kang sigit sekarang nginep di rumah eka kurniawan-ratih kumala.
birds of a feather flocks together, kan? :-)
lah, bukannya lebih cepet mampir ke inibuku.com aja?
buku dikirim, diskon 15%, bayar setelah diterima lagi.

hareee geneee minjemmm.... hehehe...
bantulah para penerbit indonesia (edisi indonesia buku franklin foer
itu diterbitkan marjin kiri).

salam,

~a~

--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ari Condrowahono" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> halo kang akmal,
> 
> wah, edun, dipantau di mana mana :D  udah ada nomernya kang sigit ?
> ttg buku, tambahan sampean membuat saya tertarik, banget !  mau
minjemin ke saya, bukunya ? sapa tahu bisa janjian di mana gitu.  
huahaha, rumah aresto di depok, lumayan juga kalau harus njemput buku
ke sana.  :D
> 
> salam,
> Ari Condro
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: Akmal N. Basral 
>   To: ppiindia@yahoogroups.com 
>   Sent: Friday, April 20, 2007 2:51 PM
>   Subject: [ppiindia] Re: tribalisme kesukukuan, tribalisme agama
dan tribalisme sepakbola
> 
> 
> 
>   arcon,
>   sebaiknya baca dulu buku franklin foer itu. 
>   apa yang disebutkan aresto itu benar. semua grand theory tentang
>   primordialisme, tribalisme, dan significant others, digambarkan dengan
>   jelas oleh foer lewat narasi memikat yang mampu menukik ke belakang
>   apa yang terlihat.
> 
>   karya foer ini adalah idealisasi dari kemampuan yang sejak lama
>   diimpikan para sosiolog: debunking. seperti clark kent, eh, superman,
>   yang melihat bukan pada isi lemari, tapi pada apa yang ada di belakang
>   lemari. risetnya dahsyat.
> 
>   soal keindahan mutu jurnalisme sastrawi pada karya foer ini bisa juga
>   dijelaskan pada fenomena unik ini: adik franklin, jonathan safran
>   foer, adalah salah seorang sastrawan muda amerika paling banyak
>   dibicarakan saat ini, terutama dua novelnya "everything's illuminated
>   (2003)" (sudah difilmkan dengan elijah wood sebagai bintangnya), dan
>   "extremely loud, incredibly close" (2005) yang teknik berceritanya
>   saya adopsi pada salah satu cerpen saya dalam antologi "ada seseorang
>   di kepalaku yang bukan aku (2006)".
> 
>   dugaan saya, jika franklin menulis prosa seperti adiknya, kualitas
>   mereka sedikitnya setara.
> 
>   salam,
> 
>   ~a~
> 
>   --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ari Condrowahono" <masarcon@> wrote:
>   >
>   > teman teman, 
>   > 
>   > sepak bola ini bukan lah anti thesis terhadap lenyapnya
>   nasionalisme, namun justru fenomena pelengkap, tribalisme kesukuan
>   atau tribalisme religion, justru sudah bergeser. lebih soft, energi
>   itu dibuat tidak lagi merusak, tidak lagi merasa paling digjaya.
>   sekarang adalah jamannya tribalisme sepak bola. sentimen sentimen itu
>   diekspresikan dalam bentuk dukungan thd tim sepak bola kesayangannya.
>   > 
>   > ===
>   > 
>   >
>  
http://aresto.wordpress.com/2007/04/17/ketika-sepakbola-menjelaskan-dunia/
>   > 
>   > Ketika Sepakbola Menjelaskan Dunia
>   > 
>   > Buku sepakbola yang bukan tentang sepakbola. Di dalamnya kita akan
>   menjumpai deskripsi dari hal-hal terintim dalam sepakbola: bangku
>   stadion Maracana, profil komandan hooligan Chelsea, ruang ganti DC
>   United, sampai obrolan di klub eksekutif penggemar Inter beraliran
>   kiri. Tapi, kita tidak akan menemukan pembahasan tentang permainan
>   sepakbola itu sendiri. Buku ini juga tidak ditulis oleh pelaku
>   sepakbola, tapi justru oleh seorang jurnalis politik Amerika yang
>   melukiskan dirinya sebagai " ..karena tidak akan pernah jago bermain
>   bola, saya bisa melakukan hal terbaik berikutnya: memahami sepakbola
>   sedalam-dalamnya laiknya seorang maniak". Franklin Foer, editor
>   majalah politik nomor wahid New Republic, menggunakan olahraga yang
>   dicintainya untuk mengupas globalisasi, bidang yang dikuasainya. 
>   > 
>   > 
>   > Sebagai penggemar bola, Foer paham betul akrabnya sepakbola dengan
>   globalisasi. Tak percaya? Lihat saja Manchester United. Klub
>   terpopuler ini dimiliki pemodal Amerika, punya manajer bergelar Sir,
>   dipenuhi pemain top yang sangat kosmopolit, sampai digunakan namanya
>   oleh sebuah kafe di jalan Thamrin. Tak heran kalau Foer memutuskan
>   untuk mengambil cuti delapan bulan untuk mengunjungi lokus sepakbola
>   di penjuru dunia. Harapannya, ia ingin menunjukkan bahwa globalisasi
>   bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana, menontonnya "dimainkan"
>   (atau "bermain"?) di ranah sepakbola. Hasilnya, sebuah buku yang
>   membawa kita melihat sisi-sisi sepakbola yang bukan cuma statistik
>   pertandingan atau model hot pacar pemain anu seperti yang biasa kita
>   baca di lembar olahraga.
>   > 
>   > 
>   > Oh ya, walaupun berusaha menjawab perdebatan mengenai gagalnya janji
>   kemakmuran globalisasi:mengapa negara tetap miskin?apakah korporasi2
>   multinasional adalah penjahat?, Foer tidak memakai pendekatan ekonomi
>   dan lebih memilih perspektif kultural. Dalam hal ini kultur sepakbola
>   yang dhidupkan oleh para pelakunya.
>   > 
>   > 
>   > Ternyata yang ditemukan Foer tak sesederhana yang dibayangkannya.
>   Pernyataan bahwa globalisasi meruntuhkan identitas negara bangsa
>   justru menemukan antitesa ketika Foer melihat fenomena suporter Red
>   Star Belgrade di Serbia. Klub-klub suporter yang militan berhasil
>   diorganisir dengan nasionalisme yang begitu kental menjadi sumber
>   rekrutmen paramiliter untuk Perang Balkan. Dari klub suporter inilah
>   paramiliter Tigers yang keganasannya luar biasa dalam membunuhi warga
>   Muslim Bosnia berasal. Di bawah pimpinan gangster legendaris Arkan,
>   klub ini menjelma menjadi organisasi bayangan yang tidak tersentuh
>   selama Perang Balkan. Bahkan, sampai saat inipun nama Arkan masih
>   dianggap dewa oleh orang-orang Serbia. Lebih jauh Foer melihat bahwa
>   ternyata budaya global tidak menyapu bersih pranata lokal. Melihat
>   fanatisme bonek Rangers dan Celtics di Glasgow, Foer melihat bagaimana
>   orang justru kembali ke identitas lama mereka yaitu agama dan
>   menunjukkan ekspresi2 tribalisme yang primitif dan bisa dibilang
>   ganas. Jika sepakbola dilihat sebagai suatu perwujudan praktis dari
>   gagasan yang abstrak, Foer berani menyatakan bahwa globalisasi gagal
>   mengikis kebencian-kebencian yang berasal dari identitas kuno.
>   > 
>   > 
>   > Di bagian kedua bukunya, Foer menelisik lebih jauh ke masalah
>   ekonomi. Untuk memperlihatkan dampak derasnya arus migrasi dari negara
>   ke dunia ketiga ke Eropa, Foer dengan cerdas mengajak kita menengok
>   kehidupan seorang striker Nigeria di sebuah kota kecil di Ukraina.
>   Dengan penggalan cerita itu, kita diajak menyelami banyak hal mulai
>   dari motif migrasi, kesulitan beradaptasi seorang imigran, sampai
>   kekhawatiran tenaga kerja lokal. Masalah selanjutnya adalah
>   globalisasi yang ternyata tidak berhasil mengikis korupsi lokal yang
>   telah berakar sebagaimana yang terjadi di dunia sepakbola Brasil. Dana
>   investor asing yang mengalir masuk untuk sepakbola cuma dinikmati
>   segelintir orang, sehingga pada gilirannya investor asing perlahan
>   hengkang karena tidak tahan dengan ekonomi biaya tinggi yang tidak
>   kompatibel dengan kapitalisme (jadi inget negara mana gitu.).
>   > 
>   > 
>   > Pada penggal terakhir bukunya, Foer beralih menjadi seorang optimis
>   yang menawarkan prediksi cerah. Setelah menikmati pengalaman menonton
>   Barca di Nou Camp, Foer mengatakan bahwa berbeda dengan gambaran suram
>   yang dia temui di Serbia dan Inggris daratan, Barca membuktikan bahwa
>   seseorang bisa mencintai sebuah klub atau negara tanpa harus berubah
>   menjadi begundal atau teroris. Menjadi nasionalis tanpa terjerumus ke
>   ranah perilaku manusia yang kelam. Mencintai identitas Anda tanpa
>   hasrat untuk mendominasi kelompok-kelompok masyarakat lain atau
>   menutup diri dari pengaruh asing. Kemudian, seperti tak bisa
>   mneghindar bahwa Islam akan menjadi pemain penting di masa depan, Foer
>   mengangkat sebuah episode ketika ribuan perempuan Iran yang dilarang
>   menonton bola di stadion nekat berdemo di depan stadion Azadi yang
>   sedang merayakan pesta penyambutan timnas Iran yang untuk pertama
>   kalinya lolos kualifikasi Piala Dunia. Peristiwa yang disebut Foer
>   "revolusi bola" ini menurut Foer menjadi pertanda bangkitnya
>   nasionalisme baru di dunia Islam, nasionalisme yang cenderung sekuler
>   dan pada perkembangannya akan menentang negara. Sesuatu yang dinilai
>   "cukup" oleh Foer yang Barat. 
>   > 
>   > 
>   > Salah satu buku terbagus yang pernah gue baca. Mungkin karena Foer
>   dengan jurnalisme sastrawinya yang kampiun sukses berbagi kecintaannya
>   pada sepakbola. Penggemar bola atau pengamat sospol sama-sama dapat
>   merasakan gelora hasrat Foer pada olahraga ini, sambil belajar mencoba
>   sedikit lebih memahami dunia yang kompleks ini.
>   > 
>   > [Non-text portions of this message have been removed]
>   >
> 
> 
> 
>    
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke