Dear All,
   
  Sebenarnya masalah ini cukup simpel. Tidak ada manusia pun yang setuju dengan 
pelacuran termasuk pelcur sendiri apalagi masyarakat luas. Sayangnya dengan 
hukum sekarang sulit bisa dijerat. 
   
  Umat ISlam (termasuk orang yang waras) gerah dengan situasi ini, kami punya 
seperangkat aturan dalam syariat ISlam yang bisa mencegah semua itu terjadi. 
Yakni agar  suami tidak selingkuh dengan pelacur atau orang lain, istri 
selingkuh dengan gigolo, perdagangan perempuan dll. 
   
  Di daerah tertentu kemudian menyetujui bahwa upaya pencegahan dan 
pemberantasan dengan munculnya Perda Syariah, ini anpirasi masyarakat daerah 
tersebut. 
   
  Tapi entahlah kemudian orang di daerah lain atau LSM-LSM yang tak setuju atau 
agak alergi dengan nama Syariat ISlam, merasa tak setuju dengan Perda tersebut. 
  LSM-LSM yang mengatakan diri membawa kesejahteraan rakyat?
   
  Padahal seperti di Bulukumba misalnya Perda Syariat ISlam sangat efektif 
untuk meningkatkan keharmonisan RT baik non muslim dan muslim, menghemat 
belanja suami karena semua perempuan yang muslim pakai kerudung. ya lah biaya 
ke salon berkurang. Pencuri pun berkurang drastis.Coba tanya saja ke Bupati di 
sana.... 
   
  Perda syariah itu beratnya diawal.. semua butuh pembiasaan, seperti UU baru 
yang memberatkan. Kenapa kita tak menyempurnakan syariat ISlam yang tepat dan 
seharusnya dan bukan memperdebatkannya atau menolaknya.
   
   
  Mengatakan Perda syariat Islam atau memberi judul postingan Perda-Perda 
Diskriminatif ini juga sebuah pikiran yang picik. Menolak tanpa solusi, ketika 
orang memberi solusi atas semua masalah yang meresahkan orang banyak, tapi  
kemudian ia marah atau tak setuju. Hanya karena dia tak setuju syariat ISlam 
atau karena alergi.
   
   Seperti orang yang menolak RUU APP tapi tak memberi solusi terhadap maraknya 
pornografi dan pornoaksi. Sedihnya kebanyakan pihak yang menolak APP malah ikut 
dalam makin memarakkan pornografi dan pornografi. 
   
  We need solution..... bila sistem dan orang-orang pelaksananya tak 
mengakomodasi maka perlu ada perubahan total.
   
  Maka alangkah baiknya diskusi ini diarahkan mencari solusi itu. BUkan saling 
berdebat dan menjatuhkan.. kalau saya akan selalu memberi solusi sesuai syariat 
ISlam.. silahkan rekan-rekan yang ada di milis ini, jika ada yang menolaknya  
beri saya alasan yang kuat kenapa misalnya teman-teman di milis ini menolak 
pendapat saya. Tapi plis bukan karena alergi syariat ISlam tetapi lihatlah 
obyektifitas syariat dalam memecahkan solusi. 
   
  salam berdiskusi
   
  aris
  
A Nizami <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Kan saya sudah tulis bahwa pelacur baik laki-laki mau
pun wanita harus dihukum. Makanya baca yang teliti
jangan pakai emosi.....

Dalam Islam pezinah laki-laki dan wanita itu dihukum
semua.

Jangan sampai protes-protes eh malah hukuman buat
pelacur dihilangkan. Perjuangankan hukuman pelacur
baik bagi lelaki mau pun perempuan.

--- Lina Dahlan 
wrote:

> Untuk menyatukan pendapat Mas Nizami dan mbak Carla,
> mari mbak kita 
> perjuangkan perda buat pelacur laki-laki...:-)
> 
> Dunia ini emang dah patriarkhi, mo diapain? Nabi aja
> semua laki2, 
> apa kita pere mo protes? Adam aja diciptain
> duluan...apa kita mo 
> protes? 
> 
> salam,
> 
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, carla annamarie
> kneefel 
> wrote:
> >
> > pak Nizami,
> > 
> > bagaimana dgn laki2 yg berpakaian ala gigolo,
> pake kaos ketat, 
> celana panjang ketat or celana boxer...or maybe
> laki2 cuman pake 
> handuk doang..klo dlihat dr generalisasi pasal2
> perda tsbt..boleh 
> dunk laki2 itu di asumsikan sbg pelacur...
> > 
> > pelacur bukan cuman perempuan aja..pak..laki2
> juga banyak..., 
> tapi knp yg kena tangkap, di undang-undangin cuma
> perempuan aja..., 
> malah sekarang pelacur laki2 gak kalah jumlahnya
> drpd perempuan....
> > 
> > pelacuran itu sama tuanya dgn peradaban manusia,
> baik laki2 
> maupun perempuan merupakan komoditi..., ada
> permintaan makanya ada 
> penjualan..., mestinya pelaku2 pelacuran tersebut di
> berikan 
> edukasi, and bimbingan spritual, apakah dgn
> diberlakukan perda akan 
> menghambat atau mematikan arus perdagangan seks
> tsbt...
> > contoh aja iran..banyak praktek pelacuran
> terselubung, and lihat 
> aja perilaku seks orang2 arab yg pusing nahan
> nafsunya di negnya 
> malah hijrah ke indo utk pelampiasan nafsu
> bejatnya...
> > 
> > ditambah lagi dengan adanya diskriminasi gender
> menunjukkan 
> penggagas atau konseptor perda2 tsbt tidak peka dan
> bodoh secara 
> hukum, sehingga melahirkan perda2 yang memiskinkan
> harkat n martabat 
> perempuan.., perda2 tesebut adalah legitimasi
> patriarkhi dan 
> kepentingan politik kelompok tertentu.
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > Free Thinker wrote:
> > Tidak ada peraturan di Indonesia yang
> mendukung 
> pelacuran. Indonesia bukan Belanda yang melegalkan
> pelacuran.
> > Tapi kalau ada peraturan yang bersikap
> diskriminatif terhadap 
> perempuan dan memberi peluang bagi aparat yang tak
> becus menuduh 
> perempuan yang bekerja malam sebagai pelacur, tentu
> saja harus 
> ditinjau ulang. 
> > 
> > Anda jangan menyesatkan: "Menentang perda =
> mendukung pelacuran", 
> padahal bukan begitu esensinya. Kesimpulan Anda
> dungu. 
> > 
> > Itu kan sama saja dalil Anda (dan banyak orang
> yang tak mengerti 
> esensi perundangan) menuduh orang yang "Menolak RUU
> APP = mendukung 
> pornografi", padahal jelas bukan begitu maksudnya.
> Ini juga 
> kesimpulan yang tak kalah dungunya. 
> > 
> > Hapuskan Perda2 diskriminatif, karena perempuan
> dan laki-laki sama 
> hak dan kedudukannya di mata hukum.
> > 
> > A Nizami wrote:
> > Saya menyayangkan jika ada orang yang berusaha
> > menghalang-halangi kebenaran dan mendukung
> kesesatan,
> > kemaksiatan, atau kejahatan seperti
> > pelacuran/perzinahan.
> > 
> > "Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia)
> dari
> > jalan Allah, Allah menyesatkan perbuatan-perbuatan
> > mereka.
> > Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta
> beriman
> > kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan
> itulah
> > yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan
> > kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan
> > mereka.
> > Yang demikian adalah karena sesungguhnya
> orang-orang
> > kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya
> > orang-orang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan
> > mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia
> > perbandingan-perbandingan bagi mereka."
> [Muhammad:1-3]
> > 
> > Jika ada aturan yang kurang sempurna misalnya
> > pelarangan pelacuran hanya menunjuk pada pelaku
> wanita
> > saja, seharusnya diperbaiki dengan melarang
> pelacuran
> > dilakukan oleh siapa pun baik pria atau wanita.
> Bukan
> > justru mendukung pelacuran itu sendiri. Dalam
> Islam
> > pelacuran baik oleh wanita mau pun pria itu
> dilarang.
> > 
> > Realita juga menunjukkan pelacuran itu merupakan
> satu
> > bentuk perselingkuhan, penyebaran penyakit kelamin
> > seperti herpes, AIDS, rajasinga, dsb serta
> menimbulkan
> > lahirnya anak di luar nikah yang sering diikuti
> dengan
> > pengguguran atau aborsi.
> > 
> > Oleh karena itu gerakan mendukung pelacuran atau
> > menentang pelaksanaan syariah Islam di mana
> mayoritas
> > wakil rakyat telah menyetujui adalah satu bentuk
> > tirani minoritas yang tidak demokratis.
> > 
> > --- "Amir S. Dewana" 
> > wrote:
> > 
> > > 
> > > ----- Original Message ----- 
> > > From: R. Husna Mulya 
> > > To: [EMAIL PROTECTED] 
> > > Sent: Monday, August 14, 2006 10:02 PM
> > > Subject: [hrwg] *Perda2 Diskriminatif, Tulisan
> 2*
> > > (sebarluaskan)
> > > 
> > > 
> > > Kebijakan Daerah Diskriminatif
> > > (Suatu Langkah Mundur dalam Upaya Perlindungan
> > > Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia)
> > > 
> > > 
> > > Pengantar
> > > 
> > > Fenomena maraknya penerapan berbagai kebijakan
> > > daerah yang meresahkan masyarakat karena
> mengandung
> > > rumusan yang diskriminatif dan berpotensi pada
> > > munculnya ketidak pastian hukum, setidaknya
> dapat
> > > menjadi gambaran akan adanya ancaman serius
> terhadap
> > > integritas hukum nasional. Pasca penerapan
> otonomi
> > > daerah, otoritas derah mengalami euphoria untuk
> > > dapat mengelola pemerintahan daerahnya sesuai
> dengan
> > > ciri khas kedaerahan dan kondisi wilayahnya
> > > masing-masing, setelah sekian puluh tahun
> terikat
> > > pada sistem pemerintahan yang terpusat
> > > (sentralistik). Sayangnya, semangat yang
> > > sesungguhnya positif menjadi berbeda dalam
> tataran
> > > pelaksanaannya karena adanya
> kepentingan-kepentingan
> > > politik kelompok tertentu ataupun individual
> yang
> > > memanfaatkan momentum ini demi kepentingan diri
> > > ataupun kelompoknya.
> > > 
> > > Munculnya berbagai kebijakan daerah yang
> mengatur
> > > cara berpakaian sesuai dengan aturan kelompok
> > > tertentu misalnya; merupakan suatu bentuk
> > > pelanggaran atas hak seseorang untuk mempunyai
> > > pemikiran berdasarkan nilai-nilai yang mereka
> anut,
> > > dan mengekpresikannya lewat cara berpakaian.
> Dalam
> > > hal ini, kebijakan tentang cara berpakaian tidak
> > > menghargai keaneka aragaman budaya dan
> nilai-nilai
> > > yang dianut masyarakat Indonesia. Tidak sedikit
> pula
> > > kebijakan daerah yang masih diskriminatif
> terhadap
> > > perempuan, misalnya kebijakan yang melarang
> > > perempuan untuk keluar malam (pada jam-jam
> tertentu)
> > > (Perda Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan
> > > Maksiat) , atau yang melekatkan perempuan pada
> > > status tertentu sebagai pelanggar suatu bentuk
> > > pidana. Misalnya pelacur adalah berjenis kelamin
> > > perempuan, sebagaimana yang tertera dalam Perda
> > > Indramayu No. 7 /1999 tentang Prostitusi "
> Pelacuran
> > > adalah suatu perbuatan dimana seorang perempuan
> > > menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin
> dengan
> > > lawan jenisnya dan menerima pembayaran baik
> berupa
> > > uang maupun bentuk lain". 
> > > 
> > > Rumusan Kebijakan Daerah yang Bertentangan
> dengan
> > > Prinsip-Prinsip Hukum Umum
> > > 
> > > Berdasarkan analisis terhadap 17 (tujuh belas)
> > > kebijakan daerah, berikut ini adalah
> bentuk-bentuk
> > > pelanggaran atas prinsip-prinsip hukum umum yang
> > > dilanggar dalam beberapa Kebijakan Daerah :
> > > 
> > > 1. Azas Praduga Tak Bersalah (Presumption of
> > > Innocence)/ Obyektifitas Hukum;
> > > Azas ini merupakan azas universal dalam proses
> > > penegakan hukum. Bahwa tidak ada seorang pun
> dapat
> > > dinyatakan bersalah (melanggar suatu aturan
> hukum)
> > > sebelum dibuktikan di hadapan pengadilan yang
> > > berwenang. Azas ini juga menjadi dasar dalam
> > > perumusan suatu delik, bahwa dalam merumuskan
> suatu
> > > perbuatan yang akan dikualifikasi sebagai suatu
> > > tindak pelanggaran hukum (pidana), rumusan
> tersebut
> > > harus jelas dapat menunjukkan antara lain
> adanya;
> > > (i) kesengajaan/opzet; atau (ii)dengan
> > > maksud/oogmerk; atau (iii) kelalaian/culpa dan
> atau
> > > menunjukkan adanya sifat (i)melawan hukum; (ii)
> > > tanpa memiliki kewenangan untuk itu; (iii) tanpa
> > > ijin; dan (iv) dengan melampauai batas
> > > kewenangan.[1] 
> > > 
> > > Pelanggaran atas prinsip tersebut baik dalam
> rumusan
> > > peraturan maupun dalam penegakan hukum acaranya
> > > berpotensi menimbulkan ketidak pastian hukum,
> karena
> > > ketiadaan acuan obyektif dalam penegakannya.
> Pada
> > > beberapa kebijakan daerah, telah teridentifikasi
> > > adanya pelanggaran terhadap prinsip ini baik
> dalam
> > > rumusan maupun dalam tataran penegakannya
> sebagai
> > > contoh adalah rumusan delik berikut :
> > > 
> > > " Setiap orang yang sikap atau perilakunya
> > > mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan
> > > bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di
> > > jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah
> > > penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
> > > penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat
> > > hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut
> > > jalan atau di lorong-lorong jalan atau
> tempat-tempat
> > > lain di daerah "
> > > (Ps. 4, Perda Tangerang No.
> > > 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran)
> > > 
> > > Pertanyaan yang patut diajukan dalam
> > > rumusan ini adalah : Sikap, atau perilaku yang
> > > seperti apa yang dapat, atau sepatutnya dapat
> > > menimbulkan suatu anggapan bahwa seseorang itu
> > > pelacur, dalam rumusan delik ini ?. Jawabannya
> tidak
> > > jelas, karena rumusan tersebut tidak menguraikan
> > > sikap tindak yang dapat dianggap sebagai
> perbuatan
> > > pelacur dimaksud. 
> > > 
> > > Dengan demikian, peraturan ini tidak memberikan
> > > acuan yang jelas tentang perbuatan apa yang
> dapat
> > > dikualifikasi sebagai perbuatan pelacur. Dalam
> > > penegakannya, ketiadaan acuan akan memicu sikap
> > > subyektif dari aparat penegak hukum yang pada
> > > akhirnya dapat berakibat kesalahan dalam proses
> > > penegakan. Contoh yang paling mutakhir adalah
> kasus
> > > salah tangkap yang terjadi pada beberapa orang
> > > perempuan di Kabupaten Tangerang, pada saat
> aparat
> > > melakukan razia dalam rangka pelaksanaan Perda
> > > Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan
> > > Pelacuran. Dalam hal ini fakta telah menunjukkan
> > > potensi pelanggaran atas asas praduga tak
> bersalah
> > > yang diakibatkan rumusan perda yang tidak
> memenuhi
> > > prinsip-prinsip hukum umum.
> > > 
> > > Rumusan serupa dengan Perda Tangerang No. 8
> Tahun
> > > 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, terdapat pada
> > > beberapa perda berikut :
> > > 
> > > Ù "Siapapun yang kelakuannya/tingkah lakunya
> > > dapat menimbulkan dugaan bahwa ia pelacur
> dilarang
> > > ada di jalan-jalan umum, lapangan-lapangan,
> dirumah
> > > penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
> penduduk,
> > > kontrakan, warung-warung minum, tempat hiburan,
> > > digedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan
> atau
> > > lorong-lorong, berhenti, atau berjalan kaki
> > > berkendaraan bergerakkian kemari "(Ps. 6
> Peraturan
> > > Daerah Kabupaten Indramayu No. 4 Tahun 2001
> tentang
> > > Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten
> Daerah
> > > Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang
> > > Prostitusi)
> > > 
> > > Ù "Siapapun yang karena tingkah lakunya
> > > menimbulkan anggapan bahwa ia itu pelacur, tidak
> > > diperbolehkan berhenti atau mondar-mandir, baik
> > > mempergunakan kendaraan umum maupun tidak,
> dimuka
> > > atau didekat rumah penginapan, pesanggrahan,
> rumah
> > > makan, asrama...dan tempat-tempat umum lainnya"
> > > (Rancangan Peraturan Daerah Kota Mataram
> > > Nomor.Tahun. tentang Pencegahan Maksiat)
> > > 
> > > Ù "Setiap orang ..dilarang:
> > > a. melakukan segala sesuatu yang
> > > mengarah para perbuatan maksiat.
> > > b. Melakukan perbuatan yang dapat
> > > merangsang orang lain ikut serta dalam perbuatan
> > > maksiat " (Peraturan daerah Propinsi Sumatra
> Selatan
> > > Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
> Maksiat di
> > > Propinsi Sumatra Selatan).
> > > 
> > > 2. Suatu aturan hukum haruslah mengemban
> > > amanat "kedudukan yang sama dalam hukum"
> (equality
> > > before the law) hal ini tidak hanya sekedar
> berlaku
> > > pada saat proses penegakan hukum melainkan juga
> > > dalam setiap rumusan peraturan, sehingga dapat
> > > dihindarkan timbulnya perilaku yang
> diskriminatif 
> > > dalam bentuk pembedaan apapun seperti warna
> kulit,
> > > jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik
> atau
> > > pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau
> sosial,
> > > kepemilikan, keturunan atau status
> > > lainnya[2].Apabila prinsip ini dilanggar, hukum
> > > tidak akan dapat mencapai cita-citanya untuk
> > > menegakkan keadilan. 
> > > 
> > > Pada beberapa perda terdapat rumusan yang secara
> > > nyata diskriminatif khususnya terhadap perempuan
> > > yang dapat terlihat dalam rumusan beberapa perda
> > > sebagai berikut:
> > > 
> > > Ù "Pelacuran adalah suatu perbuatan
> > > dimana seorang perempuan menyerahkan dirinya
> untuk
> > > berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya dan
> > > menerima bayaran baik berupa uang maupun bentuk
> lain
> > > " (Ps. 6 Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu
> No. 4
> > > Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan
> > > Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu
> Nomor 7
> > > Tahun 1999 tentang Prostitusi)
> > > 
> > > Ù "Setiap perempuan dilarang berjalan
> > > sendirian atau berada di luar rumah tanpa
> ditemani
> > > muhrimnya pada selang waktu pukul 24.00 sampai
> > > dengan pukul 04.00, kecuali dengan alasan yang
> > > dapat dipertanggung jawabkan"(Perda Gorontalo
> Nomor
> > > 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat)
> > > 
> > > Ù "Setiap orang .dilarang :
> > > h. bagi wanita berpakaian minim terbuka pada
> bagian
> > > tubuh mulai dari dada sampai lutut dan
> berpakaian
> > > transparan sehingga terlihat jelas bagian-bagian
> > > tubuh dari luar pakaian itu ditempat umum
> (Peraturan
> > > daerah Propinsi Sumatra Selatan Nomor 13 Tahun
> 2002
> > > tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi
> Sumatra
> > > Selatan)
> > > 
> > > Perempuan, dalam contoh perda pertama, perempuan
> > > ditempatkan dalam asumsi negatif sosial budaya
> > > berkaitan dengan seksualitasnya yang selama ini
> > > dipandang sebagai obyek. Sehingga dengan
> mudahnya
> > > perda ini melekatkan identitas pelacur dengan
> jenis
> > > kelamin perempuan. Dalam contoh perda yang
> kedua,
> > > perempuan berada dalam suatu bentuk diskriminasi
> > > berupa pembatasan yang berhubungan dengan hak
> dan
> > > kebebasan perempuan, yang selama ini mewujud
> dalam
> > > berbagai tindakan seperti pembatasan jam kerja,
> > > pembatasan mobilitas, pembatasan cara berpakaian
> dan
> > > penampilan penempatan kerja atau pemindahan
> kerja
> > > yang dikaitkan dengan ijin suami atau wali[3],
> dll.
> > > 
> > > Pembiaran atas keberadaan kebijakan-kebijakan
> daerah
> > > yang diskriminatif terhadap perempuan ini,
> > > berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap
> > > perempuan yang selama ini terjadi dan tengah
> > > diperjuangkan untuk dihapuskan keberadaannya.
> > > Kondisi ini berarti juga suatu pelanggaran
> terhadap
> > > keberlakuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
> tentang
> > > Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
> > > Perempuan (CEDAW).
> > > 
> > > Selain diskriminasi terhadap perempuan, beberapa
> > > perda juga menunjukkan sikap diskriminatif
> terhadap
> > > kelompok preferensi seksual (homoseksual,
> lesbian,
> > > gay) dengan menempatkan kelompok tersebut
> sebagai
> > > suatu bentuk pelanggaran hukum, tanpa dasar
> > > kualifikasi pemidanaan. Dengan kata lain
> preferensi
> > > seksual tersebut sudah dianggap sebagai suatu
> > > pelanggaran hukum tanpa adanya perbuatan nyata
> > > sebagai pelanggaran hukum yang mendasarinya,
> dengan
> > > contoh berikut :
> > > 
> > > Ù "Termasuk dalam perbuatan
> > > pelacuran adalah :
> > > a. homoseks
> > > b. lesbian..."
> > > (Perda Kota Palembang No. 2
> > > Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran)
> > > 
> > > Ù "Setiap orang atau badan dilarang
> > > membentuk dan atau mengadakan perkumpulan yang
> > > mengarah kepada perbuatan asusial dan secara
> > > normatif tidak bisa diterima oleh budaya
> masyarakat.
> > > Penjelasan : Perkumpulan dimaksud dalam ayat ini
> > > misalnya perkumpulan atau organisasi kaum
> lesbian,
> > > homoseks (gay) dan sejenisnya"
> > > (Perda kota Batam no. 6 Tahun 2002 tentang
> > > Ketertiban Sosial di Kota Batam)
> > > 
> > > Ù "Termasuk perbuatan maksiat,
> > > segala perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi
> > > kehidupan bermasyarakat... Seperti :
> > > c. homoseks
> > > d. lesbian....
> > > (Perda Propinsi Sumatra Selatan No. 13 Tahun
> 2002
> > > tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi
> Sumatara
> > > Selatan)
> > > 
> > > Persoalan di seputar keberadaan kelompok
> homoseks
> > > dan sejenisnya ini memang masih menjadi masalah
> yang
> > > kontroversial tidak hanya di Indonesia namun
> juga di
> > > berbagai banyak negara lain. Namun dalam
> memandang
> > > preferensi seksual kaitannya dengan penegakan
> > > keamanan dan ketertiban, harus dipertimbangkan
> > > secara sungguh-sungguh apakah pilihan
> seksualitas
> > > seseorang cukup membuatnya dikatakan sebagai
> > > pelanggar aturan (pembuat onar, pembuat suasana
> > > tidak tertib) ataukan sebenarnya
> perbuatan-perbuatan
> > > yang mewujud sebagai perbuatan homoseksual yang
> > > dilakukan secara melawan hukumlah (dengan
> kekerasan,
> > > dengan orang dibawah umur, di hadapan umum,
> sebagai
> > > mata pencaharian/prostitusi) yang pantas
> dihukum.
> > > 
> > > Mengingat tujuan hukum bukan hanya sekedar
> keamanan
> > > dan ketertiban melainkan juga keadilan, ada
> baiknya
> > > menyimak pendapat seorang ahli hukum Jeshneck "
> > > tidak semua yang dilakukan dengan maksud-tujuan
> > > jelas, pasti memenuhi rasa keadilan" [4]. Jangan
> > > sampai kita berada dalam kondisi "more laws but
> less
> > > justice". Semakin banyak hukum tetapi semakin
> > > berkurang keadilan.
> > > 
> > > Bila mencermati rumusan pasal-pasal dalam
> beberapa
> > > perda sebagai contoh di atas, perda tersebut
> dibuat
> > > dengan maksud sebagai norma atau kaidah perintah
> dan
> > > larangan yang disertai sanksi. Dengan demikian
> dapat
> > > disimpulkan berdasarkan teori imperatif dalam
> > > dogmatika hukum pidana, perda tersebut berlaku
> > > sebagai hukum pidana yang berlaku secara lokal. 
> > > 
> > > Namun demikian, dalam pembentukan suatu hukum
> > > pidana, selain pemenuhan prinsip-prinsip hukum
> umum,
> > > ada begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan
> > > oleh penguasa sebagai pembentuk hukum, apa yang
> > > harus dipertimbangkan dalam penerapan suatu
> kaidah
> > > hukum pidana. Antara lain pernyataan Merkel,
> seorang
> > > yuris Jerman (abad ke 19), mengatakan bahwa
> "tempat
> > > hukum pidana adalah selalu subsider terhadap
> upaya
> > > hukum lain. Pidana adalah dan akan tetap harus
> > > dipandang sebagai ultimum remedium. 
> > > 
> > > Pidana berlaku bagi ketidakadilan yang terjadi
> yang
> > > tidak lagi dapat ditanggulangi secara memadai
> oleh
> > > sarana-sarana (hukum) lain. Penguasa harus sadar
> dan
> > > waspada bahwa hukum pidana hanya dapat
> didayagunakan
> > > apabila sarana yang ada tidak lebih buruk
> > > dibandingkan dengan penyimpangan perilaku yang
> > > hendak ditanggulanginya[5]. Apalah artinya upaya
> > > untuk menghalangi suatu pelanggaran hukum bila
> upaya
> > > itu sendiri adalah suatu bentuk pelanggaran
> hukum.
> > > Hal ini mengingat, bahwa perbuatan yang
> > > dikategorikan sebagai kejahatan (tindak pidana)
> > > diberi reaksi pengenaan secara sengaja tindakan
> > > (balasan) yang dimaksudkan sebagai penjatuhan
> derita
> > > (terhadap pelaku) sekalipun (hal itu merupakan
> > > konsekuensi dari apa yang disebut
> sebelumnya)[6].
> > > Tindakan balasan oleh penguasa daerah dalam
> > > perda-perda mewujud dalam sanksi yaitu hukuman
> > > kurungan maksimal enam bulan hingga denda

=== message truncated ===


The great job makes a great man
  pustaka tani 
  nuraulia

                
---------------------------------
How low will we go? Check out Yahoo! Messenger’s low  PC-to-Phone call rates.

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke