Karena saya seorang PhD, maka Presidennya harus Profesor ?

Engga mau ah, Profesor di-Indonesia banyak yang aneh.
Lihat saja pada kabinet yang sekarang...:)


Salam,
bRidWaN


At 08:08 AM 10/1/99 +0700, Suhendri wrote:
>Apakah negara ini akan menjadi lebih baik atau bertambah buruk ?
>
>Saya cuma ingat sebuah pesan Nabi Muhammad (yang kurang lebih bunyinya) :
>
>Jika suatu urusan diberikan / dikerjakan oleh orang yang bukan
>ahlinya/bidangnya, maka tunggulah datangnya kehancuran.
>
>Terus terang, saya takut.
>Kesadaran intelektualitas saya mengatakan bahwa tidak rela saya dipimpin
>oleh orang yang mempunyai kemampuan lebih rendah dari saya.
>
>Soe
>
>===========================================================================
>
>
>Beginilah Wajah Wakil-wakil Rakyat Kita (1) Dari Mantan Preman sampai
>Berijazah Palsu
>
>
>Apa boleh buat. Meski hanya berijazah SD, Sukatni dari PDI-Perjuangan
>(PDI-P) tetap mendapat dukungan untuk menempati posisi sebagai ketua DPRD II
>Malang. ''Bagi PKB itu tidak masalah. Siapa pun orangnya, yang penting itu
>resmi dari partai,'' kata Bibit Soeprapto dari PKB.
>
>Kasus Sukatni di atas hanya satu contoh betapa pemilu yang jurdil, dan
>kemenangan PDI-P, telah membuka peluang bagi siapa pun untuk menjadi wakil
>rakyat. Tak peduli, apakah ia hanya lulusan SD, mantan preman, atau
>berijazah palsu.
>
>Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya memang telah benar-benar
>terjadi pada era reformasi sekarang ini. Banyak anggota DPR, terutama di
>tingkat Dati II, yang benar-benar dari kalangan bawah (grass root), sejak
>mantan penjual bakso, sopir, sampai 'preman'. Bukan saja pendidikan mereka
>sangat rendah, tapi wawasan mereka juga pas-pasan.
>
>Komite Pemilihan Umum (KPU) kali ini memang memberikan persyaratan
>administratif yang sangat longgar. Untuk pendidikan, misalnya, dapat
>meloloskan lulusan sekolah dasar (SD). PDI-P, yang mayoritas massanya memang
>dari kalangan grass root, tak pelak banyak meloloskan anggota dewan yang
>hanya berijazah SD.
>
>''Pendidikan saya memang rendah. Saya hanya tamat sekolah dasar. Tapi, kan
>saya bisa belajar pada anak saya yang sekarang sudah sarjana,'' kata Ato
>Karmo, anggota DPRD Karawang (Jabar) dari PDI-P, di ruang kerjanya, Senin
>(21/9) lalu. Nada suara Ato merendah, namun dari raut wajahnya tertangkap
>perasaan bangga ketika mengatakan 'belajar dari anak saya yang sarjana'.
>
>Selain Ato Karmo, masih ada sejumlah nama anggota FPDI-P DPRD II Karawang
>yang hanya lulusan SD. Tentu, mereka sempat menjadi buah bibir. Banyak
>kalangan mempertanyakan kemampuan mereka sebagai anggota dewan, yang harus
>cerdas, penuh inisiatif, dan berwawasan luas.
>
>Sukatni dan Ato Karno mungkin belum apa-apa. Meski hanya lulusan SD, mereka
>masih aman-aman saja. Setidaknya, mereka tidak memanfaatkan ijazah palsu
>untuk mendongkrak persyaratan administratifnya. Soalnya, demi persyaratan
>itu, tak kurang yang tega menyerahkan ijazah aspal. Ini, misalnya, terjadi
>di Solo. Delapan anggota DPRD II Solo (termasuk ketuanya) -- semuanya dari
>PDI-P -- dicurigai berijazah palsu.
>
>Kedelapan anggota dewan itu bahkan dicurigai 'berbohong' soal pendidikan
>terakhirnya. Pasalnya, sampai sekarang mereka belum melengkapi syarat
>administratif -- alias belum menyerahkan ijazah masing-masing. Tak pelak,
>mereka menjadi sasaran rumor. ''Sudah dilantik, sudah menerima gaji, kok
>belum juga memberesi syarat administratif. Jangan-jangan mereka tak punya
>ijazah,'' kata seorang anggota Dewan.
>
>Ketua Tim Klarifikasi Caleg setempat sebenarnya sudah dua kali memanggil
>kedelapan anggota dewan yang bermasalah itu. Namun, mereka -- Bambang
>Murdianto, Farid Barabas, Antonius Sugiyanto, Drs Rie Suseno, James Agus
>Pattiwel, Budi Prayitno, dan Farkhan Maryadi -- tidak memenuhi undangan.
>Berbagai spekulasi pun muncul. Sejumlah kalangan menduga mereka memanipulasi
>biodata saat mengisi formulir caleg. Sehinggga, ketika dituntut untuk
>menunjukkan bukti administratif, mereka kebingungan.
>
>Sekretaris PPD II, Usman Aminuddin, juga meragukan biodata Ketua DPRD II
>Kodya Solo, Bambang Murdianto. Pada formulir caleg dia menulis jenjang
>pendidikannya STM Terutama Semarang. Tapi, yang bersangkutan tidak
>melampirkan fotokopi ijazah yang dilegalisir. ''Yang disertakan hanya
>fotokopi surat keterangan yang menyebutkan pernah sekolah di situ tahun
>1966-1969,'' kata Usman.
>
>Anehnya, lanjut Usman, pas foto yang bersangkutan terkelupas. ''Surat
>keterangan semacam ini susah dipertanggungjawabkan. Apalagi, yang
>bersangkutan belum bisa menunjukkan bukti autentik yang sah hingga
>sekarang,'' ujarnya.
>
>Isu ijazah palsu, yang juga menyangkut kredibilitas ketua dewan itu, malah
>sempat menyulut aksi unjuk rasa. Namun, berhubung PPD II sudah dibubarkan,
>persoalan itu kini diserahkan kepada Kepala Sekretariat PPD II yang juga
>Kakansospol, Soejono Rofi'i.
>
>Selain tingkat pendidikannya yang 'parah', banyak pula anggota dewan
>sekarang yang kabarnya mantan preman. Dan, tentu, selain kapasitas
>intelektualnya sangat terbatas, mereka sering menunjukkan 'karakter preman'
>di lingkungan DPRD. Misalnya, dikawal para Satgas yang semuanya juga mantan
>preman, dan hanya dapat ngotot saat mengikuti rapat Dewan.
>
>Wawasan dan kapasitas intelektual yang rendah itu jelas mempengaruhi
>kemampuan mereka dalam berdiskusi untuk memutuskan suatu masalah. Karena
>itu, mereka cenderung hanya mengandalkan kekuatan bargaining berdasarkan
>jumlah suara alias voting. Ini, misalnya, terjadi di DPRD II Kodya Surabaya.
>
>Menurut laporan, usulan ''kita voting saja!'' sangat sering terdengar di
>ruang rapat DPRD II Kodya Surabaya, dan umumnya dari anggota FPDI-P. Usulan
>itu bahkan selalu dimunculkan oleh PDI-P dalam menghadapi berbagai persoalan
>pelik untuk melawan fraksi lain. Tentu saja, itu mengecewakan banyak pihak,
>karena voting lantas menjadi senjata ampuh untuk membunuh aspirasi dari
>fraksi lain.
>
>Dalam suatu persidangan, misalnya, pernah terjadi perdebatan seru. Di
>tengah-tengah perdebatan itu tiba-tiba ada usulan dari salah seorang anggota
>FPDI-P agar segera dilakukan voting. ''Yang lebih lucu, sewaktu pemilihan
>wakil Ketua DPRD Kodya Surabaya. Sesuai dengan tata tertib pemilihan,
>jabatan ketua dewan sudah dipegang PDI-P, tapi mereka berusaha ikut merebut
>jabatan wakil ketua. Padahal, tiga wakil ketua itu harusnya diberikan kepada
>fraksi lain. Karena merasa mayoritas, 23 suara, PDI-P mengajak voting. Jelas
>ditolak semua fraksi,'' ujar seorang anggota dewan setempat.
>
>Mayoritas PDI-P tersebut, menurut sejumlah anggota DPRD Kodya Surabaya,
>justra malah meresahkan. Ini bukan karena anggota dewan dari partai lain
>kalah suara, tapi lebih disebabkan oleh kualitas anggota FPDI-P yang rendah,
>dan karena itu cenderung arogan dan totaliter. ''Mereka juga membangun
>koalisi dengan yang lain. Karena itu, perlu kekuatan penyeimbang,'' ujarnya.
>
>Namun, menanggapi keluhan soal kapasitas SDM yang banyak mengundang
>kekecewaan tersebut, sejumlah anggota FPDI-P justru mengharapkan agar semua
>pihak ikut meningkatkan kualitas masing-masing. ''Jangan hanya menyalahkan.
>Para lulusan akademi itu kan diberi ilmu lebih. Harusnya ikut meningkatkan
>SDM kami, bukan malah mengolok-olok begitu,'' ujar Arif Indrianto, Ketua
>Komisi B DPRD Surabaya dari FPDI-P.
>
>Hal serupa juga disampaikan Basuki, Ketua DPRD Kodya Surabaya yang juga
>anggota FPDI-P. ''Itu bukan berarti kita tak punya SDM. Tapi memang itulah
>orang partai yang telah banyak berbakti ke partai. Untuk menutupi kekurangan
>itu, jelas kami butuh partisipasi pihak lain. Tanggung jawab membangun
>Surabaya ini kan tidak hanya jadi beban FPDI-P, tapi juga yang lain,''
>ujarnya.
>
>Basuki mengakui kualitas SDM PDI-P rata-rata memang rendah. Kendati
>demikian, ia bertekad akan segera menutup kekurangan tersebut melalui
>berbagai cara, antara lain pembekalan dan secara aktif melibatkan berbagai
>pihak, seperti akademisi dan LSM, untuk meningkatkan kualitas para anggota
>FPDI-P itu.
>
>

Kirim email ke