AAC, Poligami, dan Netralitas Pemerintah
Didik L. Pambudi
 
Prolog:
Premis mayor film  Ayat-ayat Cinta (AAC),  poligami harus dilakukan
jika terpaksa 
Premis minor film  AAC, Fahri terpaksa melakukan poligami
Kesimpulan film  AAC, Fahri harus melakukan poligami

Semula aku tak berkeinginan membahas film AAC karena aku bukanlah
seorang kritikus. Bagiku, AAC hanyalah sebuah dunia khayal
Habiburrahman yang ternyata mampu menggoda jutaan orang untuk memuji;
mengejek; atau mendebatkannya.
Kekecewaanku muncul ketika film yang kontroversial itu akhirnya
mendapat dukungan dari para petinggi negara. Film itu dianggap
mengawali kebangkitan film Indonesia yang tak menjual horor dan seks;
film itu dianggap menjual moralitas; bahkan—ini yang gawat—film itu
dianggap mewakili moral Islam.
Bagiku, agama adalah urusan pribadi seseorang. Sama dengan Anda cinta
pada si A atau si Z; Anda suka memelihara jenggot atau kumis; Anda
suka memakai kemeja putih atau hitam. Tidak perlu ada campur tangan
siapa pun di wilayah itu. Anda bebas memilih dan negara, sekali lagi
negara, wajib melindungi sekaligus bersikap netral.
Sayangnya, hal itu tidak terjadi. AAC yang kontroversial hingga
mengundang berbagai sikap pro-kontra terkait poligami yang dilakukan
tokohnya, Fahri—misalnya, debat panjang di berbagai milis—ternyata
mendapat sanjungan penuh dari para petinggi negara. Ini sangat
berbahaya. Para petinggi negara telah menjadi orang-orang yang tidak
netral lagi dalam melayani rakyat. 
Tentu tidak ada yang salah jika petinggi negara menonton film AAC.
Terserah mereka. Tetapi jika para petinggi negara menganggap bahwa
Islam yang benar adalah Islamnya Fahri, hal ini tentu pantas ditolak.
Sangat banyak umat Islam (termasuk aku) di Indonesia yang menolak
melakukan poligami. Jauh lebih banyak daripada yang melakukannya.
Mereka tidak melakukannya karena memang menganggap itu tidak adil bagi
perempuan; itu menyakitkan hati perempuan. 
Apakah Fahri salah ketika melakukan poligami karena diminta Aisah?
Jika aku yang ditanya, maka aku menjawab, kejadian seperti itu hanya
ada di dalam dunia khayal Habiburrahman. 
Baiklah kita ringkas saja imajinasi Habiburrahman tentang Fahri—lelaki
naif—yang dicintai empat perempuan.
Tentu di luar logika, ada seorang lelaki (Fahri) yang tidak mengetahui
ada seorang perempuan (Maria Girgis) mencintainya. Padahal perempuan
itu setiap hari memperhatikan bahkan memberikan jus mangga
kesukaannya. Setiap hari, Bung.
Apalagi Fahri digambarkan sebagai seorang terpelajar yang banyak
membaca buku. Pertanyaan, buku apa saja yang dibaca Fahri hingga tidak
bisa mengetahui bahasa tubuh  seorang perempuan yang sudah luar biasa
lugas mengungkapkan perasaannya? Tentu saja kalimatku bisa
diperdebatkan. Hanya saja, aku memang belum pernah menjumpai seorang
lelaki yang tidak merasa, seorang perempuan—misal rekan
sekantor—memperhatikan ia habis-habisan, jika perempuan itu setiap
hari membuatkan kopi susu, khusus untuknya. Tidak untuk atasan apalagi
rekan kerja dan bawahan si perempuan (meski mereka semua lelaki).
Nah, jika Fahri kemudian tahu Maria mencintainya; dan dia pun
mencintai Maria tentu perkawinan terjadi dan tidak muncul seorang
Aisah. Sayangnya, dunia khayal Habiburrahman memang menuntut, Fahri
haruslah sangat naif. Lantas Aisah pun dimunculkan untuk dinikahi
Fahri—lewat sebuah perjodohan pula. Maria, Noura, dan Nurul—ketiga
perempuan itu digambarkan memiliki pribadi yang teramat lemah (alamak,
apa kata dunia)—lantas sangat kecewa karena cinta mereka kandas. Noura
membalas dendam karena merasa cintanya ditolak dengan cara menuduh
Fahri memerkosanya; Nurul menjadi saksi yang menguatkan kebejatan
Fahri; dan Maria membela Fahri setelah dipoligami.
Luar biasa memang khayalan Habiburrahman. Tetapi biarlah. Seliar apa
pun imajinasi Habiburrahman memang menjadi haknya. Aku tentu tidak
berhak membatasinya. 
Jadi masalah ketika imajinasi Habiburrahman yang liar dan mengundang
kontroversi itu ternyata mendapat pujian dari para petinggi negara.
Aku, sebagai warga negara yang anti-poligami, tentu merasa pemerintah
sudah berdiri berat sebelah dalam menyikapi masalah ini. Pemerintah
bagai tutup mata bahwa banyak warga negara yang tidak menyukai
keliaran imajinasi Habiburrahman untuk mem-propagandakan poligami.
Pemerintah telah mendudukkan posisi berada di pihak pendukung poligami.
Negara ini didirikan atas dasar pluralisme. AAC jelas-jelas
mempropagandakan poligami, praktek yang tidak disukai banyak warga
negara (termasuk kalangan Islam). Sikap Pemerintah untuk berdiri di
sisi para pendukung poligami tentu sangat mengecewakan.
Bagiku, sangat naif jika pemerintah berkata, kami mendukung film
Indonesia bukan film yang mempropagandakan poligami. 
Jika memang itu alasannya, mengapa pemerintah tidak ramai-ramai
menonton film Naga Bonar Jadi Dua yang jelas-jelas film terbaik FFI
2007 (terakhir pada Indonesian Movie Award 2008, menyabet penghargaan
Pemeran Utama Pria Terbaik, Kategori Spesial Award, peran Yang Mencuri
Perhatian dan Film Terfavorit).
Tidak mungkin pemerintah tidak melihat propaganda poligami dalam film
itu karena beberapa pedagang vcd bajakan AAC di kereta listrik jurusan
Jakarta-Bogor fasih melontarkan yel-yel "... kisah tentang Fahri yang
poligami dengan Aisah dan Maria..." ketika menawarkan dagangannya.     
Jika pemerintah berkata, kami tentu perlu tahu, mengapa film AAC,
bukannya Naga Bonar Jadi Dua, yang ditonton jutaan rakyat.
Kalau hanya untuk mengetahui fenomena yang terjadi, mengapa seorang
presiden sampai menyediakan waktu khusus untuk menonton film itu
hingga gedung bioskop mesti diseterilkan?  Bukankah, jika untuk
mengetahui fenomena yang terjadi, pemerintah bisa saja memutar film
itu di istana;  lantas mendiskusikannya? Lagipula apakah banjirnya
penonton AAC menjadi skala prioritas pemerintah untuk diteliti?
Bukankah lebih baik pemerintah mencari cara menurunkan harga sembilan
bahan pokok?
Naif juga jika pemerintah beralasan, kami tidak tahu bahwa propaganda
poligami yang diusung AAC menjadi polemik berkepanjangan di dunia
internet. 
Apakah pemerintah sudah sedemikian anti-teknologi hingga tidak
mengetahui perdebatan rakyat yang demikian panas? Bukankah sudah sejak
lama masalah poligami menjadi perdebatan panjang, bahkan
pemerintah—pimpinan Soeharto—pernah melarang pegawai negara berpoligami? 
Jika pemerintah berkata, tentu menjadi hak kami untuk menonton film AAC!
Lantas mengapa Presiden DR Yudhoyono harus "mengumumkan" di depan
umum, meneteskan air mata haru untuk AAC?1) Padahal sebelumnya, para
menteri dan wakil Tuan telah pula memuji-mujinya.  
Tidakkah sebaiknya Tuan Presiden mengumumkan, meneteskan air mata duka
untuk propaganda poligami?  

Keterangan:
1)"Saya sampai berkali-kali menyeka air mata saya. Pesannya sampai,"
ungkap SBY usai menonton film itu di Plaza EX, Jl Thamrin, Jakarta,
Jumat (28/3/2008) malam. (Sumber: detik.com 28/03/2008 23:21 WIB)



Reply via email to