http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/7/15/o2.htm
Geliat di sektor real akan membuat investor asing tertarik untuk menanamkan modal jangka panjangnya dalam bentuk investasi langsung. Dengan adanya peningkatan ekspor dan investasi langsung dari luar negeri, maka penawaran (supply) dolar AS akan bertambah. Sebaliknya, kebutuhan akan rupiah jelas mengalami kenaikan. Dengan demikian, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mengalami perbaikan. Antara Rupiah dan Pembenahan Sektor Real Oleh Achmad Ali NILAI tukar rupiah dalam beberapa hari ini terus tertekan. Sekarang ini nilai tukar rupiah rata-rata 9.956 per dolar AS dan yang dikehendaki, sesuai APBN, adalah 9.300 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah kali ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, rencana kenaikan suku bunga The Fed, harga minyak dunia yang masih tinggi dan relatif besarnya permintaan dolar, terutama meningkatnya kebutuhan korporasi dalam negeri (BUMN) akan dolar untuk membayar bunga dan cicilan utang yang akan jatuh tempo. Lantas, sampai kapan rupiah akan terus tertekan (bergejolak)? Bukan hal yang mudah untuk memberikan obat yang manjur dalam mengatasi melemahnya nilai tukar rupiah. Sejumlah langkah positif telah dilakukan Bank Indonesia (BI) dalam menaikkan rupiah, seperti pemberlakuan ketentuan BI nomor 7/14/2005 tentang pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valas oleh bank; penyediaan kebutuhan valas BUMN di luar pertamina; kewajiban BUMN menyimpan devisa hasil usaha di bank lokal serta perkuatan cadangan devisa melalui peningkatan Bilateral Swap Arrangement (BSA), ternyata berhasil mendorong rupiah mendekati level 9.700 per dolar AS. Cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga. Namun, naiknya suku bunga memiliki risiko, yakni tekanan bagi dunia usaha yang sedang berusaha untuk bangkit. Kenaikan tingkat suku bunga belum tentu akan dapat mengerem laju depresiasi rupiah. Secara teori memang dengan arus devisa yang bebas, maka kenaikan tingkat suku bunga akan menyebabkan masuknya modal dari luar negeri (capital inflow) sehingga supply dolar AS akan meningkat dan menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berangsur-angsur naik. Namun, investasi asing tidak hanya melihat unsur return saja, tetapi juga melihat unsur risiko. Kalaupun ada modal masuk hanya yang jangka waktu pendek saja. Masuk dan keluarnya modal jangka pendek malah akan dapat memicu ketidakstabilan nilai tukar rupiah. Di sisi lain, kenaikan suku bunga akan memukul dunia usaha, sehingga malah menyebabkan kemampuan produksi menurun. Penurunan produktivitas ini dapat menurunkan ekspor yang berarti turunnya pendapatan devisa. Upaya intervensi oleh BI juga kerapkali gagal untuk menahan terus turunnya rupiah, karena keterbatasan dana cadangan BI. Hal ini sering dimanfaatkan spekulan untuk mencari untung yang lebih besar dengan terus melakukan pembelian dolar AS sampai pada suatu titik BI tidak dapat lagi melakukan intervensi sehingga nilai tukar rupiah akan terus turun. Baru kemudian setelah itu mereka akan melepas dolar AS mereka ketika harga diperkirakan sudah sampai pada titik tertinggi. Lantas, bagaimanakah menciptakan kestabilan rupiah yang berkelanjutan? Dengan sistem nilai tukar yang mengambang (flexible exchange rate) dan sistem devisa bebas, maka nilai tukar mata uang rupiah praktis ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang ada di pasar uang. Jika permintaan akan mata uang rupiah naik maka nilainya akan naik. Sebaliknya, jika permintaannya menurun maka nilai tukarnya akan turun. Sehingga, untuk menjaga nilai tukar rupiah stabil yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kestabilan masuknya dolar AS ke perekonomian domestik (dalam negeri). Untuk memperbanyak masuknya aliran dolar AS ke dalam perekonomian kita, cara yang harus ditempuh adalah dengan membenahi serta menggenjot pertumbuhan di sektor real, yakni sektor yang menghasilkan barang dan jasa. Meningkatkan Ekspor Pertumbuhan di sektor real dapat meningkatkan kinerja ekspor. Meningkatnya kinerja ekspor sudah tentu akan menambah arus masuk dolar AS ke perekonomian Indonesia. Kita sedikit terhibur dengan data ekspor yang dikeluarkan BPS, di mana nilai ekspor Indonesia pada Mei 2005 berhasil tembus ke posisi 7,21 milyar dolar AS atau naik 6,17 persen dibandingkan bulan sebelumnya 6,79 milyar dolar AS. Secara kumulatif, ekspor Indonesia periode Januari-Mei 2005 mengalami kenaikan 30,79 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2004. Selain itu, geliat di sektor real akan membuat investor asing tertarik untuk menanamkan modal jangka panjangnya dalam bentuk investasi langsung. Dengan adanya peningkatan ekspor dan investasi langsung dari luar negeri, maka penawaran (supply) dolar AS akan bertambah. Sebaliknya, kebutuhan akan rupiah jelas mengalami kenaikan. Dengan demikian, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mengalami perbaikan. Di samping itu, secara teoretis ekspor dapat menjadi mekanisme untuk menaikkan nilai rupiah ketika mengalami depresiasi. Jika terjadi depresiasi, maka harga produk kita relatif lebih murah dibandingkan dengan harga produk negara lain sehingga ekspor akan naik. Naiknya ekspor akan meningkatkan pendapatan devisa dari luar negeri sehingga nilai tukar rupiah akan bergerak kembali ke level yang aman. Namun kenyataannya, sekalipun kinerja ekspor sedikit meningkat, produk Indonesia masih belum dapat bersaing dengan produk dari luar negeri, sehingga meskipun harganya murah, permintaannya tidak meningkat secara signifikan. Salah satu penyebabnya adalah sektor real kita masih sangat bergantung pada komponen impor. Sehingga, ketika rupiah turun maka ongkos produksi juga naik. Turunnya nilai rupiah tidak dapat menaikkan volume ekspor. Untuk itu, pembenahan sektor real menjadi sangat penting. Banyak pekerjaan rumah yang masih harus dibenahi pemerintah. Banyak kelemahan yang membuat sektor real kita kalah bersaing dengan luar negeri. Mulai dari masih rendahnya produktivitas karena produksinya masih sangat ketinggalan, misalnya faktor teknologi dan SDM. Untuk mengembangkan teknologi dibutuhkan modal yang tidak kecil. Untuk itulah, penciptaan iklim investasi yang baik mutlak diperlukan. Penghilangan ekonomi biaya tinggi akibat birokrasi yang berbelit-belit harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Salah satu yang paling penting untuk dibenahi adalah bagaimana mengurangi ketergantungan industri nasional pada komponen impor. Besarnya ketergantungan bahan impor menyebabkan kinerja ekspor kita tetap melemah sekalipun nilai tukar rupiah terdepresiasi. Selain itu, ketergantungan bahan impor juga menyebabkan nilai tambah industri dalam negeri relatif kecil, sehingga akumulasi nilai tambah yang dapat diciptakan industri nasional menjadi kecil juga. Perlu kebijakan komprehensif dari pemerintah untuk membangun dan membenahi sektor real yang tangguh. Jika sektor real di Indonesia masih berjalan di tempat seperti saat ini dan memiliki ketergantungan terhadap impor yang besar, maka hantu depresiasi rupiah akan tetap bergentayangan di perekonomian kita. Penulis, analis Statistik Lintas Sektor, Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Bali [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/