Dear Netters,
  Mohon ma'af posting terdahulu tidak lengkap. Mudah2an ini memang lengkap.
  Salam,
  Sidqy L.P. Suyitno
   
  POLITIK, DAKWAH, DAN TEOLOGI MAUT
  Oleh: Ahmad Syafii Maarif
  Pendahuluan
  Judul yang semula diberikan Sinar Harapan adalah “Politik Islam vs. Dakwah 
Islam”, saya ubah menjadi “Politik, Dakwah, dan Teologi Maut” dengan tiga 
pertimbangan: pertama, sekalipun pada ranah praksisme, watak politik pada 
umumnya berbenturan dengan sifat dakwah, dalam perspektif al-Qur’an tidak 
semestinya demikian. Kedua, dengan perubahan judul itu pembicaraan saya siang 
ini diharapkan akan bercorak lebih umum, tidak larut dalam realitas kekinian 
politik Indonesia yang menyesakkan nafas. Ketiga, lagi, dari perspektif 
al-Qur’an, baik dakwah mau pun politik sama-sama punya dimensi pendidikan untuk 
pencerahan. Kemudian apa yang dimaksud dengan teologi maut dalam kaitannya 
dengan politik yang menggejala di kalangan segelintir umat Islam? Mari kita 
coba melihatnya lebih jauh.
  Politik dan dakwah pada ranah praksisme
  Apa yang pernah saya sampaikan dalam ungkapan berikut adalah format praksisme 
tentang hubungan politik dan dakwah:
  Politik mengatakan:
  Si A adalah kawan
  Si B adalah lawan
  Dakwah mengoreksi:
  Si A adalah kawan
  Si B adalah sahabat.
  Politik cenderung berpecah dan memecah Dakwah merangkul dan mempersatukan.  
  Dalam perspektif al-Qur’an, politik seharusnya menjadikan filosofi dakwah 
sebagai acuan, tetapi alangkah sulitnya, termasuk realitas yang sering kita 
tonton dalam kelakuan partai-partai yang mengaku berdasarkan Islam. Sikut 
menyikut, perang ayat, masing-masing ingin “memaksa” Tuhan untuk berpihak 
kepada kepentingan jangka pendeknya, berupa posisi politik dan ekonomi, 
merupakan realitas sepanjang sejarah. Sulit sekali praktik politik itu dapat 
dijinakkan oleh dakwah yang menjunjung tinggi moral dan sikap santun. Oleh 
sebab itu, di dunia nyata tidak mudah bagi kita untuk membedakan kelakuan 
politik antara mereka yang mengaku percaya kepada wahyu dan mereka yang tidak 
hirau lagi dengan segala prinsip yang berhulu kepada nilai-nilai 
profetik-transendental, di samping adanya pengalaman agama di Eropa yang 
menentang kemajuan ilmu pengetahuan. Barangkali karena melihat kenyataan yang 
serba kontradiktif inilah, seorang Bertrand Russell sampai kepada pendapat 
bahwa “semua agama
 itu berbahaya” (all religions are harmful). 
  Tetapi dunia tanpa Tuhan dan agama juga akan kehilangan apa yang disebut 
“nilai-nilai tertinggi” sebagai acuan yang dalam bahasa F. Nietzshe diungkapkan 
dalam formula “kematian Tuhan.”  Jika kita bawa turun ke bumi Indonesia 
kontemporer, pertanyaannya adalah: apa ada perbedaan fundamental antara 
kelakuan politik mereka yang rajin ke masjid, bahkan sudah haji, dengan mereka 
yang tidak lagi hirau kepada agama sebagai sumber nilai tertinggi? Bukankah 
kedua kelompok ini telah sama-sama “membunuh” Tuhan, sehingga acuan moral 
tertinggi sudah lama menghilang? 
  Akibatnya sangat nyata, yaitu merapuhnya hampir seluruh pilar moral bangsa. 
Indonesia dari hari ke hari semakin ringkih dan kropos saja, baik karena beban 
utang negara yang sudah mencapai Rp. 1.300 triliyun,  mau pun karena gurita 
korupsi yang masih mengganas, pembalakan kayu, pajak yang tidak distor ke kas 
negara oleh penagihnya yang telah menggarong kekayaan bangsa dalam jumlah 
puluhan triliyun. Juga, yang tidak kurang  membebani batin kita adalah wajah 
premanisme sebagian politisi kita yang sungguh a-moral, tidak terkecuali 
sebagian mereka yang mengaku dan duduk sebagai wakil rakyat.
  Dalam pada itu muncul pula sekelompok kecil orang dengan jubah dakwah, tetapi 
di otak belakang mereka sarat dengan libido kekuasaan, ingin mengubah Indonesia 
menjadi sebuah negara teokratis, karena negara Pancasila dinilai telah gagal 
mencapai tujuan utamanya berupa terciptanya “keadilan sosial bagi seluruh 
rakyat Indonesia.” Ironisnya adalah negara teokratis yang adil terhadap semua 
dan terbuka seperti yang mereka berhalakan itu tidak ada contohnya di muka bumi 
sekarang ini. Artikulasi politik mereka sungguh sangat dangkal, tetapi dalam 
suasana mental bangsa yang lagi goyah, jualan mereka ada juga pembelinya.  
Labih seram lagi, dari catatan harian seorang perangkai bom dan pembunuh 
berdarah dingin yang ditembak di Wonosobo pada 27 April 2006, tahulah kita 
bahwa telah muncul sekelompok orang yang sedang memasarkan teologi maut: ingin 
cepat mati, karena tidak berani hidup. Di seberang sana telah menanti bidadari 
yang cantik! Orang ini demikian tinggi mengagumi Dr. Azhari
 Husain yang dinilai mati syahid saat dikepung dan ditembak di Batu, Malang,  
pada 9 Nopember 2005 itu dengan kalimat:
  “Di antara sifat-sifat beliau yang ana [saya, aku, Bahasa Arab] amati selama 
ana berinteraksi dengan beliau di antaranya: penyayang terhadap binatang, 
beliau sangat tidak suka bila melihat orang yang mengurung burung/ikan 
sendirian, beliau sangat bahagia bila melihat  burung yang bebas dan berkicau.
  Beliau juga sangat tegar, kuat dalam memegang prinsip, sangat-sangat benci 
kepada orang kafir, beliau sangat menjaga harga diri/muruah. Pernah suatu 
ketika kita singgah di sebuah tempat, ahlul bait [tuan rumah] siap menampung 
beliau dengan segala akomodasinya, namun beliau tetap memberikan sejumlah dana 
kepada ahlul bait guna memenuhi kebutuhan akomodasi selama beliau tinggal di 
situ.
  Beliau sangat tegar, dan sangat benci atas segala kekufuran, beliau tidak 
ingin tertangkap oleh thoghut [yang melewati batas, tuhan palsu, kekuatan yang 
menyesatkan] hidup-hidup, kenapa? Di antara alasan-alasan beliau yang pernah 
disampaikan kepada ana : ketika dua pasukan salingan berhadapan, maka haram 
hukumnya untuk mundur, namun bila jumlah musuh lebih banyak maka diperbolehkan 
untuk mundur (bergabung dengan yang lain). Namun, menurut beliau, ia akan lebih 
memilih bertahan dan menyerang. 
  Beliau juga sering mengatakan kepada ana, bahwa di antara tingkatan-tingkatan 
syahid itu: orang yang tahu dan yakin bahwa ia akan syahid, ia pun syahid, dan 
di tangan ia sendiri (demi menjaga rahasia); yang kedua, syahid karena oleh 
tangan musuh; yang ketiga… wah ana lupa tuh. 
  Catatan tentang Azhari ini tidak kurang dari 11 halaman tulis tangan, 
sekalipun tidak dibubuhi angka halaman. Sebuah paradoks terbaca dalam catatan 
itu: binatang disayangi, tetapi manusia dibunuh dengan alasan jihad yang 
tersesat arah. Penderitaan rakyat Palestina yang dizalimi Israel dengan 
dukungan pemerintah Amerika menjadi latar belakang mengapa bom bunuh diri 
diekpor pula ke Indonesia. Ini yang sama sekali tidak nalar. Mengapa Indonesia 
dijadikan target sasaran bom bunuh diri? 
  Dalam catatan hariannya, si perakit bom ini juga tidak lupa menyertakan 
memori Azhari ketika berada di Afghanistan yang langsung terkait dengan 
al-Qaidah pimpinan Usama bin Laden. Kita turunkan, di antaranya:
  Di antara memori yang tidak bisa beliau lupakan adalah ketika pergi ke bumi 
jihad Afghan. Di kala sidang diadakan majlis dengan para petinggi al-Qaidah, di 
antaranya Syekh Usama, Aiman, dan lain-lain, dan para pembesar. Merupakan suatu 
kebiasaan bahwa mereka duduk di atas bantal-bantal. Kala itu ada satu bantal 
yang berada tepat di samping Syekh Usama, maka para ikhwah [sahabat] mujahidin 
pun saling berbisik, siapakah yang akan duduk di samping Syekh Usama? Apakah 
ada pejabat lain yang belum datang? Hingga suatu ketika Syekh Usama menunjuk 
asy-Syahid [Azhari] untuk duduk di samping beliau. Asy-Syahid pun menganggap 
yang ditunjuk itu bukanlah dia, namun ikhwah  lain karena asy-Syahid tidak bisa 
berbahasa Arab kecuali “kaifa haluka” [apa kabar] saja. Namun Syekh Usamah 
kembali menunjuk ke arah asy-Syahid untuk duduk di sampingnya.  Maka 
ikhwah-ikhwah yang lain pun mendorong beliau untuk segera memenuhi panggilan 
Syekh Usamah. Akhirnya dengan berat hati asy-Syahid pun duduk
 di samping Syekh Usama dan para petinggi lainnya. (Jika pada saat itu satelit 
musuh memfoto majlis tersebut, mungkin musuh akan bertanya-tanya, siapa nih 
yang duduk di samping Syekh Usamah?). 
  Dalam catatan si perakit bom ini disebutkan bahwa pengetahuan agama Azhari 
tidak seberapa, tetapi mengapa karismanya begitu dahsyat? Pengikutnya rela 
mati, demi melaksanakan perintah tokoh yang tidak mengerti agama ini? Mungkin 
setidak-tidaknya ada dua faktor yang patut dikatakan. Pertama, Azhari adalah 
seorang dengan kualifaid doktor tamatan Inggris, cerdas,  dan penuh dedikasi 
untuk merealisasikan teologi mautnya; kedua, karena Usama bin Laden telah 
memberikan legitimasi politik dan moral kepada Azhari dengan memanggilnya duduk 
di sampingnya dalam sebuah sidang di Afghanistan. Kedua faktor ini tampaknya 
menjadi unsur penting mengapa Azhari, warga Malaysia itu, punya pengikut 
fanatik, bukan di negaranya Malaysia yang relatif makmur, tetapi di Indonesia, 
sebuah bangsa korup, di mana para elitnya telah lama mati rasa. Kondisi ini 
merupakan lahan subur bagi kekuatan-kekuatan militan destruktif, baik yang 
keras dalam wacana, tetapi bukan kelompok teroris, mau pun yang keras
 dalam wacana dan sekaligus kejam dalam tindakan. Selama suasana kumuh dan 
timpang ini belum juga membaik, Indonesia akan tetap rentan bagi mereka yang 
haus kekuasaan melalui kekerasan.
  Politik dan dakwah di negara Pancasila dan situasi eksternal
  Ada sebuah prestasi besar yang patut disyukuri di Indonesia, yaitu Pancasila 
telah diterima oleh mayoritas kekuatan politik dan rakyat Indonesia.  Adapun 
masih ada kelompok-kelompok kecil yang ingin menukarnya dengan yang lain dan 
anti demokrasi, jumlahnya dari ke hari semakin mengecil, tetapi lantang dan 
vokal. Seakan-akan merekalah yang mewakili Islam di Indonesia, bukan 
Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama, dua sayap besar umat Islam di nusantara yang 
sudah menerima Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Mengapa mereka anti 
demokrasi? Salah satu jawabannya adalah karena mereka tidak mau ikut pemilu, 
sebab pasti kalahnya. Jangankan kelompok-kelompok garis keras ini, 
partai-partai dengan dasar Islam pun dalam Pemilu 2004 juga menderita kekalahan 
fatal. Jika kalah, dan pasti kalah, maka wibawa mereka di depan publik akan 
merosot secara drastis. Ini yang mereka tidak mau lihat.
  Pada ranah praksisme, Pancasila juga bukan sepi dari masalah-masalah serius. 
Selama hampir 60 tahun pasca proklamasi, Pancasila sering dihadapkan kepada 
tragedi demi tragedi. Beberapa waktu yang lalu, saya menulis tentang tragedi 
yang diderita Pancasila dalam kurun dan rentang waktu yang panjang. Sebagian 
kutipannya adalah sebagai berikut:
  … yang ingin ditegaskan adalah bahwa Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya 
yang dahsyat itu telah mengalami tragedi demi tragedi, tidak dalam kata, tetapi 
justru dalam laku, sebagaimana yang sering saya kemukakan di berbagai forum. 
Dalam ungkapan lain, jika kita memperkatakan Pancasila, implementasi 
nilai-nilai luhur inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian utama, bukan 
memperdebatkannya secara teoretikal.
  Bagi saya semua nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sangat jelas, 
tidak perlu orang terlalu berbelit-belit menyikapinya. Sila pertama, “Ketuhanan 
Yang Maha Esa,” jelas memberi landasan kuat bagi kehidupan beragama secara 
tulus dan otentik. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” tidak bisa 
ditafsirkan selain bahwa bangsa ini wajib menegakkan keadilan dan keadaban 
dalam berprilaku, baik perorangan maupun dalam kehidupan kolektif dalam 
politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Penyimpangan dari prilaku adil dan 
beradab adalah pengkhianatan terhadap sila ini. Dan inilah yang sering berlaku 
selama hampir 61 tahun kita merdeka. 
  Pengkhianatan ini tidak semata-mata dalam bentuk upaya sementara orang yang 
ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain. Tetapi laku yang beringas, tindak 
kekerasan, pelanggaran HAM, menggarong harta bangsa, main hakim sendiri, 
merusak milik negara sekalipun itu dengan meneriakkan Allahu Akbar, semuanya 
adalah perbuatan khianat dalam perspektif sila kedua.
  Kemudian, sila ketiga berupa “Persatuan Indonesia”, bukan “Kesatuan 
Indonesia”, semestinya membimbing bangsa ini dalam kebhinnekaan (pluralisme) 
yang kaya dalam mosaic budaya yang beragam. Tetapi, yang terjadi selama sekian 
dasar warsa adalah politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata 
sistem sosial budaya local secara paksa melalui undang-undang. Ini adalah 
bentuk pengkhianatan konstitusional yang telah menimbulkan keresahan dan 
perlawanan diam-diam dari berbagai sub-kultur Indonesia yang kaya itu.
  Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam 
permusyawaratan/perwakilan”, tegas sekali memerintahkanbahwa demokrasi harus 
ditegakkan secara bijak melalui musyawarah yang bertanggung jawab dan dengan 
lapang dada. Di luar cara-cara itu, sila kerakyatan yang memuat prinsip 
demokrasi itu akan membuahkan malapetaka berkepanjangan yang telah menjadikan 
rakyat banyak sebagai kelinci percobaan politik yang amoral. Perkembangan 
terakhir dalam cara kita berdemokrasi tampaknya semakin jauh dari roh Pancasila 
dalam pengertiannya yang utuh dan padu. Ini adalah bentuk tragedi yang selalu 
saja ditimpakan orang pada Pancasila.
  Terakhir, sila kelima, “Keadilan sosial bagi [seluruh] rakyat Indonesia”, 
telah menjadi yatim piatu sejak kita merdeka. Hampir tidak ada kebijakan 
pemerintah dan DPR yang benar-benar dibimbing oleh sila ini.  Rakyat dari masa 
ke masa tidak semakin merasakan keadilan, tetapi penindasan berencana via 
undang-undang, apakah undang-undang itu berupa darurat militer, undang-undangan 
hubungan pusat dan daerah, undang-undang penanaman modal asing, dan lain-lain.  
Oleh sebab itu, matahari sudah condong ke barat bagi kita semua untuk berhenti 
menjadikan Pancasila sebagai retorika politik yang kosong dan menipu. Pancasila 
di bawah sinar wahyu harus menuntun seluruh laku kita dalam bermasyarakat, 
berbangsa, dan bernegara, sekarang dan untuk selama-lamanya, jika Indonesia 
memang masih mau dipertahankan.  
  Kutipan yang agak panjang ini sudah sedikit menjelaskan di mana posisi saya 
dalam membaca peta politik dan dakwah di  Indonesia, sebuah bangsa yang sedang 
ringkih dan rapuh secara moral. Saya melihat tidak ada pilihan lain selain dari 
bersikap demikian, jika keutuhan bangsa dan negara ini mau dipelihara dan 
dipertahankan dalam tempo yang panjang. Jika perbaikan fundamental ini tidak 
juga kunjung menjadi kenyataan dalam dekat ini, maka teologi maut masih akan 
punya pengikut, betapa pun di antara pemimpin puncaknya telah ditangkap atau 
terbunuh.
  Dimensi global dari terorisme di Indonesia
  Selanjutnya, mari pula kita kaitkan sejenak situasi nasional kita dengan peta 
global yang jauh dari suasana adil, ramah, dan manusiawi. Saya dapat memahami 
hipotesis yang dikemukakan Tariq Ali, seorang penulis Inggris keturunan India, 
yang mengatakan bahwa kekuatan yang  berbenturan sekarang bukan antar 
peradaban, tetapi antar dua kubu fundamentalisme: fundamentalisme Kristen 
politik yang dipimpin oleh Presiden George W. Bush dan fundamentalisme Islam 
politik dipimpin oleh Usamah bin Laden. 
  Sewaktu era perang dingin Bin Laden adalah sahabat Amerika, demi melawan Uni 
Soviet yang menduduki Afghanistan pada waktu itu. Lebih dari tujuh tahun Bin 
Laden berperang di sana  dengan bantuan Amerika. Maka tidaklah mengherankan 
bahwa di sampul depan buku Tariq ini terpampang muka Bush yang sedang memakai 
pakaian Usama bin Laden, sementara di sampul belakang kita saksikan Usamah bin 
Laden sedang berpidato di podium kepresidenan Amerika Serikat.  Pendeknya di 
mata Tariq, kedua fundamentalis inilah yang tengah mengacau dunia. Bush melalui 
politik imperialistiknya, Bin Laden dengan bom bunuh dirinya sambil membunuh 
orang lain. Pengikutnya di Indonesia di luar nalar telah pula melakukan 
keonaran dan kebiadaban dengan bom bunuh diri untuk membunuh orang lain yang 
tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi di Palestina, Afghanistan, 
Chechnya, atau Iraq. 
  Kita kutip Tariq Ali tentang kaitan Amerika Serikat dengan kelompok Islam 
militan di Afghanistan:
  Washington’s role in the Afghan war has never been a secret, but few citizens 
in the West were aware that the United States utilised the intelligence 
services of Egypt, Saudi Arabia and Pakistan to create, train, finance and arm 
an international network of Islamic militants to fight the Russians in 
Afghanistan. 
  Sekarang antara Bush dan Bin Laden telah pecah kongsi sejak tragedi 11 
September 2001 yang biadab dan menghebohkan jagat raya itu. 
  Yang tidak kurang biadabnya adalah bahwa atmosfir pertarungan dua 
fundamentalisme itu dibawa ke Indonesia oleh Azhari, Noor Din M. Top, dan para 
pengikutnya di negeri ini yang telah melakukan keonaran demi keonaran sampai 
sekarang. Dengan cara membabi buta mereka meledakkan bom di Bali, Marriot, dan 
di kedutaan besar Australia di Jakarta. Dalam pembicaraan panjang dengan 
Detasemen Khusus 88 Kepolisian Republik Indonesia pada 9 Maret 2006 di Hotel 
Hyyat Jogjakarta, saya mendesak agar terorisme di Indonesia cepat diakhiri. 
Keganasan mereka sungguh sudah sangat melampaui batas dengan teologi maut yang 
jadi pegangan mereka. Tampaknya Detasemen ini telah bekerja keras, dan sampai 
batas-batas tertentu berhasil. 
  Tetapi alangkah sukarnya melumpuhkan seluruh jaringan teror mereka dalam 
kondisi sebuah bangsa yang sedang rapuh! Dan pada tataran global, umat Islam 
secara keseluruhan masih berada di buritan peradaban teknologis. Perpecahan 
sesama mereka masih jauh dari selesai. Konflik Syi’i-Sunni di Iraq pasca invasi 
Amerika dan sekutunya adalah di antara contoh mutakhir yang dapat kita 
saksikan. Kesulitan kita di Indonesia ditambah lagi oleh pernyataan segelintir 
orang bahwa teroris yang tewas ini juga mati syahid. Cara berfikir yang kacau 
ini telah menambah beban mental mayoritas umat Islam Indonesia yang masih 
berfikir jernih, tidak kalang kabut, sekalipun di antara mereka banyak yang 
miskin.
  Penutup
  Dengan segala borok dan beban berat yang terpikul di bahu umat Islam sekarang 
ini, baik pada tingkat nasional, mau pun pada skala global, the silent majority 
dari mereka masih tetap siuman dan tidak pernah lupa bahwa missi mulia Islam 
adalah membangun peradaban untuk menebarkan rahmat di muka bumi.,  bagi semua, 
dengan tidak memandang perbedaan agama, latar belakang, etnisitas, bahkan 
kelompok ateis pun harus merasakan rahmat itu. Doktrin inilah yang menuntun 
saya untuk terus berteriak dan berteriak bahwa jalan kekerasan bukan jalan 
al-Qur’an, tetapi jalan setan yang terkutuk. Kegagalan umat Islam berurusan 
dengan gelombang modernitas yang agresif  pasti telah dan akan tetap 
menyadarkan mereka bahwa cara-cara biadab dan gelap mata hanyalah punya satu 
risiko: bunuh diri.
  Akhirnya, saya ingin menyudahi pembicaraan siang ini dengan kutipan makna 
ayat al-Qur’an berikut:
  Wahai orang-orang yang beriman: “Jawablah panggilan Allah dan panggilan 
rasul, pada saat rasul itu memanggilmu kepada sesuatu yang menghidupkan kamu.” 
Teologi maut yang membenarkan pembunuhan dan hara-kiri peradaban jelas 
mengingkari dan bahkan mengkhianti ayat ini. 
  Posisi di buritan peradaban dan himpitan perasaan yang berat (despair) tidak 
boleh menyebabkan orang lalu menjadi gelap mata dan berbuat onar di muka bumi. 
Matahari tampaknya masih akan bersinar milyaran tahun lagi. Oleh sebab itu 
stamina spiritual umat Islam harus tetap tegar dan prima, betapa pun beratnya 
situasi yang melingkari mereka. Jangan korbankan masa depan melalui perbuatan 
nekat dan putusasa.
  (Disampaikan pada public lectures bersama Nono Anwar Makarim dan Faisal Basri 
dalam rangka peringatan lima tahun terbitnya kembali Sinar Harapan, di Garden 
Tarrace, Four Seasons Hotel, Jakarta, 6 Juli 2006)
  Jakarta, 6 Juli 2006  

                                
---------------------------------
Talk is cheap. Use Yahoo! Messenger to make PC-to-Phone calls.  Great rates 
starting at 1¢/min.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Check out the new improvements in Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/6pRQfA/fOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke