Source: http://www.freedom-institute.org/pdf/freedom_2.zip
Kolom Info Freedom, Juni/06 Beragama tanpa Negara Oleh Hamid Basyaib Kepada Presiden Mohammad Khatami yang ditemuinya, Menteri Luar Negeri Thailand Surin Pitsuwan bertanya, manakah yang lebih baik: Muslim Thailand atau Muslim Iran? Muslim Thailand seperti dirinya, kata Surin, setiap saat “dikepung” oleh maksiat. “Yang Mulia bisa mendapatkan semua yang diimpikan oleh setiap lelaki di Bangkok,” ujarnya. “Sementara Muslim Timur Tengah, umat Islam seperti di Teheran ini, tidak menghadapi godaan seperti kami”. Terkejut sejenak, karena ditanya tentang isu yang tak ada hubungan dengan politik luar negeri, Khatami tersenyum. Ia kemudian mengakui bahwa Muslim Thailand lebih baik. “Ketaatan kami di sini bukan karena kesadaran, tapi karena dipaksa,” katanya. “Saya kira begitu pula yang terjadi di negara-negara tetangga kami”. Ia segera mengalihkan pembicaraan. Khatami tampak enggan penilaiannya dicatat oleh kalangan konservatif di negerinya; juga khawatir menyinggung para pemimpin Timur Tengah. Dengan menuturkan peristiwa beberapa tahun silam itu Surin Pitsuwan ingin menyampaikan pesan bahwa ketaatan kepada Tuhan tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, apalagi oleh negara. Hubungan warga negara dengan Tuhan, baik dalam makna taat maupun bangkang, sepenuhnya urusan pribadi. Tidak masuk akal bahwa hubungan spiritual yang transendental itu diatur oleh negara. Penyerahan kepada negara berarti pengakuan bahwa negara adalah wakil Tuhan di bumi. Padahal negara adalah himpunan instansi yang dikelola oleh beragam petugas. Pasti di antara mereka, kalaupun bukan seluruhnya, tidak tepat menyandang predikat “wakil Tuhan”. Kitab suci memang memberi predikat “wakil Tuhan di bumi” (khalifah fil ardh), tapi itu ditujukan kepada setiap manusia, bukan kepada negara. Predikat simbolis itu tentu dimaksudkan untuk meluhurkan manusia; suatu atribusi moralistik agar manusia menyadari posisi istimewanya (dibanding semua mahluk lain), dan karena itu diharapkan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, lingkungan sosialnya, lingkungan hidupnya. Predikat simbolis yang moralistik itu tentu tidak dapat diharfiahkan, apalagi disematkan ke dada negara, yang kemudian memaknainya secara legal. Dari sudut warga negara (bukan “warga kerajaan Tuhan” yang juga simbolik), pemaksaan oleh negara hanya akan menjadikan mereka taat-terpaksa kepada Tuhan. Maka yang akan muncul adalah penyeragaman ketaatan semu, suatu hipokrisi nasional yang justeru dikecam oleh ajaran agama. Penyerahan urusan keagamaan warga pada negara berarti pemberian legitimasi ganda. Pertama, legitimasi politik lewat pemilu dan sebagainya (suatu mandat untuk mengurus kehidupan duniawi warga); kedua, legitimasi spiritual (mandat untuk mengusut batin warga, menyidik ketaatan dan pembangkangan mereka kepada Tuhan). Legitimasi ganda itu berbahaya ganda. Kita hapal adagium Lord Acton yang terlalu sering terbukti dalam sejarah, bahwa kekuasaan (sekuler) cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak, korupnya pun mutlak. Dengan legitimasi tunggal dan sekuler, kekuasaan sudah sedemikian mengkhawatirkan. Dengan legitimasi ganda, yang membuat negara berwenang mengatur kehidupan dunia sekaligus aspirasi ukhrawi warga negara, yang akan muncul adalah totalitarianisme. Negara menjadi lebih tahu apa yang seharusnya ada dalam hati dan pikiran warga negara, dan memastikan bahwa pikiran yang baik boleh dipelihara, hati yang buruk harus dihukum. Kemungkinan totalitarianisme itu bukan pengandaian. Dalam sejarah ia sudah sering terjadi. Pengalaman Eropa abad pertengahan penuh horor terhadap warga negara ketika kuasa Gereja dan negara menyatu; atau ketika Gereja juga menggenggam kuasa politik. Nazi Hitler juga mengandung semangat supranatural, mesianistik, metafisik, meski tak terang-terangan merujuk kitab suci. Hitler bermula dengan anggapan bahwa di alam semesta ini semua serba teratur, termasuk peringkat ras manusia. Ras paling unggul, kata dia, adalah Aria (Jerman). Maka semua yang lain harus ditaklukkan, khususnya ras yang juga mengklaim keunggulan seperti Yahudi. Keyakinan Hitler tidak punya dasar ilmiah sama sekali. Iran, sejak revolusi Islam 1979, mengulangi petaka kemanusiaan yang telah menjerakan Eropa itu. Iran memodifikasi bentuk negara, dan merawat substansinya. Iran berbentuk republik dan mengadakan pemilu rutin. Tapi kekuasaan tertinggi bukan di tangan presiden terpilih. Yang mahakuasa adalah Ali Khamenei, dengan 12 pembantunya. Merekalah wilayat-e-faqih (kasta ahli). Mereka mengatasi konstitusi karena merupakan supermen yang mustahil salah. Meski seseorang terpilih oleh mayoritas rakyat, Khamenei punya kuasa untuk membatalkan pilihan itu, dan mengangkat orang lain yang dikehendakinya. Ini pernah terjadi pada Bani Sadr, yang dalam pemilu di tahun 1980an meraih 11 juta suara rakyat, tapi yang diangkat sebagai presiden oleh Khomeini adalah Ali Rajai, yang hanya mendapat 500.000 suara. Indonesia pasca-Reformasi menyaksikan makin banyak kelompok yang mengaspirasikan teokrasi atau setidak-tidaknya negara yang diatur berdasarkan syariat Islam. Aspirasi ini setua usia Republik. Hanya istilah dan metode perjuangannya yang berganti-ganti. Ada variasi di antara kelompok-kelompok itu. Ada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang membenci demokrasi karena menganggapnya sistem impor dari Barat, bukan dari khazanah Islam, seraya menikmati kebebasan yang hanya dimungkinkan oleh demokrasi yang dikecamnya. HTI mustahil bisa hidup di negeri syariat seperti Arab Saudi atau Iran. Sambil memboikot pemilu, HTI memancang agenda pembentukan khilafah Islam. Programnya sama dengan ide Plato tentang raja-filosof – yang juga mengilhami Khomeini dengan teori wilayat-e-faqih-nya. Plato dan Hizbut Tahrir mengandaikan adanya manusia mahabijak-bestari yang akan membawakan kesejahteraan semata bagi rakyat dengan kepemimpinannya. Bagaimanakah cara memilih manusia ideal yang konsep dasarnya diimpor dari Yunani itu? Tidak dijelaskan. Tapi pasti bukan melalui pemilu. Oleh para aspirannya di awal kemerdekaan, juga pada sidang Konstituante 1959, “negara Islam” tak pernah dijabarkan secara jelas (Maarif, 1985; juga Compton, 1993). Sekarang aspirasi itu dipromosikan secara sama kaburnya, tanpa argumen dan elaborasi. Setelah gagal mengubah Pasal 29 UUD 45 dalam Sidang Istimewa MPR 2001, kelompok dan partai-partai pendukung syariat Islam bergerak di tingkat daerah (kabupaten), seiring arus otonomi. “Negara Islam” tak lagi disebut karena sudah jelas tak populer. Gantinya adalah “syariat Islam”. Tapi ide ini pun terlalu besar, kabur, tak realistis. Maka yang mereka lakukan adalah memecahnya menjadi serangkaian kebijakan parsial dan terbatas. Kelak, jika dijumlah, penggalan-penggalan syariahisasi itu (creeping shariahization) menjelma negara syariat. Di sejumlah daerah masih berlangsung upaya-upaya penerapan syariah terbatas, di luar Nanggroe Aceh Darussalam, yang telah menerapkannya secara resmi, bahkan kini PKS menginginkan syariat Islam juga berlaku bagi non-Muslim Aceh. Kabupaten Tangerang mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005, yang telah memangsa korban salah-tangkap. Lilis Lindawati, ibu rumah tangga dan pegawai restoran, disangka pelacur, ditahan tiga malam bersama para kriminal, disidang secara kilat, lalu dihukum denda tiga ratus ribu rupiah. Model Tangerang tampak akan segera ditiru oleh Kota Depok – dan barangkali juga oleh kabupaten-kabupaten lain. Semangat RUU Anti-Pornografi & Pornoaksi pun masih dalam kerangka creeping shariahization itu; dengan stipulasi yang mencengangkan tentang pengertian pornografi dan tindakan-tindakan pornografis, yang semuanya disusun berdasar penafsiran tertentu atas varian ajaran agama. Dan dengan pengandaian yang amat rendah terhadap manusia Indonesia (dilarang bermasturbasi di muka umum, dilarang menyetubuhi jenazah dan binatang, dan lain-lain). Para pendukung syariah sedang menendang bola api. Implikasinya yang sangat jauh tampaknya tak pernah direnungkan. Padahal, sekali syariah diterapkan, sangat sulit dikoreksi, sebagaimana terjadi di sejumlah negara. Mereka, juga para pejabat negara yang mengakomodasinya semata-mata karena pragmatisme politik jangka-pendek, alpa bahwa sekali senjata itu diletuskan ia bahkan bisa memakan tuan-tuannya. Lain kali, varian-varian kasus Tangerang bisa menimpa kerabat atau keturunan mereka sendiri. Ahli Hukum Islam dari Universitas Emory, Abdullahi Ahmed An-Naim, dalam diskusi di Jakarta pernah memohon agar kita jangan bermain-main dengan syariah Islam. Ia mengambil contoh Sudan, tanah airnya, tentang bagaimana senjata itu dimainkan oleh rezim yang sedang berkuasa. Ketika Hasan Turabi menjadi ketua parlemen, ia berfatwa bahwa anak-anak kecil boleh berperang untuk menumpas pemberontakan di utara Sudan. Jika mereka mati, kata Turabi, mereka syahid. Lalu beribu-ribu anak Sudan dikirim untuk memerangi separatisme Kristen di utara. Tanpa pengalaman tempur dan dengan prasyarat fisik di bawah minimum, ribuan anak-anak itu menjadi korban empuk secara mengenaskan. Turabi sendiri kemudian kalah dalam pertarungan kekuasaan dan dipenjarakan. Ia membalik fatwanya. Anak-anak yang jadi korban dalam perang timpang itu, katanya, mati konyol, bukan mati syahid. Dan Turabi mengecam eksploitasi atas mereka untuk tujuan perang. Rentetan masalah yang masih membelit tubuh bangsa kita ini hanya dapat dihadapi dengan kerja keras dan kerja cerdas, dengan pantang menyerah dan penegakan hukum. Bukan dengan mengkhayal bahwa syariah Islam pasti bisa mengatasi semua masalah itu. Secara konseptual ia sulit dipertanggungjawabkan, seperti terjadi sejak awal kemerdekaan. Secara praktis, telah terbukti di banyak negara bahwa ia gagal mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial, dan hanya menyuburkan ketaatan palsu warga negara. Islam, seperti kata Abdurrahman Wahid, adalah inspirasi. Bukan aspirasi. ** Hamid Basyaib, Direktur Program Freedom Institute, mantan wartawan, pernah bekerja di Harian Republika dan Majalah Ummat. Dia menerjemahkan dan menyun- ting 20-an buku bertema keislaman, politik Indonesia dan politik internasional, selain menerbitkan dua kumpulan tulisan dan menyumbang karangan untuksejumlah buku bunga rampai. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Great things are happening at Yahoo! Groups. See the new email design. http://us.click.yahoo.com/TISQkA/hOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/