Ya, Mbak Lina, memang "...Kalo kemudian Aisyah memilih utk dipoligami, ya itu 
dah kemauan sutradara/penulis..." karena itulah saya katakan, ini propaganda 
poligami.  Pedagang asongan juga bilang itu. Tentu saja otak saya mungkin  
hanya secerdas pedagang asongan. 
Saya tidak bisa menangkap premis lain kecuali habiburrahman tengah 
mengkampanyekan ayat-ayat yang memperbolehkan poligami dalam kitab suci 
(padahal saya yakin kitab itu melarangnya--konteks poligami  terjadi 1400 tahun 
yang lalu).
tetapi orang seperti saya dan habiburrahman  memang beda. ibarat minyak dg air.
tidak jadi masalah kalau  pemerintah berlaku  netral.
Sayangnya... 
ya Anda saksikanlah.
 
Tabik


Lina Dahlan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                             Dibawah ini 
kan pendapat dari orang yang anti poligami. Jadi wajar 
 saja. Saya sendiri tidak mengatakan anti ato kontra, pada tatanan 
 praktek poligami. Harus dilihat kasus per kasus.
 
 Sekarang kalo kasusnya kayak di AAC, apalagi dalam konteks premis 
 mayor dan minor spt ini, saya juga bisa melihat paradigma lain.
 
 Aisyah telah memilih jalan untuk (terpaksa) menerima poligami utk 
 menyelematkan suaminya. Tapi sebetulnya ada jalan lain yang sudah 
 diajukan oleh pamannya (Surya Saputra) utk (terpaksa) nyogok hakim 
 saja.
 
 Sekarang kan tinggal Aisyah memilih mana: poligami ato nyogok?
 Kalo kebanyakan kita (mungkin termasuk saya) akan milih nyogok 
 hakim...:-) karena kapabilitas keimanan saya tidak setinggi Aisyah.
 
 Kalo kemudian Aisyah memilih utk dipoligami, ya itu dah kemauan 
 sutradara/penulis yang bertindak sebagai tuhan pada sebuah film or 
 novel.
 
 wassalam,
 
 --- In ppiindia@yahoogroups.com, "didikelpambudi" 
 <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
 >
 > 
 > 
 > AAC, Poligami, dan Netralitas Pemerintah
 > Didik L. Pambudi
 >  
 > Prolog:
 > Premis mayor film  Ayat-ayat Cinta (AAC),  poligami harus dilakukan
 > jika terpaksa 
 > Premis minor film  AAC, Fahri terpaksa melakukan poligami
 > Kesimpulan film  AAC, Fahri harus melakukan poligami
 > 
 > Semula aku tak berkeinginan membahas film AAC karena aku bukanlah
 > seorang kritikus. Bagiku, AAC hanyalah sebuah dunia khayal
 > Habiburrahman yang ternyata mampu menggoda jutaan orang untuk 
 memuji;
 > mengejek; atau mendebatkannya.
 > Kekecewaanku muncul ketika film yang kontroversial itu akhirnya
 > mendapat dukungan dari para petinggi negara. Film itu dianggap
 > mengawali kebangkitan film Indonesia yang tak menjual horor dan 
 seks;
 > film itu dianggap menjual moralitas; bahkan—ini yang gawat—film itu
 > dianggap mewakili moral Islam.
 > Bagiku, agama adalah urusan pribadi seseorang. Sama dengan Anda 
 cinta
 > pada si A atau si Z; Anda suka memelihara jenggot atau kumis; Anda
 > suka memakai kemeja putih atau hitam. Tidak perlu ada campur tangan
 > siapa pun di wilayah itu. Anda bebas memilih dan negara, sekali 
 lagi
 > negara, wajib melindungi sekaligus bersikap netral.
 > Sayangnya, hal itu tidak terjadi. AAC yang kontroversial hingga
 > mengundang berbagai sikap pro-kontra terkait poligami yang 
 dilakukan
 > tokohnya, Fahri—misalnya, debat panjang di berbagai milis—ternyata
 > mendapat sanjungan penuh dari para petinggi negara. Ini sangat
 > berbahaya. Para petinggi negara telah menjadi orang-orang yang 
 tidak
 > netral lagi dalam melayani rakyat. 
 > Tentu tidak ada yang salah jika petinggi negara menonton film AAC.
 > Terserah mereka. Tetapi jika para petinggi negara menganggap bahwa
 > Islam yang benar adalah Islamnya Fahri, hal ini tentu pantas 
 ditolak.
 > Sangat banyak umat Islam (termasuk aku) di Indonesia yang menolak
 > melakukan poligami. Jauh lebih banyak daripada yang melakukannya.
 > Mereka tidak melakukannya karena memang menganggap itu tidak adil 
 bagi
 > perempuan; itu menyakitkan hati perempuan. 
 > Apakah Fahri salah ketika melakukan poligami karena diminta Aisah?
 > Jika aku yang ditanya, maka aku menjawab, kejadian seperti itu 
 hanya
 > ada di dalam dunia khayal Habiburrahman. 
 > Baiklah kita ringkas saja imajinasi Habiburrahman tentang Fahri—
 lelaki
 > naif—yang dicintai empat perempuan.
 > Tentu di luar logika, ada seorang lelaki (Fahri) yang tidak 
 mengetahui
 > ada seorang perempuan (Maria Girgis) mencintainya. Padahal 
 perempuan
 > itu setiap hari memperhatikan bahkan memberikan jus mangga
 > kesukaannya. Setiap hari, Bung.
 > Apalagi Fahri digambarkan sebagai seorang terpelajar yang banyak
 > membaca buku. Pertanyaan, buku apa saja yang dibaca Fahri hingga 
 tidak
 > bisa mengetahui bahasa tubuh  seorang perempuan yang sudah luar 
 biasa
 > lugas mengungkapkan perasaannya? Tentu saja kalimatku bisa
 > diperdebatkan. Hanya saja, aku memang belum pernah menjumpai 
 seorang
 > lelaki yang tidak merasa, seorang perempuan—misal rekan
 > sekantor—memperhatikan ia habis-habisan, jika perempuan itu setiap
 > hari membuatkan kopi susu, khusus untuknya. Tidak untuk atasan 
 apalagi
 > rekan kerja dan bawahan si perempuan (meski mereka semua lelaki).
 > Nah, jika Fahri kemudian tahu Maria mencintainya; dan dia pun
 > mencintai Maria tentu perkawinan terjadi dan tidak muncul seorang
 > Aisah. Sayangnya, dunia khayal Habiburrahman memang menuntut, Fahri
 > haruslah sangat naif. Lantas Aisah pun dimunculkan untuk dinikahi
 > Fahri—lewat sebuah perjodohan pula. Maria, Noura, dan Nurul—ketiga
 > perempuan itu digambarkan memiliki pribadi yang teramat lemah 
 (alamak,
 > apa kata dunia)—lantas sangat kecewa karena cinta mereka kandas. 
 Noura
 > membalas dendam karena merasa cintanya ditolak dengan cara menuduh
 > Fahri memerkosanya; Nurul menjadi saksi yang menguatkan kebejatan
 > Fahri; dan Maria membela Fahri setelah dipoligami.
 > Luar biasa memang khayalan Habiburrahman. Tetapi biarlah. Seliar 
 apa
 > pun imajinasi Habiburrahman memang menjadi haknya. Aku tentu tidak
 > berhak membatasinya. 
 > Jadi masalah ketika imajinasi Habiburrahman yang liar dan 
 mengundang
 > kontroversi itu ternyata mendapat pujian dari para petinggi negara.
 > Aku, sebagai warga negara yang anti-poligami, tentu merasa 
 pemerintah
 > sudah berdiri berat sebelah dalam menyikapi masalah ini. Pemerintah
 > bagai tutup mata bahwa banyak warga negara yang tidak menyukai
 > keliaran imajinasi Habiburrahman untuk mem-propagandakan poligami.
 > Pemerintah telah mendudukkan posisi berada di pihak pendukung 
 poligami.
 > Negara ini didirikan atas dasar pluralisme. AAC jelas-jelas
 > mempropagandakan poligami, praktek yang tidak disukai banyak warga
 > negara (termasuk kalangan Islam). Sikap Pemerintah untuk berdiri di
 > sisi para pendukung poligami tentu sangat mengecewakan.
 > Bagiku, sangat naif jika pemerintah berkata, kami mendukung film
 > Indonesia bukan film yang mempropagandakan poligami. 
 > Jika memang itu alasannya, mengapa pemerintah tidak ramai-ramai
 > menonton film Naga Bonar Jadi Dua yang jelas-jelas film terbaik FFI
 > 2007 (terakhir pada Indonesian Movie Award 2008, menyabet 
 penghargaan
 > Pemeran Utama Pria Terbaik, Kategori Spesial Award, peran Yang 
 Mencuri
 > Perhatian dan Film Terfavorit).
 > Tidak mungkin pemerintah tidak melihat propaganda poligami dalam 
 film
 > itu karena beberapa pedagang vcd bajakan AAC di kereta listrik 
 jurusan
 > Jakarta-Bogor fasih melontarkan yel-yel "... kisah tentang Fahri 
 yang
 > poligami dengan Aisah dan Maria..." ketika menawarkan 
 dagangannya.     
 > Jika pemerintah berkata, kami tentu perlu tahu, mengapa film AAC,
 > bukannya Naga Bonar Jadi Dua, yang ditonton jutaan rakyat.
 > Kalau hanya untuk mengetahui fenomena yang terjadi, mengapa seorang
 > presiden sampai menyediakan waktu khusus untuk menonton film itu
 > hingga gedung bioskop mesti diseterilkan?  Bukankah, jika untuk
 > mengetahui fenomena yang terjadi, pemerintah bisa saja memutar film
 > itu di istana;  lantas mendiskusikannya? Lagipula apakah banjirnya
 > penonton AAC menjadi skala prioritas pemerintah untuk diteliti?
 > Bukankah lebih baik pemerintah mencari cara menurunkan harga 
 sembilan
 > bahan pokok?
 > Naif juga jika pemerintah beralasan, kami tidak tahu bahwa 
 propaganda
 > poligami yang diusung AAC menjadi polemik berkepanjangan di dunia
 > internet. 
 > Apakah pemerintah sudah sedemikian anti-teknologi hingga tidak
 > mengetahui perdebatan rakyat yang demikian panas? Bukankah sudah 
 sejak
 > lama masalah poligami menjadi perdebatan panjang, bahkan
 > pemerintah—pimpinan Soeharto—pernah melarang pegawai negara 
 berpoligami? 
 > Jika pemerintah berkata, tentu menjadi hak kami untuk menonton 
 film AAC!
 > Lantas mengapa Presiden DR Yudhoyono harus "mengumumkan" di depan
 > umum, meneteskan air mata haru untuk AAC?1) Padahal sebelumnya, 
 para
 > menteri dan wakil Tuan telah pula memuji-mujinya.  
 > Tidakkah sebaiknya Tuan Presiden mengumumkan, meneteskan air mata 
 duka
 > untuk propaganda poligami?  
 > 
 > Keterangan:
 > 1)"Saya sampai berkali-kali menyeka air mata saya. Pesannya 
 sampai,"
 > ungkap SBY usai menonton film itu di Plaza EX, Jl Thamrin, Jakarta,
 > Jumat (28/3/2008) malam. (Sumber: detik.com 28/03/2008 23:21 WIB)
 >
 
 
     
                                       

       
---------------------------------
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! 
Answers

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to