(Dimuat pada Rakyat Merdeka : 19 Maret 2004)
AMIEN - AA GYM - SBY ITULAH CONTOH POLITISI JENIUS ----------------------------- Oleh : Nasrullah Idris Saya bukanlah kader Partai Amanat Nasional maupun kader Partai Demokrat. Saya pun bukan anggota Daarut Tauhid pimpinan Abdullah Gumnastiar (AA Gym). Tetapi sebagai seorang yang bergerak di bidang studi Reformasi Sains Matematika Teknologi selama lebih dari 12 tahun (autodidak), yang outputnya antara lain berupa aplikasi Matematika ke urusan politik, saya cenderung menganggap Amien Rais, Abdullah Gymnastiar, dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai contoh sosok politisi jenius di Indonesia. Khusus untuk Abdullah Gymnastiar, meskipun ia secara formal bukanlah politisi, tetapi secara de facto menurut saya, justru ia merupakan sosok politisi jenius. Politisi kan tidak identik dengan pengurus partai politik, pejabat publik, maupun anggota parlemen. Maksud politisi jenius yang saya maksudkan ialah kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan dengan format, disain, atau proses yang tidak dilakukan, tidak terpikirkan, dan tidak dimanfaatkan oleh kebanyakan politisi lainnya. Dengan kata lain, mengambil jalur "yang lain daripada yang lain" serta tidak terikat oleh sesuatu yang sudah mentradisi, lazim, atau mengkristal dalam dunia perpolitikan pada zamannya. Jadi mereka itu bukan sembarang politisi. Bak segelintir ketan hitam di permukaan segenggam ketah putih. Karena setiap politisi mempunyai nurani untuk selalu serba damai, maka setiap tindakan mereka, berdasarkan pengamatan saya terhadap ketiganya, diusahakan untuk tidak menimbulkan ekses negatif serta tidak merugikan pihak lain. Mereka bak aktor sirkus yang sedang memainkan sejumlah piring, yang masing-masing diputar dengan tongkat kecil di tengah permukaan bagian bawahnya. Tanggung-jawab sebagai penghibur dibebankan padanya, agar semua piring tanpa kecuali terus berputar sampai permainan selesai. Sedikit saja lengah, misalkan, lebih memperhatikan yang satu ketimbang yang lain, suara piring yang pecah serta terdengar ke mana-mana tidak bisa dihindari. Akhirnya nuansa hiburan yang seharusnya dinikmati para penonton menjadi berantakan. Nah sosok yang mementingkan kepentingan bangsa ketimbangan golongan itulah yang seharusnya dicari serta diprioritaskan oleh setiap partai dalam pengkaderan. Selain akan memperkuat partainya sendiri, juga merupakan modal untuk dicalonkan sebagai pemimpin nasional. Kriteria lainnya yang dimilki politisi jenius adalah mempunyai penghayatan dalam, pemikiran inovatif, penganalisan detail, dan pengetahuan tinggi dalam menghadapi pluralisme politisi berdasarkan tingkat rivalitasnya. Masing-masing, tanpa kecuali, mereka jadikan bahan pengkajian sebelum mengambil tindakan. Saat mengkritik pun, politisi jenius tidak hanya pandai bersuara lantang melalui pengeras suara dalam rangka protes, juga tahu cara retorika maupun tempat teriakannya. Selain itu, keputusan politiknya selalu diusahakan untuk menggambarkan stabilitas "jarak terhadap" dan "posisi pada" semua partai yang lain, dalam artian, tidak ada yang merasa disudutkan, kecil maupun banyak. Karena dikhawatirkan menjadi kontra produktif bagi apresiasi platfoam partainya yang sedang berjalan. Taroklah suatu kali melihat kotoran burung jatuh tepat di hidung lawan politiknya. Mereka tidak langsung mengadakan konfrensi pers untuk menceritakan temuannya itu, apalagi menjadikannya sebagai komoditi politik. Tetapi mendekati yang bersangkutan dengan senyum ramah tanpa diketahui siapa pun serta menyuruh untuk membersihkannya segera. Demikian juga saat mendiskusikan beragam sisi negatif tentang sistem politik di tanah air dalam forum. Mereka lebih banyak menawarkan solusi penyelesaian. Seolah-olah dalam berpolitik, mereka melakukannya dengan ilmu politik, agar produk politik yang dihasilkannya atau langkah politik yang dijalankannya menggambarkan manuver politik yang mencapai sasaran dalam suasana bersih, sehat, dan wajar. Ketiga contoh yang saya sebutkan tadi hanyalah pendapat pribadi berdasarkan pemantauan saya terhadap kegiatannya melalui media massa. Soalnya saya belum pernah berjumpa langsung dengan mereka, apalagi berdialog dengan masing-masing. Saya pun mempermasalahan ini semata-mata dalam kapasitas sebagai seorang peneliti, bukan simpatisan.