Apakah negara ini akan menjadi lebih baik atau bertambah buruk ?

Saya cuma ingat sebuah pesan Nabi Muhammad (yang kurang lebih bunyinya) :

Jika suatu urusan diberikan / dikerjakan oleh orang yang bukan
ahlinya/bidangnya, maka tunggulah datangnya kehancuran.

Terus terang, saya takut.
Kesadaran intelektualitas saya mengatakan bahwa tidak rela saya dipimpin
oleh orang yang mempunyai kemampuan lebih rendah dari saya.

Soe

===========================================================================


Beginilah Wajah Wakil-wakil Rakyat Kita (1) Dari Mantan Preman sampai
Berijazah Palsu


Apa boleh buat. Meski hanya berijazah SD, Sukatni dari PDI-Perjuangan
(PDI-P) tetap mendapat dukungan untuk menempati posisi sebagai ketua DPRD II
Malang. ''Bagi PKB itu tidak masalah. Siapa pun orangnya, yang penting itu
resmi dari partai,'' kata Bibit Soeprapto dari PKB.

Kasus Sukatni di atas hanya satu contoh betapa pemilu yang jurdil, dan
kemenangan PDI-P, telah membuka peluang bagi siapa pun untuk menjadi wakil
rakyat. Tak peduli, apakah ia hanya lulusan SD, mantan preman, atau
berijazah palsu.

Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya memang telah benar-benar
terjadi pada era reformasi sekarang ini. Banyak anggota DPR, terutama di
tingkat Dati II, yang benar-benar dari kalangan bawah (grass root), sejak
mantan penjual bakso, sopir, sampai 'preman'. Bukan saja pendidikan mereka
sangat rendah, tapi wawasan mereka juga pas-pasan.

Komite Pemilihan Umum (KPU) kali ini memang memberikan persyaratan
administratif yang sangat longgar. Untuk pendidikan, misalnya, dapat
meloloskan lulusan sekolah dasar (SD). PDI-P, yang mayoritas massanya memang
dari kalangan grass root, tak pelak banyak meloloskan anggota dewan yang
hanya berijazah SD.

''Pendidikan saya memang rendah. Saya hanya tamat sekolah dasar. Tapi, kan
saya bisa belajar pada anak saya yang sekarang sudah sarjana,'' kata Ato
Karmo, anggota DPRD Karawang (Jabar) dari PDI-P, di ruang kerjanya, Senin
(21/9) lalu. Nada suara Ato merendah, namun dari raut wajahnya tertangkap
perasaan bangga ketika mengatakan 'belajar dari anak saya yang sarjana'.

Selain Ato Karmo, masih ada sejumlah nama anggota FPDI-P DPRD II Karawang
yang hanya lulusan SD. Tentu, mereka sempat menjadi buah bibir. Banyak
kalangan mempertanyakan kemampuan mereka sebagai anggota dewan, yang harus
cerdas, penuh inisiatif, dan berwawasan luas.

Sukatni dan Ato Karno mungkin belum apa-apa. Meski hanya lulusan SD, mereka
masih aman-aman saja. Setidaknya, mereka tidak memanfaatkan ijazah palsu
untuk mendongkrak persyaratan administratifnya. Soalnya, demi persyaratan
itu, tak kurang yang tega menyerahkan ijazah aspal. Ini, misalnya, terjadi
di Solo. Delapan anggota DPRD II Solo (termasuk ketuanya) -- semuanya dari
PDI-P -- dicurigai berijazah palsu.

Kedelapan anggota dewan itu bahkan dicurigai 'berbohong' soal pendidikan
terakhirnya. Pasalnya, sampai sekarang mereka belum melengkapi syarat
administratif -- alias belum menyerahkan ijazah masing-masing. Tak pelak,
mereka menjadi sasaran rumor. ''Sudah dilantik, sudah menerima gaji, kok
belum juga memberesi syarat administratif. Jangan-jangan mereka tak punya
ijazah,'' kata seorang anggota Dewan.

Ketua Tim Klarifikasi Caleg setempat sebenarnya sudah dua kali memanggil
kedelapan anggota dewan yang bermasalah itu. Namun, mereka -- Bambang
Murdianto, Farid Barabas, Antonius Sugiyanto, Drs Rie Suseno, James Agus
Pattiwel, Budi Prayitno, dan Farkhan Maryadi -- tidak memenuhi undangan.
Berbagai spekulasi pun muncul. Sejumlah kalangan menduga mereka memanipulasi
biodata saat mengisi formulir caleg. Sehinggga, ketika dituntut untuk
menunjukkan bukti administratif, mereka kebingungan.

Sekretaris PPD II, Usman Aminuddin, juga meragukan biodata Ketua DPRD II
Kodya Solo, Bambang Murdianto. Pada formulir caleg dia menulis jenjang
pendidikannya STM Terutama Semarang. Tapi, yang bersangkutan tidak
melampirkan fotokopi ijazah yang dilegalisir. ''Yang disertakan hanya
fotokopi surat keterangan yang menyebutkan pernah sekolah di situ tahun
1966-1969,'' kata Usman.

Anehnya, lanjut Usman, pas foto yang bersangkutan terkelupas. ''Surat
keterangan semacam ini susah dipertanggungjawabkan. Apalagi, yang
bersangkutan belum bisa menunjukkan bukti autentik yang sah hingga
sekarang,'' ujarnya.

Isu ijazah palsu, yang juga menyangkut kredibilitas ketua dewan itu, malah
sempat menyulut aksi unjuk rasa. Namun, berhubung PPD II sudah dibubarkan,
persoalan itu kini diserahkan kepada Kepala Sekretariat PPD II yang juga
Kakansospol, Soejono Rofi'i.

Selain tingkat pendidikannya yang 'parah', banyak pula anggota dewan
sekarang yang kabarnya mantan preman. Dan, tentu, selain kapasitas
intelektualnya sangat terbatas, mereka sering menunjukkan 'karakter preman'
di lingkungan DPRD. Misalnya, dikawal para Satgas yang semuanya juga mantan
preman, dan hanya dapat ngotot saat mengikuti rapat Dewan.

Wawasan dan kapasitas intelektual yang rendah itu jelas mempengaruhi
kemampuan mereka dalam berdiskusi untuk memutuskan suatu masalah. Karena
itu, mereka cenderung hanya mengandalkan kekuatan bargaining berdasarkan
jumlah suara alias voting. Ini, misalnya, terjadi di DPRD II Kodya Surabaya.

Menurut laporan, usulan ''kita voting saja!'' sangat sering terdengar di
ruang rapat DPRD II Kodya Surabaya, dan umumnya dari anggota FPDI-P. Usulan
itu bahkan selalu dimunculkan oleh PDI-P dalam menghadapi berbagai persoalan
pelik untuk melawan fraksi lain. Tentu saja, itu mengecewakan banyak pihak,
karena voting lantas menjadi senjata ampuh untuk membunuh aspirasi dari
fraksi lain.

Dalam suatu persidangan, misalnya, pernah terjadi perdebatan seru. Di
tengah-tengah perdebatan itu tiba-tiba ada usulan dari salah seorang anggota
FPDI-P agar segera dilakukan voting. ''Yang lebih lucu, sewaktu pemilihan
wakil Ketua DPRD Kodya Surabaya. Sesuai dengan tata tertib pemilihan,
jabatan ketua dewan sudah dipegang PDI-P, tapi mereka berusaha ikut merebut
jabatan wakil ketua. Padahal, tiga wakil ketua itu harusnya diberikan kepada
fraksi lain. Karena merasa mayoritas, 23 suara, PDI-P mengajak voting. Jelas
ditolak semua fraksi,'' ujar seorang anggota dewan setempat.

Mayoritas PDI-P tersebut, menurut sejumlah anggota DPRD Kodya Surabaya,
justra malah meresahkan. Ini bukan karena anggota dewan dari partai lain
kalah suara, tapi lebih disebabkan oleh kualitas anggota FPDI-P yang rendah,
dan karena itu cenderung arogan dan totaliter. ''Mereka juga membangun
koalisi dengan yang lain. Karena itu, perlu kekuatan penyeimbang,'' ujarnya.

Namun, menanggapi keluhan soal kapasitas SDM yang banyak mengundang
kekecewaan tersebut, sejumlah anggota FPDI-P justru mengharapkan agar semua
pihak ikut meningkatkan kualitas masing-masing. ''Jangan hanya menyalahkan.
Para lulusan akademi itu kan diberi ilmu lebih. Harusnya ikut meningkatkan
SDM kami, bukan malah mengolok-olok begitu,'' ujar Arif Indrianto, Ketua
Komisi B DPRD Surabaya dari FPDI-P.

Hal serupa juga disampaikan Basuki, Ketua DPRD Kodya Surabaya yang juga
anggota FPDI-P. ''Itu bukan berarti kita tak punya SDM. Tapi memang itulah
orang partai yang telah banyak berbakti ke partai. Untuk menutupi kekurangan
itu, jelas kami butuh partisipasi pihak lain. Tanggung jawab membangun
Surabaya ini kan tidak hanya jadi beban FPDI-P, tapi juga yang lain,''
ujarnya.

Basuki mengakui kualitas SDM PDI-P rata-rata memang rendah. Kendati
demikian, ia bertekad akan segera menutup kekurangan tersebut melalui
berbagai cara, antara lain pembekalan dan secara aktif melibatkan berbagai
pihak, seperti akademisi dan LSM, untuk meningkatkan kualitas para anggota
FPDI-P itu.

Kirim email ke