Bung Moko,

Terima kasih atas penjelasannya. Saya sangat menghargakan hal itu.

Berdasarkan tanggapan anda, saya berpandangan bahwa persoalan mendasar yang
sebenarnya perlu ditetapkan oleh sistem pemilihan presiden di Indonesia adalah
apakah hal itu tetap seperti saat ini yaitu merupakan bagian dari pemilihan
anggota parlemen yaitu DPR (dan MPR) yg kemudian memilih Presiden, atau dibuat
sistem pemilihan presiden yang terpisah samasekali dari pemilihan anggota
parlemen. Sedangkan mengenai apakah kita memilih tanda partai atau nama
individu capres, saya beranggapan hal itu kurang lebih sama saja. Sebagai
contoh, menjelang Pemilu Juni tahun lalu partai-partai besar di Indonesia
sudah menyebutkan siapa calon presidennya masing-masing yaitu Habibie untuk
Golkar, Amien Rais untuk PAN, Megawati untuk PDI-P, Yusril untuk PBB, Nur
Mahmudi untuk PK dst. Dengan kata lain, tanpa memilih namapun kita sudah tahu
siapa calon presiden masing-masing partai. Hal itu akan menjadi berbeda kalau
kita juga ingin membuka tahap seleksi internal partai kepada rakyat seperti
model pemilihan primary di AS.

Sebelum kita langsung "rame-rame" memilih bhw yang terbaik adalah pemilihan
presiden yang terpisah dari pemilihan anggota parlemen, kita juga perlu
menyadari bahwa di AS kedua pemilihan itupun tidak terpisah seutuhnya.
Overlapping itu terjadi apabila electoral college ternyata tidak dapat
menetapkan seorang calon presiden secara mayoritas (50%+1). Apabila deadlock
itu terjadi, maka Congress yang dibagi dua yaitu House of Representatives akan
memilih Presiden, sedangkan Senat akan memilih Wakil Presiden.

Kembali kepada konteks Indonesia, khususnya merujuk hasil Pemilu 1999, maka
kemungkinan besar pemilihan presiden yang terpisah dari pemilihan anggota DPR
tidak akan menghasilkan suatu kemenangan mayoritas pada seorang calon atau
parpol. Tahun lalu PDI-P sebagai pemenang hanya memenangkan 33% suara, jauh
dari mayoritas. Tentu saja hal itu dapat berubah dalam tahun 2004 dst, namun
dugaan saya perubahan itu tidak akan besar, atau dengan kata lain tidak akan
ada parpol yg akan menang suara mayoritas dalam Pemilu 2004. Kalau ini
terjadi, maka mau-tidak-mau kita akan kembali menyerahkannya kepada anggota
parlemen, kecuali kita memutuskan bahwa berapapun prosentase pemenang maka dia
berhak jadi presiden, dengan konsekwensi terjadi pemerintahan minoritas atau
koalisi ala parlementer. Apabila hal ini dibenarkan, maka kita harus siap
memperoleh Pemerintah yang lemah.

Saya tunggu pandangan Bung Moko dan anggota Permias lainnya.

Salam
Mahendra


Moko Darjatmoko wrote:

> Sebetulnya tidak sesederhana itu ... untuk membandingkan secara betul
> orang harus memahami dulu sejarah dan sistim politik Amerika (cukup
> dari pelajaran Civics-101 di highschool atau informasi yang banyak
> tersedia di Internet). Ini penting sekali, supaya pembicaraan tidak
> jadi ngalor-ngidul, tetapi fokus membedah substansi yang sama.
>
> Apakah pemilihan presiden Amerika dilakukan langsung oleh rakyat,
> jawabnya adalah YA dan TIDAK (or "it's not that simple!"). Dalam
> election, rakyat 'mencoblos' nama individu calon presiden. Kalau ini
> dikontraskan dengan pemilu yang selama ini dilakukan di Indonesia,
> jawabannya adalah YA. - karena rakyat Indonesia TIDAK mencoblos nama
> calon presidennya, bahkan tidak juga memilih wakil (electors) yang
> nantinya memilih presiden. DI pemilu kita rakyat hanya memberikan
> suaranya kepada PARTAI peserta pemilu.
>
> Jawaban kedua: pemilihan presiden Amerika TIDAK dilakukan langsung
> oleh rakyat, karena yang menentukan pemenang itu bukan majoritas
> (setengah tambah satu) dari popular votes, tetapi majoritas dari
> electoral votes -- yang diberikan oleh para electors dalam lembaga
> sementara yang dinamakan "Electoral College" -- yang tugasnya cuma
> sehari: ketemu, masukkan suara, dan kemudian bubar.
>
> Electoral College ini dahulu dibentuk oleh 'founding fathers' sebagai
> kompromi antara pemilihan presiden oleh Congress (wakil state) dan
> langsung oleh rakyat (popular vote). Perlu dicatat bahwa bentuk
> "Federal" itu sendiri merupakan kompromi antara kedaulatan State (dan
> rakyatnya) dengan perlunya pemerintah pusat yang kuat. Electoral
> College terdiri dari 538 electors - satu untuk 435 anggota House of
> Representatives (wakil rakyat, tergantung hasil sensus) dan 100 untuk
> Senators (wakil negara bagian, 2 setiap state), ditambah 3 untuk
> District of Columbia.
>
> Siapa yang menjadi electors ini? Daftar calon electors biasanya
> ditentukan oleh partai politik, kecuali Maine dan Nebraska, dimana 2
> electors dipilih oleh popular state vote dan sisanya oleh popular
> vote disetiap district (akibatnya ada kemungkinan terjadi daftar
> campuran, bukan dari satu partai).
>
> Tiap negara bagian punya aturan yang berbeda. Meskipun konstitusi dan
> hukum federal tidak mengharuskan electors untuk memilih sesuai dengan
> popular vote di negara bagiannya (biasanya berkaitan dengan partai
> majoritas), ada pula beberapa negara bagian yang mengharuskan begitu.
> Kepada para pembangkangnya ("faithless elector") bisa dikenakan
> denda, diskualifikasi atau pembatalan vote (dan kemudian digantikan
> oleh substitute elector).
>
> Sepanjang sejarah ada ide-ide untuk merubah sistim yang berlaku
> sekarang (misalnya proposal 1977 untuk amendment konstitusi untuk
> pemilihan presiden secara "langsung-sung!" -- pinjam gaya bahasa
> Malang), tetapi sampai saat ini model electoral college ini masih
> dianggap paling 'robust' dan cocok dengan pemikiran yang melandasi
> model pemerintahan federal Amerika. Pros dan cons dalam issue ini
> tentu saja masih akan terus berlangsung. Kita bisa banyak belajar
> dari pengalaman sejarah Amerika dan dari diskusi yang masih terus
> bergulir ini.
>
> Seharusnya diskursus yang terbuka dan bebas seperti itu juga bisa
> dilakukan di tanah air. Waktunyapun masih cukup masih cukup. Masih
> ada waktu hampir 5 tahun untuk membicarakan dengan kepala dingin. Dan
> kalau masih belum sempurna bisa dilanjutkan untuk 5 tahun berikutnya
> -- tidak ada "harga mati" dalam soal-soal begini. Kalau ini
> dimanfaatkan sebaik-baiknya, dengan cerdas, oleh semua pihak (bukan
> cuma elit politik dan provokator saja :-) -- mungkin kita akan sampai
> pada satu sistim yang lebih "masuk akal."  Apapun, satu hal harus
> diingat, kalau kita ini memang mendambakam satu masyarakat
> DEMOkratik, 4 huruf pertama itulah yang selalu harus jadi
> pertimbangan utama. Ini berarti harus menjawab pertanyan dasar:
> apakah pemilihan umum yang akan dilakukan itu memang merupakan
> representasi *kehendak rakyat* ... sehingga satu saat frase "The
> People has spoken!" itu benar-benar punya makna yang sesungguhnya.
>
> Have a nice weekend,
>
> Moko/
> Madison, WI
>
> Subscribe/unsubscribe bincang@ ?
> Send email to [EMAIL PROTECTED], with subject: (un)subscribe bincang@.
>
> --------------------------------------------------------------------------
>
> Menjadikan PERMIAS organisasi yang satu, berguna bagi anggotanya, perduli,
> tanggap dan independen...
>
> --------------------------------------------------------------------------

Kirim email ke