arcon,
sebaiknya baca dulu buku franklin foer itu. 
apa yang disebutkan aresto itu benar. semua grand theory tentang
primordialisme, tribalisme, dan significant others, digambarkan dengan
jelas oleh foer lewat narasi memikat yang mampu menukik ke belakang
apa yang terlihat.

karya foer ini adalah idealisasi dari kemampuan yang sejak lama
diimpikan para sosiolog: debunking. seperti clark kent, eh, superman,
yang melihat bukan pada isi lemari, tapi pada apa yang ada di belakang
lemari. risetnya dahsyat.

soal keindahan mutu jurnalisme sastrawi pada karya foer ini bisa juga
dijelaskan pada fenomena unik ini: adik franklin, jonathan safran
foer, adalah salah seorang sastrawan muda amerika paling banyak
dibicarakan saat ini, terutama dua novelnya "everything's illuminated
(2003)"  (sudah difilmkan dengan elijah wood sebagai bintangnya), dan
"extremely loud, incredibly close" (2005) yang teknik berceritanya
saya adopsi pada salah satu cerpen saya dalam antologi "ada seseorang
di kepalaku yang bukan aku (2006)".

dugaan saya, jika franklin menulis prosa seperti adiknya, kualitas
mereka sedikitnya setara.

salam,

~a~

--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ari Condrowahono" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> teman teman, 
> 
> sepak bola ini bukan lah anti thesis terhadap lenyapnya
nasionalisme, namun justru fenomena pelengkap, tribalisme kesukuan
atau tribalisme religion, justru sudah bergeser. lebih soft, energi
itu dibuat tidak lagi merusak, tidak lagi merasa paling digjaya.
sekarang adalah jamannya tribalisme sepak bola. sentimen sentimen itu
diekspresikan dalam bentuk dukungan thd tim sepak bola kesayangannya.
> 
> ===
> 
>
http://aresto.wordpress.com/2007/04/17/ketika-sepakbola-menjelaskan-dunia/
> 
> Ketika Sepakbola Menjelaskan Dunia
> 
> Buku sepakbola yang bukan tentang sepakbola. Di dalamnya kita akan
menjumpai deskripsi dari hal-hal terintim dalam sepakbola: bangku
stadion Maracana, profil komandan hooligan Chelsea, ruang ganti DC
United, sampai obrolan di klub eksekutif penggemar Inter beraliran
kiri. Tapi, kita tidak akan menemukan pembahasan tentang permainan
sepakbola itu sendiri. Buku ini juga tidak ditulis oleh pelaku
sepakbola, tapi justru oleh seorang jurnalis politik Amerika yang
melukiskan dirinya sebagai " ..karena tidak akan pernah jago bermain
bola, saya bisa melakukan hal terbaik berikutnya: memahami sepakbola
sedalam-dalamnya laiknya seorang maniak". Franklin Foer, editor
majalah politik nomor wahid New Republic, menggunakan olahraga yang
dicintainya untuk mengupas globalisasi, bidang yang dikuasainya. 
> 
> 
> Sebagai penggemar bola, Foer paham betul akrabnya sepakbola dengan
globalisasi. Tak percaya? Lihat saja Manchester United. Klub
terpopuler ini dimiliki pemodal Amerika, punya manajer bergelar Sir,
dipenuhi pemain top yang sangat kosmopolit, sampai digunakan namanya
oleh sebuah kafe di jalan Thamrin. Tak heran kalau Foer memutuskan
untuk mengambil cuti delapan bulan untuk mengunjungi lokus sepakbola
di penjuru dunia. Harapannya, ia ingin menunjukkan bahwa globalisasi
bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana, menontonnya "dimainkan"
(atau "bermain"?) di ranah sepakbola. Hasilnya, sebuah buku yang
membawa kita melihat sisi-sisi sepakbola yang bukan cuma statistik
pertandingan atau model hot pacar pemain anu seperti yang biasa kita
baca di lembar olahraga.
> 
> 
> Oh ya, walaupun berusaha menjawab perdebatan mengenai gagalnya janji
kemakmuran globalisasi:mengapa negara tetap miskin?apakah korporasi2
multinasional adalah penjahat?, Foer tidak memakai pendekatan ekonomi
dan lebih memilih perspektif kultural. Dalam hal ini kultur sepakbola
yang dhidupkan oleh para pelakunya.
> 
> 
> Ternyata yang ditemukan Foer tak sesederhana yang dibayangkannya.
Pernyataan bahwa globalisasi meruntuhkan identitas negara bangsa
justru menemukan antitesa ketika Foer melihat fenomena suporter Red
Star Belgrade di Serbia. Klub-klub suporter yang militan berhasil
diorganisir dengan nasionalisme yang begitu kental menjadi sumber
rekrutmen paramiliter untuk Perang Balkan. Dari klub suporter inilah
paramiliter Tigers yang keganasannya luar biasa dalam membunuhi warga
Muslim Bosnia berasal. Di bawah pimpinan gangster legendaris Arkan,
klub ini menjelma menjadi organisasi bayangan yang tidak tersentuh
selama Perang Balkan. Bahkan, sampai saat inipun nama Arkan masih
dianggap dewa oleh orang-orang Serbia. Lebih jauh Foer melihat bahwa
ternyata budaya global tidak menyapu bersih pranata lokal. Melihat
fanatisme bonek Rangers dan Celtics di Glasgow, Foer melihat bagaimana
orang justru kembali ke identitas lama mereka yaitu agama dan
menunjukkan ekspresi2 tribalisme yang primitif dan bisa dibilang
ganas. Jika sepakbola dilihat sebagai suatu perwujudan praktis dari
gagasan yang abstrak, Foer berani menyatakan bahwa globalisasi gagal
mengikis kebencian-kebencian yang berasal dari identitas kuno.
> 
> 
> Di bagian kedua bukunya, Foer menelisik lebih jauh ke masalah
ekonomi. Untuk memperlihatkan dampak derasnya arus migrasi dari negara
ke dunia ketiga ke Eropa, Foer dengan cerdas mengajak kita menengok
kehidupan seorang striker Nigeria di sebuah kota kecil di Ukraina.
Dengan penggalan cerita itu, kita diajak menyelami banyak hal mulai
dari motif migrasi, kesulitan beradaptasi seorang imigran, sampai
kekhawatiran tenaga kerja lokal. Masalah selanjutnya adalah
globalisasi yang ternyata tidak berhasil mengikis korupsi lokal yang
telah berakar sebagaimana yang terjadi di dunia sepakbola Brasil. Dana
investor asing yang mengalir masuk untuk sepakbola cuma dinikmati
segelintir orang, sehingga pada gilirannya investor asing perlahan
hengkang karena tidak tahan dengan ekonomi biaya tinggi yang tidak
kompatibel dengan kapitalisme (jadi inget negara mana gitu.).
> 
> 
> Pada penggal terakhir bukunya, Foer beralih menjadi seorang optimis
yang menawarkan prediksi cerah. Setelah menikmati pengalaman menonton
Barca di Nou Camp, Foer mengatakan bahwa berbeda dengan gambaran suram
yang dia temui di Serbia dan Inggris daratan, Barca membuktikan bahwa
seseorang bisa mencintai sebuah klub atau negara tanpa harus berubah
menjadi begundal atau teroris. Menjadi nasionalis tanpa terjerumus ke
ranah perilaku manusia yang kelam. Mencintai identitas Anda tanpa
hasrat untuk mendominasi kelompok-kelompok masyarakat lain atau
menutup diri dari pengaruh asing. Kemudian, seperti tak bisa
mneghindar bahwa Islam akan menjadi pemain penting di masa depan, Foer
mengangkat sebuah episode ketika ribuan perempuan Iran yang dilarang
menonton bola di stadion nekat berdemo di depan stadion Azadi yang
sedang merayakan pesta penyambutan timnas Iran yang untuk pertama
kalinya lolos kualifikasi Piala Dunia. Peristiwa yang disebut Foer
"revolusi bola" ini menurut Foer menjadi pertanda bangkitnya
nasionalisme baru di dunia Islam, nasionalisme yang cenderung sekuler
dan pada perkembangannya akan menentang negara. Sesuatu yang dinilai
"cukup" oleh Foer yang Barat. 
> 
> 
> Salah satu buku terbagus yang pernah gue baca. Mungkin karena Foer
dengan jurnalisme sastrawinya yang kampiun sukses berbagi kecintaannya
pada sepakbola. Penggemar bola atau pengamat sospol sama-sama dapat
merasakan gelora hasrat Foer pada olahraga ini, sambil belajar mencoba
sedikit lebih memahami dunia yang kompleks ini.
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke