wah pendukung, simpatisan, pengikut islamlib pasti terharu neh hehe
ternyata tulisan jg bisa jd sampah toh, mungkin kebanyakan makan 'sampah' 
kali yaa (JUNK food)
maklum di Amrik sono khan RAJAnya makanan sampah

saran buat mas ulil, jgn banyak nulis deh kalo msh 'belajar' , mending byk 
baca biar tambah pinter
saran buat fansnya ulil, jgn terlalu percaya deh dg tulisan orang yg msh 
'belajar' :p




"mediacare" <[EMAIL PROTECTED]> 
Sent by: ppiindia@yahoogroups.com
12/05/2007 08:59 AM
Please respond to
ppiindia@yahoogroups.com


To
<ppiindia@yahoogroups.com>
cc

Subject
Re: [ppiindia] Pelemik antara Ulil Abshar vs Amran Nasution







Numpang bertanya. Pelemik itu artinya apa ya?

Yang saya tahu, pelem itu artinya mangga.

----- Original Message ----- 
From: kk_heru 
To: ppiindia@yahoogroups.com 
Sent: Wednesday, December 05, 2007 8:50 AM
Subject: [ppiindia] Pelemik antara Ulil Abshar vs Amran Nasution

Yang Sembrono dari Ulil Abshar

Rabu, 05 Desember 2007

Tulisan saya di hidayatullah.com ditanggapi Ulil dengan judul "Amran
dan Beberapa Kekeliruan". "Ayolah Ulil, tunjukkan di mana
kebebasan dan toleransi Barat?"

Oleh: Amran Nasution *

Ketika masih wartawan, saya menulis sebuah laporan utama sepulang
melakukan liputan di Filipina Selatan. Pak Amir Daud, Redaktur Pelaksana
waktu itu, 1981, memanggil saya ke mejanya. `'Berapa usia
Anda?'', katanya. Tentu saya kaget. Untuk apa usia ditanya kalau
masalahnya ada pada tulisan. Tapi saya jawab melihat ia sangat serius.

''Kalau begitu Anda masih bisa berubah. Mulai sekarang,
berubahlah,'' ujarnya. Lalu ia menunjuk kesalahan itu. Ternyata,
saya sembarangan meletakkan titik dan koma. Di mata Pak Amir, saya
sembrono.

Ya, sembrono. Itulah yang saya lihat setelah membaca tulisan Ulil
Abshar-Abdalla dari Departmen of Near Eastern Languages and
Civilizations, Harvard University, yang dimuat di Milist ICRP juga
dimuat dalam kolomnya di situs Jaringan Islam Liberal (JIL), tanggal 30
November 2007. Ia menanggapi artikel saya, Dari Moshaddeg Sampai Mount
Carmel (www.hidayatullah.com, 23 dan 24 November 2007).

Ia mengabaikan begitu saja pendapat bahwa sanksi penistaan agama yang
terjadi di Eropa dan Amerika jauh lebih kejam dan lebih sektarian.

Tapi kesemboronon Ulil tak terbatas titik, koma. Ia malah berbuat
seenaknya dengan fakta, sesuatu yang di kalangan wartawan ditempatkan
pada posisi amat tinggi. Tentu juga mestinya di kalangan intelektual
semacam Ulil. Bagaimana mungkin dia membuat analisa yang benar, kalau
faktanya salah. Garbage in, garbage out. Yang masuk sampah, pasti
keluarnya sampah.

Berikut saya tunjukkan sampah itu.

Dia menyebut semua sekte, aliran, mazhab, dan keyakinan bisa berkembang
bebas di negeri Barat. Sebagai contoh ia tunjuk Mormon yang salah satu
pengikutnya, Mitt Romney, pernah menjadi gubernur dua priode di negara
bagian Massachusetts. Romney sekarang menjadi bakal calon presiden dari
Partai Republik.

Saya mulai dari garbage kecil ini. Adalah bohong kalau dikatakan Romney
(nama lengkapnya Willard Mitt Romney, 60 tahun) menjabat gubernur dalam
dua priode. Ia cuma satu priode Gubernur Massachusetts, 2002 - 2006.
Pada 1994, eksekutif sukses ini pernah mencalonkan diri menjadi anggota
Senat mewakili Partai Republik, tapi dikalahkan Edward M.Kennedy (Partai
Demokrat). Penyebab terpenting kekalahannya, ya soal agama Mormonnya itu
(lihat artikel Michael Paulson, the Boston Globe, 9 November 2002).

Dalam pemilihan gubernur 2002 yang dimenangkannya, Romney menghadapi
Shannon O'Brien, seorang Katolik. Untuk diketahui Massachusetts
cukup heterogen, banyak etnik dan agama. Tapi mayoritas penduduknya
Katolik (44%), lalu Kristen 22%, sisanya Atheis, Yahudi, Buddha, Hindu,
Islam, dan Mormon.

Pada masa kampanye kali ini soal Mormonnya tak ditembaki lawan.
Masalahnya, lawan juga sedang grogi bila agama dibawa-bawa. Isu
penyelewengan seksual oknum pastor dengan anak altar sedang menghangat
waktu itu. Kemudian nama Romney lagi berkibar sebagai penyelanggara
Olimpiade Musim Dingin di Salt Lake City. Perhelatan akbar itu nyaris
gagal karena panitia dilanda berbagai skandal. Romney muncul sebagai
penyelamat.

Bagaimana peluangnya kini sebagai bakal calon Presiden Partai Republik?
Tipis sekali. Penyebabnya agamanya itu. Itulah sekarang yang menjadi isu
hangat di sekitar pencalonan Romney. Survei the Wall Street Journal/NBC,
awal November lalu, menunjukkan mayoritas responden tak bisa menerima
seorang Mormon menjadi Presiden Amerika Serikat. Yang menyatakan bisa
hanya 38% (the Washington Post, 28 November 2007). Nah, benar kan? Kalau
masukan salah analisa salah pula.

Sekarang mengancik ke soal sampah yang lebih serius. Kata Ulil, Mormon
bebas berkembang di Amerika. Dari mana cerita itu didapatnya? Sejarah
menunjukkan banyak darah berceceran di sekitar eksistensi sekte yang
resminya disebut the Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints.

Pencetus dan pemimpin pertama Mormon adalah Joseph Smith, lahir di
Vermont pada 1805. Smith mengaku bertemu langsung dengan Tuhan dan
Malaikat lalu mendapat petunjuk untuk menyebarkan ajarannya yang ia
peroleh dari tulisan di piring emas di pegunungan New York. Tulisan ia
terjemahkan selama berbulan-bulan dan menjadi kitab suci orang Mormon,
the Book of Mormon. Jadi Mormon agama yang lahir di Amerika. Ajarannya
mirip Kristen tapi mengharamkan arak, menghalalkan poligami.

Tentu Joseph Smith dan pengikutnya tak bisa diterima masyarakat. Ia
dianggap menyebarkan ajaran aneh yang bid'ah. Konflik sering
terjadi. Mereka terlibat beberapa perkelahian dengan penduduk Missouri.
Akhirnya, pada 27 Oktober 1838, Gubernur Missouri, Lilburn Boggs,
mengeluarkan perintah memburu kaum Mormon yang disebut extermination
order (perintah pembasmian). Sekitar 2500 tentara menyerbu perkampungan
Mormon. Sejumlah pengikut Smith terbunuh, banyak wanita diperkosa. Smith
dan beberapa pendetanya ditangkap. Untuk diketahui, extermination order
itu berlaku 100 tahun lebih sampai dicabut oleh Gubernur Missouri
Christopher Bond di tahun 1976.

Sekian lama ditahan, akhirnya Smith dan kawan-kawan dibebaskan. Mereka
membangun perkampungan di tepi Sungai Missouri. Lama kelamaan banyak
orang baru bergabung sehingga jumlah jemaah bertambah besar. Mereka
kembali bentrok dengan masyarakat. Joseph Smith, adiknya Hyrum Smith,
dan dua pembantunya ditangkap. Pada pagi 27 Juni 1844, sekitar 200 massa
mengepung penjara. Mereka bunuh Smith, adik, dan pembantunya (lihat
artikel Jay Lindsay di Associated Press, 28 Januari 2006).

Sejak itu pengikut Smith kocar-kacir sampai belakangan datang pemimpin
baru, Brigham Young, yang mengkonsolidasikan mereka. Dan itu tak
gampang. Hanya berkat kegigihan dan keuletan saja mereka bisa bertahan.
Di Massachusetts, misalnya, seperti ditulis Jay Lindsay, baru di tahun
1960-an, Mormon bisa datang kembali.
Dengan kisah berdarah-darah ini --sudah ditulis di banyak buku--
bagaimana Ulil berani mengatakan semua sekte, aliran, mazhab, dan
keyakinan bisa berkembang bebas di negara Barat?

Apalagi, dengan gagah berani ia menulis: "Saat ini, di seluruh
negeri Eropa dan Amerika (juga Kanada dan Australia) nyaris
`'mustahil'', sekali lagi nyaris mustahil, kita jumpai kasus
sebuah sekte diberangus atau dirusak propertinya karena membawa ajaran
yang menyimpang."

Rupanya, peristiwa 19 April 1993, ketika FBI meledakkan dan membakar
habis perkampungan Sekte Cabang David, mengakibatkan kematian David
Koresh dan 80-an pengikutnya di Mount Carmel, Waco, Texas, tak dilihat
Ulil sebagai perusakan properti sebuah sekte, aliran, atau ajaran.

Ilmu sihir apa yang telah menutup mata Ulil sehingga tak mampu melihat
fakta itu? Guna melengkapinya di sini saya cuplikkan beberapa peristiwa
yang relevan, yang sempat saya kumpulkan:

The New York Times, 7 Maret 2004, menulis, pada hari Jumat, dua masjid
dibakar di Annecy dan Seynod (Francis). Tak ada korban jiwa. Tapi
peristiwa itu membuat marah kalangan Islam setempat karena tak ada
respons dari pemerintah. Itu sangat kontras dengan pembakaran sebuah
sekolah Yahudi, November sebelumnya. Ketika itu, hanya beberapa jam
kemudian, Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy, langsung meninjau ke
lapangan dan mengomentari peristiwa itu sebagai tindakan rasis.

Esoknya, baru Kantor Presiden mengeluarkan siaran pers menanggapi
pembakaran masjid, mengatakan bahwa Presiden Chirac sangat terkejut atas
serangan dan dengan keras mengecam aksi yang menjijikkan itu.
The New York Times, 24 Desember 2004, memuat berita sebuah masjid yang
baru selesai dibangun di kota kecil Usingen, di barat laut Frankfurt
(Jerman), telah terbakar. Menurut polisi, pembakaran dilakukan seseorang
dengan sengaja. Pada bulan lalu, setelah terjadi pembakaran masjid di
Belanda, sebuah botol berisi minyak tanah dilemparkan seseorang ke
sebuah masjid di dekat Kota Sinsheim, Jerman.

Fakta di atas, sekali lagi, terbatas yang sempat saya kumpulkan. Saya
tak tahu persis sudah berapa banyak Sinagog - belakangan Masjid
- yang dirusak selama ini di Eropa atau Amerika.

Di dalam buku A Brief History of Blaspemy (The Orwel Press, 1990),
Richard Webster menulis, kebencian orang Eropa kepada Yahudi yang
dikenal sebagai anti-semit, sesungguhnya punya akar yang dalam. Sekadar
contoh, tulis Webster, di dalam risalahnya, Of the Jews and Their Lies,
pelopor reformasi gereja Martin Luther menyatakan seluruh orang Yahudi
sebagai tamak dan rakus.

Tapi terutama setelah pembunuhan orang Yahudi oleh Nazi Jerman selama
Perang Dunia II, perlahan-lahan prasangka dan kebencian terhadap orang
Yahudi berpindah kepada orang Arab dan Islam. Jadi tak usah heran kalau
aksi perusakan Sinagog di Eropa kini pindah ke Masjid.

Karena itu pula orang Islam di Jerman, Inggris, Francis, Belanda, dan
sejumlah negara Eropa lainnya, bukan main sulit membangun masjid. Saya
punya segepok kliping koran yang menulis berita itu. Banyak rencana
membangun masjid sampai bertahun-tahun tak bisa terlaksana. The New York
Times, 6 Juli 2007, sampai menuliskannya di dalam editorial soal
sulitnya pembangunan masjid di Cologne, Jerman, dengan judul,
''Celebrating, Not Hiding''.

Di Amerika juga sama. Kelompok Ahmadiyah berencana membangun masjid dan
pusat kebudayaan di atas tanah seluas 90 ha di kawasan terpencil di
Walkersville, Maryland, sampai sekarang tak kunjung berhasil. Masyarakat
setempat keberatan (The Washington Post, 23 Oktober 2007).

Ayolah Ulil, tunjukkan di mana kebebasan dan toleransi Barat yang Anda
cekokkan kepada teman-teman Anda selama ini? Mereka itu rasis Ulil.
Terlalu banyak fakta sejarah yang tak bisa dihapus: mulai pemusnahan
Indian, perbudakan orang hitam, pembunuhan dan pengusiran orang China,
sampai sekarang giliran orang Arab dan Islam.

Seolah terlihat hijau

Akhirnya, saya khawatir Ulil melihat Barat seperti melihat hutan dari
jauh: semua terlihat hijau royo-royo. Padahal bila didekati kelihatan
pohon yang sudah gundul terbakar, tebing yang longsor, pohon-pohon
tumbang ditebang penduduk untuk kayu bakar, atau sungai yang dicemari
bungkus plastik supermie dan puntung rokok.

Tapi yang paling mengagetkan saya pernyataan Ulil berikut. Katanya,
"Eropa belajar dari sejarah kelam itu hingga sekarang. Hasilnya
tentu bukan main: lahirnya negara sekuler yang melindungi kebebasan
beragama. Atau tepatnya melindungi agama dari intervensi negara (versi
Roger William), dan melindungi negara dari intervensi agama (versi
Thomas Jefferson). Kedua intervensi itu sangat buruk akibatnya baik bagi
agama atau negara sendiri."

Padahal sudah beberapa tahun ini, setidaknya sejak peristiwa serangan
teroris terhadap menara kembar WTC di New York, 2001, tak sedikit buku
yang terbit, tak terhitung artikel ditulis, yang menyoroti bagaimana
Amerika Serikat tak lagi membatasi hubungan agama dengan negara seperti
yang digembar-gemborkan Ulil itu.

Saya tak ingin memperdebatkan baik-buruk, manfaat-mudharat, dari
terbaurnya hubungan itu. Seperti saya juga tak mau memperdebatkan di
sini konsistensi sikap Thomas Jefferson, nama yang dikutip Ulil. Ia
merancang Declaration of Independence yang begitu muluk bicara tentang
kebebasan, sementara ia sendiri memiliki ratusan budak. Malah sampai
meninggal dunia ia meninggalkan budak-budak yang diburu dari Afrika
sebagai harta warisan.

Jefferson rupanya gambaran dari negara yang diwariskannya: mengekspor
demokrasi ke mana-mana sembari membunuhi jutaan rakyat tak berdosa di
mana-mana. Mulai Vietnam, Laos, Korea, Iraq, Lebanon, Nikaragua,
Guatemala, Panama, dan banyak lagi. Inilah satu-satunya negara di dunia
yang tega membunuh lebih 200 ribu rakyat tak berdosa dengan bom atom
uranium di Nagasaki dan Hirosima. Picing mata pada pembangunan arsenal
nuklir Israel di Dimona, tapi mencak-mencak kepada nuklir Iran.

Amerika kini merupakan satu-satunya negara besar di dunia yang menolak
meratifikasi Protokol Kyoto, karena para tokoh Kristen Evangelical yang
sangat berpengaruh di Partai Republik dan Gedung Putih menganggap bukan
karbon dioksida yang menyebabkan perubahan iklim. Semua ditentukan oleh
Yang Mahakuasa (Almighty).

Iraq diserang, Saddam Hussein ditumbangkan, karena ia dianggap pengganti
Nebuchadnezzar, Raja Babylonia yang memerangi Israel dan merusak
Jerusalem pada tahun 586 sebelum Masehi. Jadi senjata pemusnah massal
atau upaya demokratisasi hanyalah dalih.

Selanjutnya setahun setelah Baghdad dikuasai, koran the Los Angeles
Times melakukan survei dan menemukan 30 misionaris Evangelical di kota
itu yang menempel (embeded) pada tentara pendudukan Amerika. Kyle Fisk,
Kepala Administrasi the National Association of Evangelicals, mengatakan
kepada wartawan koran itu, ''Iraq akan menjadi pusat penyebaran
ajaran Jesus Kristus ke Iran, Libya, dan ke seluruh Timur Tengah.''
(the Los Angeles Times, 18 Maret 2004).

Pemberantasan penyakit Aids dengan cara pantang berhubungan seks
sembarang (abstinence), abortus diharamkan, begitu pula riset sel tunas
(stem-cell research), dan banyak lagi nilai-nilai Gereja lainnya. Meski
akhir tahun lalu, Partai Republik kalah dalam Pemilu sela dan kehilangan
suara mayoritas di Senat dan DPR, ternyata Oktober lalu, DPR tetap
menyetujui menaikkan anggaran program abtinence dari 28 juta menjadi 200
juta dollar setahun. Kenapa? Karena para tokoh Partai Demokrat pun keder
pada kelompok Evangelical yang diduga punya pengaruh atas sekitar 30%
pemilih.

Pantaslah Bill Moyers, bekas wartawan televisi yang kini menjadi aktivis
Gereja Evangelical, ketika berbicara di Harvard Medical School, 4
Desember 2004, berkata, ''Untuk pertama kali dalam sejarah kita,
ideologi dan theologi memonopoli kekuasaan di Washington.''

Dimulai sejak zaman Presiden Reagan, tapi terutama pada dua priode
kepemimpinan Bush, pelan-pelan Amerika sudah mendekati negara theokrasi
dan Partai Republik merupakan partai Kristen pertama dalam sejarah
Amerika. Bacalah American Theocracy (Viking Penguin, 2006) ditulis Kevin
Phillips, penasehat politik utama Partai Republik di zaman Nixon.

Fenomena itu cukup jelas diterangkan Profesor Samuel P.Huntington di
dalam Who Are We? America's Great Debate (The Free Press, 2005).
Saya tak ingin mengulangi lagi cerita itu. Sudah saya tulis di
www.hdayatullah.com: An-Naim dan `'Perang'' Presiden Bush, 15
Agustus 2007, dan Hizbut Tahrir, Sekularisme dan Fenomena Global, 27
Agustus 2007. Cerita ini saja sudah terlalu panjang.
[www.hidayatullah.com]

* Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung
dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta

[Non-text portions of this message have been removed]

----------------------------------------------------------

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Free Edition. 
Version: 7.5.503 / Virus Database: 269.16.13/1169 - Release Date: 
03/12/2007 22:56

[Non-text portions of this message have been removed]

 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke