halo kang akmal,

wah, edun, dipantau di mana mana :D  udah ada nomernya kang sigit ?
ttg buku, tambahan sampean membuat saya tertarik, banget !  mau minjemin ke 
saya, bukunya ? sapa tahu bisa janjian di mana gitu.   huahaha, rumah aresto di 
depok, lumayan juga kalau harus njemput buku ke sana.  :D

salam,
Ari Condro

  ----- Original Message ----- 
  From: Akmal N. Basral 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Friday, April 20, 2007 2:51 PM
  Subject: [ppiindia] Re: tribalisme kesukukuan, tribalisme agama dan 
tribalisme sepakbola



  arcon,
  sebaiknya baca dulu buku franklin foer itu. 
  apa yang disebutkan aresto itu benar. semua grand theory tentang
  primordialisme, tribalisme, dan significant others, digambarkan dengan
  jelas oleh foer lewat narasi memikat yang mampu menukik ke belakang
  apa yang terlihat.

  karya foer ini adalah idealisasi dari kemampuan yang sejak lama
  diimpikan para sosiolog: debunking. seperti clark kent, eh, superman,
  yang melihat bukan pada isi lemari, tapi pada apa yang ada di belakang
  lemari. risetnya dahsyat.

  soal keindahan mutu jurnalisme sastrawi pada karya foer ini bisa juga
  dijelaskan pada fenomena unik ini: adik franklin, jonathan safran
  foer, adalah salah seorang sastrawan muda amerika paling banyak
  dibicarakan saat ini, terutama dua novelnya "everything's illuminated
  (2003)" (sudah difilmkan dengan elijah wood sebagai bintangnya), dan
  "extremely loud, incredibly close" (2005) yang teknik berceritanya
  saya adopsi pada salah satu cerpen saya dalam antologi "ada seseorang
  di kepalaku yang bukan aku (2006)".

  dugaan saya, jika franklin menulis prosa seperti adiknya, kualitas
  mereka sedikitnya setara.

  salam,

  ~a~

  --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ari Condrowahono" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  >
  > teman teman, 
  > 
  > sepak bola ini bukan lah anti thesis terhadap lenyapnya
  nasionalisme, namun justru fenomena pelengkap, tribalisme kesukuan
  atau tribalisme religion, justru sudah bergeser. lebih soft, energi
  itu dibuat tidak lagi merusak, tidak lagi merasa paling digjaya.
  sekarang adalah jamannya tribalisme sepak bola. sentimen sentimen itu
  diekspresikan dalam bentuk dukungan thd tim sepak bola kesayangannya.
  > 
  > ===
  > 
  >
  http://aresto.wordpress.com/2007/04/17/ketika-sepakbola-menjelaskan-dunia/
  > 
  > Ketika Sepakbola Menjelaskan Dunia
  > 
  > Buku sepakbola yang bukan tentang sepakbola. Di dalamnya kita akan
  menjumpai deskripsi dari hal-hal terintim dalam sepakbola: bangku
  stadion Maracana, profil komandan hooligan Chelsea, ruang ganti DC
  United, sampai obrolan di klub eksekutif penggemar Inter beraliran
  kiri. Tapi, kita tidak akan menemukan pembahasan tentang permainan
  sepakbola itu sendiri. Buku ini juga tidak ditulis oleh pelaku
  sepakbola, tapi justru oleh seorang jurnalis politik Amerika yang
  melukiskan dirinya sebagai " ..karena tidak akan pernah jago bermain
  bola, saya bisa melakukan hal terbaik berikutnya: memahami sepakbola
  sedalam-dalamnya laiknya seorang maniak". Franklin Foer, editor
  majalah politik nomor wahid New Republic, menggunakan olahraga yang
  dicintainya untuk mengupas globalisasi, bidang yang dikuasainya. 
  > 
  > 
  > Sebagai penggemar bola, Foer paham betul akrabnya sepakbola dengan
  globalisasi. Tak percaya? Lihat saja Manchester United. Klub
  terpopuler ini dimiliki pemodal Amerika, punya manajer bergelar Sir,
  dipenuhi pemain top yang sangat kosmopolit, sampai digunakan namanya
  oleh sebuah kafe di jalan Thamrin. Tak heran kalau Foer memutuskan
  untuk mengambil cuti delapan bulan untuk mengunjungi lokus sepakbola
  di penjuru dunia. Harapannya, ia ingin menunjukkan bahwa globalisasi
  bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana, menontonnya "dimainkan"
  (atau "bermain"?) di ranah sepakbola. Hasilnya, sebuah buku yang
  membawa kita melihat sisi-sisi sepakbola yang bukan cuma statistik
  pertandingan atau model hot pacar pemain anu seperti yang biasa kita
  baca di lembar olahraga.
  > 
  > 
  > Oh ya, walaupun berusaha menjawab perdebatan mengenai gagalnya janji
  kemakmuran globalisasi:mengapa negara tetap miskin?apakah korporasi2
  multinasional adalah penjahat?, Foer tidak memakai pendekatan ekonomi
  dan lebih memilih perspektif kultural. Dalam hal ini kultur sepakbola
  yang dhidupkan oleh para pelakunya.
  > 
  > 
  > Ternyata yang ditemukan Foer tak sesederhana yang dibayangkannya.
  Pernyataan bahwa globalisasi meruntuhkan identitas negara bangsa
  justru menemukan antitesa ketika Foer melihat fenomena suporter Red
  Star Belgrade di Serbia. Klub-klub suporter yang militan berhasil
  diorganisir dengan nasionalisme yang begitu kental menjadi sumber
  rekrutmen paramiliter untuk Perang Balkan. Dari klub suporter inilah
  paramiliter Tigers yang keganasannya luar biasa dalam membunuhi warga
  Muslim Bosnia berasal. Di bawah pimpinan gangster legendaris Arkan,
  klub ini menjelma menjadi organisasi bayangan yang tidak tersentuh
  selama Perang Balkan. Bahkan, sampai saat inipun nama Arkan masih
  dianggap dewa oleh orang-orang Serbia. Lebih jauh Foer melihat bahwa
  ternyata budaya global tidak menyapu bersih pranata lokal. Melihat
  fanatisme bonek Rangers dan Celtics di Glasgow, Foer melihat bagaimana
  orang justru kembali ke identitas lama mereka yaitu agama dan
  menunjukkan ekspresi2 tribalisme yang primitif dan bisa dibilang
  ganas. Jika sepakbola dilihat sebagai suatu perwujudan praktis dari
  gagasan yang abstrak, Foer berani menyatakan bahwa globalisasi gagal
  mengikis kebencian-kebencian yang berasal dari identitas kuno.
  > 
  > 
  > Di bagian kedua bukunya, Foer menelisik lebih jauh ke masalah
  ekonomi. Untuk memperlihatkan dampak derasnya arus migrasi dari negara
  ke dunia ketiga ke Eropa, Foer dengan cerdas mengajak kita menengok
  kehidupan seorang striker Nigeria di sebuah kota kecil di Ukraina.
  Dengan penggalan cerita itu, kita diajak menyelami banyak hal mulai
  dari motif migrasi, kesulitan beradaptasi seorang imigran, sampai
  kekhawatiran tenaga kerja lokal. Masalah selanjutnya adalah
  globalisasi yang ternyata tidak berhasil mengikis korupsi lokal yang
  telah berakar sebagaimana yang terjadi di dunia sepakbola Brasil. Dana
  investor asing yang mengalir masuk untuk sepakbola cuma dinikmati
  segelintir orang, sehingga pada gilirannya investor asing perlahan
  hengkang karena tidak tahan dengan ekonomi biaya tinggi yang tidak
  kompatibel dengan kapitalisme (jadi inget negara mana gitu.).
  > 
  > 
  > Pada penggal terakhir bukunya, Foer beralih menjadi seorang optimis
  yang menawarkan prediksi cerah. Setelah menikmati pengalaman menonton
  Barca di Nou Camp, Foer mengatakan bahwa berbeda dengan gambaran suram
  yang dia temui di Serbia dan Inggris daratan, Barca membuktikan bahwa
  seseorang bisa mencintai sebuah klub atau negara tanpa harus berubah
  menjadi begundal atau teroris. Menjadi nasionalis tanpa terjerumus ke
  ranah perilaku manusia yang kelam. Mencintai identitas Anda tanpa
  hasrat untuk mendominasi kelompok-kelompok masyarakat lain atau
  menutup diri dari pengaruh asing. Kemudian, seperti tak bisa
  mneghindar bahwa Islam akan menjadi pemain penting di masa depan, Foer
  mengangkat sebuah episode ketika ribuan perempuan Iran yang dilarang
  menonton bola di stadion nekat berdemo di depan stadion Azadi yang
  sedang merayakan pesta penyambutan timnas Iran yang untuk pertama
  kalinya lolos kualifikasi Piala Dunia. Peristiwa yang disebut Foer
  "revolusi bola" ini menurut Foer menjadi pertanda bangkitnya
  nasionalisme baru di dunia Islam, nasionalisme yang cenderung sekuler
  dan pada perkembangannya akan menentang negara. Sesuatu yang dinilai
  "cukup" oleh Foer yang Barat. 
  > 
  > 
  > Salah satu buku terbagus yang pernah gue baca. Mungkin karena Foer
  dengan jurnalisme sastrawinya yang kampiun sukses berbagi kecintaannya
  pada sepakbola. Penggemar bola atau pengamat sospol sama-sama dapat
  merasakan gelora hasrat Foer pada olahraga ini, sambil belajar mencoba
  sedikit lebih memahami dunia yang kompleks ini.
  > 
  > [Non-text portions of this message have been removed]
  >



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke