Utong, 

Ada beberapa terminologi yang harus diperhatikan dari analisis Kwik Kian Gie 
dan alasan yang dikelarkan pemerintah.

Yang dimaksud Kwik Kian Gie adalah dampak terhadap netto pengeluaran APBN 
(pengeluaran bersih APBN). Jika harga minyak dunia naik, secara praktis 
hitung-hitungan di APBN, pertambahan pengeluaran pemerintah adalah sebesar 
netto konsumsi dikurangi produksi minyak nasional dikalikan harga minyak. Sejak 
tahun 2004 produksi minyak Nasional sudah lebih kecil dari konsumsi. Artinya, 
jika ada kenaikan harga minyak maka netto pengeluaran pemerintah negatif, alias 
defisit.

Sedangkan, yang dimaksud pemerintah adalah pengeluaran subsidi. Jika harga 
minyak naik, maka pengeluaran subsidi naik sebesar total konsumsi minyak 
nasional dikalikal jumlah subdisi per liter (harga minyak dunia - harga 
subsidi).

Apa yang dikemukaan Kwik Kian Gie betul, karena yang dimaksud dia sebetulnya 
dampak terhadap netto pengeluaran pemerintah. Dampak setiap kenaikan minyak 
terhadap defisit ABBN memang kecil, kalau tidak salah, dengan tingkat konsumsi 
minyak sekarang sekitar 200-300 juta dolar defisit APBN bertamabah (yaitu 
negatif netto pengeluaran). 

Tapi, kalau kita berbicara subsidi, jumlah subsidi yang dikeluarkan pemerintah 
sekitar 300 trilyun rupiah pertahun dengan tingkat konsumsi sekarang. Satu hal 
yang sangat penting kenapa subsidi BBM perlu digugat adalah yang banyak 
menikmati subsidi ini adalah orang menengah-atas: mereka yang punya mobil dan 
motor. Hal ini bukan berarti orang miskin tidak menikati subsidi BBM. Tapi 
secara proporsi sebagian besar dari jumlah 300 trilyun itu dinikmati orang 
kaya; sementara orang miskin menikmati proporsi subsidi BBM dalam jumlah kecil 
saja. 

Pada prinsipnya, saya pribadi setuju BBM dihapus secara bertahap. Kemudian, 
dana yang bisa dihemat dialokasikan untuk kompensasi kenaikan harga untuk 
rakyat miskin; untuk pembangunan infrastruktur, pengeluaran kesehatan dan 
pendidikan. 

Tentu, pencabutan subsidi ini harus dilakukan secara hati-hati, terencana dan 
disiapkan antisipasi dampak negatifnya terhadap kenaikan harga, terutama untuk 
rakyat miskin, dan ganguan terhadap dunia usaha. 

Untuk pencabutan subsidi kali ini, satu kesalahan sudah dilakukan Menteri 
Keuangan Sri Mulyani. Dia sudah bilang subsidi kan naik 3 minggu lagi (dia 
bilang minggu lalu). Ini mengundang orang memborong barang dan spekulasi; dan 
harga barang sudah naik duluan.

Banyak hal yang harus dilakukan dan dipersiapkan untuk mengantisipasi dampak 
negatif kenaikan subsidi; dan ini bukan perkara mudah memang. Contoh: perbaikan 
infrastruktur jalan baik fisik mauopun pendukung, mungkin bisa mengkompensasi 
biaya kenaikan harga BBM bagi pengusaha; jika mobilitas kendaraan semakin 
lancar maka biaya transportasi bisa ditekan. Tapi, ini tidak mudah karena 
dijalanan banyak setan-nya, mulai dari mereka yang bertopeng ala ninja sampai 
mereka yang berseragam (polisi dan petugas dishub maksudnya, he..he..).

dendi

















Furqon Azis <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                             Sempat saya 
terjebak dalam pemikiran ttg beratnya pemerintah menanggung subsidi BBM bagi 
rakyat Indonesia setelah mengikuti komentar-komentar di media massa akhir-akhir 
ini sehubungan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM.

Namun tulisan dan penalaran mantan Menko Ekuin dan Kepala BAPENAS era 
pemerintahan Presiden Megawati, Bp. Kwik Kian Gie yang melihat dari sudut yang 
lain, rasanya perlu benar-benar disimak oleh rakyat dan para pembesar yang 
mungkin sudah keblinger karena saking "pinter" nya!

Berikut sebuah komentar yang saya kutip dari www.koraninternet.com yang 
menanggapi tulisan beliau, sebuah analogi yang pas menggambarkan penalaran Pak 
Kwik.  (komentar ini sudah saya edit sedikit semoga lebih memperjelas maksudnya)
 
Pak Kwik yang baik,

Saya pernah menulis komentar kurang-lebih begini :
 
Ada sebuah keluarga yang di belakang rumahnya tumbuh dengan sendirinya sebatang 
pepaya yang berbuah 3 butir. Ketika pepaya itu sudah matang dan sudah siap di 
meja makan akan disantap bersama oleh seluruh keluarga, tiba2 sang ayah bilang 
: eit,tunggu dulu, isteriku, anak2 dan mantuku, serta cucu2ku, pepaya itu di 
pasar harganya 5 ribu rupiah perkilo, jadi yang mau kalian makan itu berharga 3 
btr X 4 kg x Rp.5000 = Rp.60.000.

Sebelum memakannya kalian harus membayar dulu Rp 60.000. Kalau nggak kalian 
bayar maka ayah ini akan terpaksa mensubsidi kalian Rp.60.000, padahal ayah ini 
orang miskin, lemah dan sudah pensiun...

Begitulah kisah yang sebenarnya tentang subsidi BBM pemerintah (sang ayah) yang 
200 triliun itu . 
 
Dari analogi tsb, terlihat bahwa sebenarnya kalaupun pepaya-pepaya itu dimakan 
ramai-ramai, sang ayah tidak sebenarnya mengeluarkan subsidi karena diapun 
tidak mengeluarkan uang untuk membeli pepaya.

Saya jadi berpikir, kalau anak-anak, isteri, para menantu, dan cucu-cucu 
(rakyat Indonesia) akhirnyapun mau "dibodohi" dan membayar kepada sang ayah, 
itu berarti sang ayah berkelimpahan uang bukan??

~"Kebohongan bila terus dicanangkan, lama-lama akan diterima sebagai kebenaran"~

http://limarupiah.blogspot.com/2008/05/subsidi-bbm.html
  
     
                                       

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

Kirim email ke