Republika Rabu, 27 April 2005
Citra Islam dan Kemiskinan Umat Oleh : Zaenal Ma'arif Wakil Ketua DPR RI Islam, modernisasi, dan demokrasi adalah potensi besar yang dimiliki bangsa Indonesia. Karena itu, umat Islam di Indonesia diharapkan mampu menjadi contoh komunitas yang bisa mewujudkan keserasian antara Islam, modernisasi, dan demokrasi. Pendapat ini dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara (Republika, 23 April 2005) Kita sependapat dengan apa yang dikemukakan Presiden. Bahkan pernyataan tersebut perlu ditangkap dan dirumuskan menjadi sebuah pemikiran yang lebih konseptual, serta dikemas menjadi isu yang terus-menerus dibicarakan dalam setiap kesempatan tanpa kenal lelah. Jika tidak, apa yang dikemukakan presiden tersebut tak lebih hanya akan menjadi sebuah retorika politik dan segera menguap. Ajaran Islam pada hakikatnya memang sangat mendorong demokratisasi dan modernisasi. Dalam lembaran ayat Alquran dan Al-Hadis, bisa ditemukan dengan mudah anjuran dan perintah untuk berdemokrasi dalam segala urusan. Wayu sawirhum fil amrih: bermusyawarahlah dalam segala urusan. Dan, dalam banyak ayat dan hadits pula kita temukan betapa ajaran Islam menentang keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Karena itu, kita berkeyakinan bahwa dengan diamalkannya ajaran Islam secara konsisten dan benar akan mempercepat proses demokratisasi dan modernisasi. Realitas Namun, realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat jauh berbeda. Seperti juga diakui Presiden SBY, Islam masih dicitrakan sebagai agama yang dekat dengan keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Sebagian besar umatnya menjadi peminta-minta, para wanitanya tak sedikit yang menjadi pembantu, dan prianya menjadi kuli. Bukan hanya menjadi kuli dan pembantu di negerinya yang makmur ini, tetapi juga di negeri orang. Bahkan di negeri tetangga seperti Malaysia yang dulu banyak belajar dan berguru dari negeri ini. Sejumlah fakta di lapangan, tampaknya semakin memperkuat pencitraan buruk tersebut. Di Indonesia, misalnya, secara demografi umat Islam memang mayoritas. Hampir 90 persen penduduk Indonesia beraga Islam. Tetapi, celakanya, secara ekonomi umat Islam ternyata sangat-sangat minoritas karena hanya menguasai 20 persen sumber-sumber perekonomian. Di negara-negara Barat Islam bahkan selalu dianggap membawa citra negatif. Sebuah agama yang selalu dilekatkan dengan kekerasan dan terorisme. Menurut Karen Amstrong, penulis buku Muhammad Sang Nabi, orang tidak terlalu berminat untuk mempelajari Islam, meskipun Islam agama ketiga yang dibawa Ibrahim dan lebih memiliki kesamaan dengan Judaisme-Kristenitas. Islam justru dianggap sebagai agama yang menakutkan karena selalu diidentikan dengan kekerasan dan terorisme tadi. Dalam catatan, negara-negara Barat memang memiliki sejarah panjang kekerasan terhadap Islam. Perang Salib adalah puncaknya. Kebencian masa lalu terhadap Islam ini terus berkembang, sehingga orang-orang di Barat bisa dengan mudah menyerang agama yang diwahyukan kepada Muhammad ini walaupun mereka tidak tahu apa-apa tentang Islam. Perlu dirombak Citra Islam yang demikain buruk itu, perlu kita hapus. Upaya menghapus citra Islam adalah menjadi tanggung jawab kita semua. Berbagai faktor yang membuat Islam begitu tampak buruk, perlu segera didobrak. Paling tidak, kita harus mulai melakukan revolusi dari unit terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga. Semua keluarga Muslim dengan penuh kesadaran, memulai memahami kembali nilai-nilai ajaran Islam secara benar dan kritis. Yang terjadi sekarang, anak-anak dalam keluarga umat Islam lebih mudah menghapal syair lagu dari grup musik Simple Plan ketimbang menghafal surat-surat pendek dalam Alquran. Ini bisa terjadi karena kita kehilangan cara yang menarik dalam melakukan transpormasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan yang dialami sebagian besar umat Islam sesungguhnya bersumber dari ketidak mampuan kita sendiri dalam memahami secara kritis tata nilai kehidupan yang terkandung dalam ajaran Islam. Ini terjadi karena sistem pendidikan nasional kita yang tidak memberikan ruang gerak yang luas bagi pengajaran nilai-nilai relijius. Sistem pendidikan yang kita jalankan dewasa ini lebih mengakomodir tata nilai yang dikembangkan kaum kapitalis. Pendidikan dirancang hanya untuk menghasilkan tumpukan materi belaka. Mengubah citra Islam yang demikian buruk itu tentu tidak mudah. Seperti dikemukakan Presiden SBY, selama satu dekade terakhir ini muncul begitu banyak kesalahpahaman terhadap Islam dan umat Islam. Pandangan Islam sebagai agama yang melekat dengan kekerasan dan terorisme itu merupakan bukti nyata kesalah pahaman tadi. Menurut hemat saya, melekatnya citra kekerasan dan terorisme pada Islam bukan sekedar akibat adanya kesalah pahaman. Tetapi harus kita lihat sebagai upaya sistematik untuk membuat Islam bercitra buruk. Fakta sejarah membuktikan bahwa para cendekiawan Barat, terutama dari Eropa sudah lama menaruh kebencian terhadap Islam, terutama sejak abad ke-7 Masehi ketika kekhalifaham Islam berdiri. Pada saat itu, Eropa merupakan wilayah yang terkebelakang dan berada dalam abad kegelapan. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang dikuasai umat Islam pada waktu itu, kekhalifahan Islam tumbuh dengan cepat di kawasan Asia, Afrika, hingga ke Eropa. Penyebaran Islam yang begitu pesat itu, telah menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat Eropa. Ketika bangsa Eropa keluar dari abad kegelapan dan berhasil membangun peradabannya sendiri dengan gemilang, bangsa Eropa tetap merasa ketakutan. Ketakutan ini membuat kaum intelektual dan para pengambil keputusan di Eropa sulit untuk bersikap obyektif rasional terhadap ajaran-ajaran Islam, bahkan terhadap umat Islam sendiri. Hingga dewasa ini, mayoritas kaum terpelajar Barat selalu menyatakan bahwa Islam sebagai kepercayaan yang hina dan Nabi Muhammad sebagai penipu ulung yang membangun agama dengan pedang untuk menjajah dunia. Menurut Amstrong, nama Muhammad digunakan para kaum ibu untuk menakut-nakuti anak-anak mereka yang tidak patuh. Dalam drama-drama Mummers, Muhammad selalu ditampilkan sebagai musuh peradaban Barat yang memerangi tokoh Barat seperti St George. Citra buruk Islam yang kita lihat sekarang ini, sesungguhnya merupakan ide-ide Eropa yang dibangun secara sistematis dan berkesinambungan. Ide Eropa ini terbukti sangat efektif mempengaruhi persepsi masyarakat dunia, termasuk umat Islam sendiri. Umat Islam menjadi begitu rendah diri dan tidak merasa bangga lagi dengan kebenaran ajarannya. Bahkan keberhasilan Eropa membangun citra buruk Islam ini telah membuat perpecahan di antara umat Islam sendiri. Lihat saja para pemimpin Islam di Timur Tengah, mereka hampir tidak memiliki pendapat dan pandangan yang sama tentang masa depan Palestina, tentang masa depan dan nasib rakyat Irak pasca Saddam Husein. Ini sungguh sebuah realitas yang mencemaskan kita semua. Yang lebih mencemaskan lagi, sebagian umat Islam sendiri terutama kelompok garis keras terprovokasi oleh upaya-upaya sistematik Barat memperburuk citra Islam tersebut dengan melakukan tindakan kekerasan. Mereka menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap dunia Barat, melakukan penyanderaan terhadap orang-orang Eropa dan Amerika dengan mengatasnamakan Islam. Tindakan kekerasan yang dilakukan segelintir umat Islam ini seolah membenarkan persepsi keliru bahwa Islam adalah agama kekerasan. Maka, membangun citra Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak mudah. Diperlukan perjuangan panjang dan komitmen kita bersama. Berbagai pengalaman bangsa berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah yang melakukan perlawanan dengan cara-cara kekerasan, justru dengan mudah dimanipulasi untuk semakin memperburuk citra Islam itu sendiri. Yang perlu dilakukan umat Islam saat ini ialah melakukan cara-cara sistematis membumikan nilai-nilai ajaran Islam pada tataran kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan. Hal ini tentu tidak mudah. Betapapun sulitnya membangun citra Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang mendorong demokratisasi dan modernisasi, perlu kita coba dengan sekuat tenaga. Saya sependapat dengan Presiden SBY bahwa umat Islam Indonesia harus mampu menjadi contoh komunitas yang bisa menserasikan antara Islam, demokrasi, dan kemodernan. Masalahnya, apakah kita punya energi yang cukup untuk membangun citra [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> What would our lives be like without music, dance, and theater? Donate or volunteer in the arts today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/MCfFmA/SOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/