:        Re: TIM-TIM DILEPAS
>
> --dihapus aja----
> Masyarakat Tim-tim kan mempunyai resource yang besar, jadi biar cepat menjadi negara 
>maju. Syukur-syukur bisa mensejajari Australia, misal dengan penjualan kopi, dan juga 
>minyaknya di celah Timor yang terkenal itu......
>
> ----dihapus aja-----

--
               \\\|///
             \\  - -  //
              (  @ @  )
------------oOOo-(_)-oOOo-----------
FNU Brawijaya
Dept of Civil Engineering
Rensselaer Polytechnic Institute
mailto:[EMAIL PROTECTED]
--------------------Oooo------------
           oooO     (   )
          (   )      ) /
           \ (      (_/
            \_)

Kirim email ke