--- In ppiindia@yahoogroups.com, "dony_doang" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Pertarungan Islam vs Sekularisme Sekuler
> 
> Insiden Monas sesungguhnya adalah percikan dari benturan antara 
arus 
> sekuler dan Islam. Isu Ahmadiyah hanyalah case (kasus) yang 
> mendorong kelompok sekular liberal untuk bergerak memberikan 
reaksi. 
> Sebelumnya sudah ada beberapa kejadian terkait hal ini. 
> 
> 

Waspadai Radikalisme Wahabisme…!
Desember 15, 2007 

Setelah era reformasi mereka lebih berani tampil ke permukaan secara 
terang-terangan. Bagi sebagian kalangan, kemunculannya dianggap 
mengkhawatirkan, bukan semata-mata karena perbedaan ideologis, tetapi 
lantaran sebagian di antaranya menggunakan cara-cara kekerasan 
memperjuangkan aspirasinya. Kekerasan di sini tak hanya dalam arti 
fisik, tetapi juga kekerasan wacana yang terekspresi melalui 
kecenderungan mereka yang dengan mudah mengeluarkan fatwa murtad, 
kafir, syirik, dan semacamnya bahkan kepada sesama Muslim.

Tulisan cantik ini bisa dilirik pada situs ini. Hanya saja judulnya 
saya ganti. 

GP-ANSOR. BAJU radikalisme dan fundamentalisme yang dipakai atas nama 
Islam oleh kelompok tertentu menjadi ‘boomerang’ bagi umat Islam 
sendiri. Di Indonesia, kedua aliran itu telah menggejala baik secara 
terang-terangan maupun tersembunyi. Fenomena demikian menyebabkan 
kekhawatiran berbagai kalangan masyarakat, sebab alur pemikiran 
semacam itu telah merasuki anak-anak, pelajar dan mahasiswa.

Sejumlah ulama dan kiai Nahdlatul Ulama pantas saja mengkhawatirkan 
fenomena itu, meskipun sebenarnya radikalisme dan fundamentalisme 
beragama tak hanya berlaku bagi agama Islam. Tapi untuk merespons dan 
mengantisipasi gejala yang berkembang, Pengurus Wilayah Nahdlatul 
Ulama (PWNU) Jawa Tengah, perlu menggelar bahtsul masail diniyyah 
yang diadakan di Ponpes Al-Qur'aniyy Azzayadiyy, Solo, belum lama. 
Diantaranya, fenomena radikalisme dan fundamentalisme dengan baju 
agama yang dinilai paling krusial.

Kalaupun secara luas telah diketahui, bahwa NU memang bukan 
organisasi muslim yang mendasarkan pemahaman keagamaan pada pandangan 
yang radikal maupun fundamentalisme. Namun demikian para ulama NU 
merasa perlu untuk membahasnya dan merumuskan pemikirannya agar dapat 
dijadikan acuan bagi umat. Rencananya, keputusan itu akan diusulkan 
untuk dibahas di forum Munas NU.

Jika kembali membaca sejarah Indonesia, sejak tahun 1940-an sampai 
1950-an, memang sudah ada persaingan antara kalangan Islamis dengan 
kalangan demokratis. Menurut Greg Barton gejala ini bukan sesuatu 
yang baru, dan tidak mungkin dihilangkan dengan sendirinya.

Jamaah Islamiyah misalnya, disebut sebagai sayap yang paling radikal 
dari yang ada saat ini, juga memiliki hubungan dengan gerakan lama 
lewat jalur keluarga dan sebagainya. Adapun faktor kultural ternyata 
juga ikut menentukan, sebagai contoh peristiwa yang terjadi pada 
diri Gus Dur di Purwakarta, dapat diketahui bahwa kawasan itu memang 
cenderung lebih konservatif dan radikal dalam ekspresi beragamanya.

Sementara gagasan Islam yang radikal, dalam konteks global baru 
muncul sejak tahun 1940-an lewat buku-buku al-Maududi, Hasan al-
Banna, Sayyid Qutb, ditambah lagi dengan ide-ide Wahabisme yang sudah 
lama. Sedangkan pengaruh Islam di tingkat global dan ide-ide Islam 
modern, muncul sekitar abad ke 20-an . Jadi radikalisme harus dilihat 
juga dalam konteks dunia modern. Begitu pula, faktor politik dan 
environment atau lingkungan global sangat menentukan, karena isu-isu 
dan kondisi umat Islam di berbagai tempat, memang jauh lebih gampang 
menyentuh hatinya.

Iran dan Mesir sebagai dua negara yang dianggap paling inspiratif 
dalam melahirkan Islam radikal di negara-negara lain. Fenomena 
revolusi Islam Iran 1979 dianggap banyak pengamat sebagai salah satu 
bentuk radikalisme Islam yang kemudian mengilhami kaum Muslim di 
banyak negara melakukan hal serupa. Sementara itu, di Mesir lahirnya 
al-Ikhwan al-Muslimun yang dibidani oleh Syaikh Hasan Al-Banna (1906-
1949) pada April 1928 mengalami perkembangan pesat yang ditandai oleh 
tersebarnya organisasi ini di kurang lebih 70 negara, tidak hanya di 
Timur Tengah tapi juga di wilayah lain.

Pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bukan 
hal baru dalam sejarah. Semenjak Islam masuk ke Nusantara, hubungan 
masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Dalam konteks 
keagamaan, pengetahuan, dan politik, transmisi ini dimungkinkan 
karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi 
rujukan umat Islam.

Momok ekstrem kanan yang dulu begitu diwaspadai oleh Orde Baru kini 
hilang dari kamus politik Indonesia. Kelompok Islam radikal memang 
berhasil "ditumpas" rezim Orde Baru pada tahun 1980-an. Namun, dalam 
waktu hampir bersamaan generasi di bawahnya diam-diam membangun 
jaringan di kampus-kampus.

Kemudian disusul dengan munculnya kelompok-kelompok pengajian kampus 
pada akhir 1980-an yang terkenal dengan sebutan "kelompok tarbiyah," 
melalui kelompok inilah transmisi Islam radikal di Timur Tengah 
berkembang di Indonesia, khususnya di kampus-kampus umum.

Setelah era reformasi mereka lebih berani tampil ke permukaan secara 
terang-terangan. Bagi sebagian kalangan, kemunculannya dianggap 
mengkhawatirkan, bukan semata-mata karena perbedaan ideologis, tetapi 
lantaran sebagian di antaranya menggunakan cara-cara kekerasan 
memperjuangkan aspirasinya. Kekerasan di sini tak hanya dalam arti 
fisik, tetapi juga kekerasan wacana yang terekspresi melalui 
kecenderungan mereka yang dengan mudah mengeluarkan fatwa murtad, 
kafir, syirik, dan semacamnya bahkan kepada sesama Muslim.

Kita sadari bahwa Indonesia adalah negara plural yang terdiri dari 
beragam suku, ras, agama, budaya yang berbeda-beda tapi tetap satu 
Indonesia. Pluralisme yang menjadi ciri bangsa dan Negara Indonesia 
ini, semestinya diimbangi dengan demokratisasi yang kuat sehingga 
tidak menimbulkan gejolak baru yang berkembang. Islam sebagai agama 
yang rahmatan lil ‘alamin seyogyanya dimaknai oleh penganutnya 
dengan penuh keramahan, kedamaian, dan kasih sayang. Bukan 
sebaliknya, seolah-olah Islam menjadi sesuatu yang mengerikan, 
menyeramkan, dan menakutkan bagi umat lain, sehingga performen 
keseluruhan umat Islam pun turut terpengaruh.

Arogansi, kepongahan, serta kecongkakan yang mementingkan keinginan 
kelompoknya masing-masing adalah benih dari sebuah bentuk 
radikalisme. Karena itu, di era global sekarang ini wajah seram 
semacam itu, tak boleh lagi tumbuh berkembang. Wallahua’lam. (hawe)




Kirim email ke