http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6847&Itemid=64

Mengapa Ahmadiyah Dilarang?      
Kamis, 15 Mei 2008  
Jika
kita mencermati Sirah Nabawiyah, maka ayat Laa ikraaha fid-diin di atas
tidaklah tepat untuk digunakan dalam kasus Ahmadiyah yang telah sesat
dari ajaran Islam
Oleh: Akmal Syafril
Eksploitasi media massaterhadap kasus Ahmadiyah dewasa ini seolah hendak 
mengidentikkan dua
kelompok yang berbeda, yaitu kelompok yang menghendaki pemisahan antara
Ahmadiyah dan umat Muslim, dan kelompok yang ingin menghancurkan
Ahmadiyah secara frontal dan fisikal. Kelompok pro-Ahmadiyah selalu
menunjuk pihak-pihak seperti FPI yang memang selalu bersikap frontal,
sehingga nampak seolah-olah semua yang kontra dengan Ahmadiyah bersikap
demikian. Kenyataannya, mayoritas umat Islam dunia menolak Ahmadiyah
namun tidak melakukan tindak kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah maupun
aset-asetnya. PKS, FUI, DDII, dan Tim Pembela Muslim (TPM) hanyalah
sebagian saja yang mengambil langkah elegan untuk menolak Ahmadiyah.
Sayang, media massayang jauh dari objektif nampaknya luput mencermati fenomena 
ini.
Sebagian pihak pro-Ahmadiyah dengan entengnya menggunakan ayat berikut sebagai 
dalil;  “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia
Telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 256)
Eksploitasi
ayat secara tidak bertanggung jawab seperti ini justru menunjukkan
bahwa pelakunya memiliki pengetahuan yang sangat minim mengenai
ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu-ilmu Al-Quran. Pada prinsipnya,
ayat-ayat Al-Quran memang bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang,
asalkan tidak menyelisihi As-Sunnah. Sebagai contoh, jika ingin
mengaplikasikan ajaran zuhud sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Quran,
tidak boleh dengan cara menyiksa diri, karena yang demikian itu
dilarang oleh Rasulullah saw. Demikian juga ayat lakum diinukum wa liyadiin 
tidak bisa dijadikan pembenaran untuk paham pluralisme dan sinkretisme,
karena Rasulullah saw. tidak pernah membenarkan tindakan yang demikian.
Dengan kata lain, penafsiran Al-Quran dibatasi oleh suri tauladan yang
telah diberikan oleh pribadi Qur’ani terbaik yang pernah hidup di muka
bumi ini, yaitu Rasulullah saw.
Jika kita mencermati Sirah Nabawiyah, maka ayat Laa ikraaha fid-diin di
atas tidaklah tepat untuk digunakan dalam kasus Ahmadiyah yang telah
sesat dari ajaran Islam yang lurus. Meskipun Rasulullah saw. sangat
menghormati agama-agama lain dan tak pernah mengganggu rumah-rumah
ibadah mereka, namun sejarah juga mencatat sikap beliau yang sangat
keras terhadap ‘berhala-berhala’ di Mekah dan Masjid Dhirar. Tradisi
penyembahan berhala di Mekah adalah penyimpangan yang nyata dari millah
Nabi Ibrahim as., sedangkan Masjid Dhirar adalah masjid yang didirikan
dengan niat yang buruk. Untuk kedua kasus penyimpangan ini, Rasulullah
saw. tidak ragu-ragu untuk menghapuskannya secara total. Dengan kata
lain, beliau bersikap toleran terhadap umat beragama lain, namun tegas
terhadap mereka yang menyimpang dari ajaran Islam.
Kita
tidak bisa mengharapkan manusia lain yang lebih Qur’ani daripada
Rasulullah saw. Oleh karena itu, sikap beliau yang keras terhadap
penyimpangan agama tersebut harus dijadikan konsideran dalam
menafsirkan ayat Laa ikraaha fid-diin. Meskipun penafsiran
ayat ini tidak tuntas sampai di sini, namun jelaslah bahwa ayat
tersebut tak bisa dijadikan dalil untuk membenarkan eksistensi sebuah
aliran yang menikung tajam dari aqidah yang lurus.
Masalah
utamanya adalah pada status Ahmadiyah itu sendiri. Jika mereka mau
menyebut dirinya sebagai umat Non-Muslim, maka masalah bisa dianggap
selesai. Mereka akan dinyatakan sebagai umat agama lain dengan segala
konsekuensinya, termasuk dalam hukum waris, nikah, sosial, politik, dan
juga akan dinyatakan terlarang memasuki Tanah Suci Mekah. Selebihnya,
takkan ada masalah. Namun jika menyatakan diri sebagai umat Muslim,
maka ada beberapa batasan yang tak mungkin dilanggar. Sayangnya,
batasan tersebut telah dilanggar sejak jauh-jauh hari oleh Ghulam Ahmad
al-Kadzdzab.
Figur
Ghulam Ahmad merupakan masalah sentral yang lain lagi. Sebagian
menyebutnya sebagai nabi, sebagian lagi (baik untuk alasan
taktis-strategis ataupun alasan lainnya) menyebutnya sebagai pembaharu.
Menyebutnya sebagai nabi tentu menimbulkan masalah, karena Rasulullah
saw. telah beberapa kali menegaskan : laa nabiyya ba’diy (tak ada Nabi
sesudahku). Mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi sama saja dengan menuduh
Rasulullah saw. sebagai pembohong.
Kepribadian
Ghulam Ahmad sendiri memang banyak mengundang pertanyaan, apalagi
karena ia mengklaim dirinya sendiri sebagai nabi. Mulai dari sikapnya
yang anti-Jihad dan terlalu ‘penurut’ terhadap pemerintah kolonial
Inggris, sikapnya yang memalukan ketika memaksa seorang lelaki untuk
menikahkannya dengan anak perempuannya, dan klaim-klaimnya yang tak
terbukti, antara lain klaim bahwa rumahnya takkan dimasuki penyakit
kolera (padahal ia sendiri kemudian meninggal karena kolera). Baik di
negeri asalnya maupun di Indonesia,
Ahmadiyah memberikan jaminan surga bagi mereka yang membeli ‘kapling
makam’ di suatu tempat yang dinyatakan suci. Permainan uang milik
jamaah memang bukan barang baru, baik bagi Ghulam Ahmad maupun para
penerusnya. Dari sini, kita pun pantas bersikap kritis : pembaharuan
macam apa yang telah dipelopori oleh Ghulam Ahmad sesungguhnya?
Dengan
reputasi yang berantakan seperti ini, Ghulam Ahmad jauh dari pantas
untuk diakui sebagai pembaharu, apalagi nabi. Oleh karena itu, jika
ingin diakui sebagai bagian dari umat Muslim, maka tidak cukup bagi
jamaah Ahmadiyah untuk menyebut Ghula Ahmad sebagai pembaharu (bukan
nabi), namun juga wajib menolak untuk mengikutinya, bahkan sebagai
pembaharu sekalipun. Jika itu terjadi, tentu saja, eksistensi Ahmadiyah
menjadi tak berarti lagi, karena ia tak mungkin dipisahkan dari figur
pendirinya. Dengan kata lain, hanya ada dua pilihan bagi Ahmadiyah,
yaitu (1) membubarkan diri, atau (2) memisahkan diri sepenuhnya dari
umat Muslim.
Di
luar hal-hal yang berkaitan secara langsung dengan pribadi Ghulam
Ahmad, ada pula masalah-masalah lain yang menghambat integrasi
Ahmadiyah dengan umat Muslim sedunia. Media massasangat berkepentingan untuk 
menyebarkan kesan seolah-olah umat
Islam-lah yang telah mengucilkan Ahmadiyah, padahal yang terjadi adalah
sebaliknya.
Di
mana-mana kita melihat jamaah Ahmadiyah membangun desa-desa sendiri
secara tertutup. Mereka membuat masjid-masjidnya sendiri dan tak merasa
perlu berinteraksi secara wajar dengan umat Muslim lainnya. Ghulam
Ahmad sendiri sudah menegaskan bahwa para pengikutnya diharamkan untuk
shalat di belakang non-Ahmadi. Justru Ahmadiyah-lah yang sudah sejak
lama memberi cap kafir kepada orang-orang yang tidak sepaham dengannya.
Bedakan dengan MUI dan organisasi ulama lainnya yang hanya memberi
vonis sesat pada ajaran Ahmadiyah, dan bukan pada pribadi
pengikut-pengikutnya.
Soal
provokasi dan tindak kekerasan, Ahmadiyah adalah jagonya. Ghulam Ahmad
mengklaim dirinya berjasa terhadap pemerintah Inggris karena telah
mengirimkan prajurit-prajurit terbaiknya untuk mendukung Inggris dalam
menaklukkan Iraqdahulu. Ghulam Ahmad juga melarang pengikut-pengikutnya untuk
menshalatkan jenazah umat Muslim, sebagaimana mereka tak boleh
menshalatkan orang-orang Hindu dan Nasrani. Ghulam Ahmad mengklaim
dirinya lebih utama daripada al-Hasan ra. dan al-Husain ra., bahkan
merendahkan Abu Bakar ra. dan ‘Umar bin Khattab ra. Bahkan dengan
‘keberanian’ yang amat mengherankan, ia pun mengklaim dirinya lebih
utama daripada Nabi ‘Adam as., Nabi Nuh as., dan Nabi ‘Isa as. 
Hal-hal
semacam ini telah tuntas dibahas oleh alm. Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
dalam salah satu bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Mengapa Ahmadiyah Dilarang?
Maka,
melihat masalah Ahmadiyah dari kaca mata ‘kebebasan berpendapat’,
‘kebebasan berkeyakinan’ dan semacamnya masih jauh dari memadai. Ghulam
Ahmad al-Kadzdzab dan aliran yang didirikannya telah bermasalah sejak
awal, dan tak mungkin mendamaikannya dengan ajaran Islam yang lurus.
Tidaklah realistis mengharapkan jamaah Ahmadiyah mampu bertindak lurus
sementara mereka berdiri di atas pondasi ajaran yang jelas-jelas
menyimpang. 
Tidak
mungkin ada pengikut ajaran Hitler yang mampu memimpin dengan kasih
sayang, sebagaimana tidak mungkin ada pengikut Ahmadiyah yang bisa
menjalankan ajaran Islam dengan baik. Ajaran Ahmadiyah memang
bermasalah dari akarnya, dan dengan sendirinya, kalau mau mengikuti
ajaran Ghulam Ahmad, sudah barang tentu menyimpang dari ajaran Islam
yang lurus.
Penulis adalah mahasiswa S2 Jurusan Pemikiran Islam Universitas Ibnu Khaldun" 

 ===
Syiar Islam. Ayo belajar Islam melalui SMS


Untuk berlangganan ketik: REG SI ke 3252


Untuk berhenti ketik: UNREG SI kirim ke 3252. Sementara hanya dari Telkomsel 
Informasi selengkapnya ada di http://www.media-islam.or.id atau 
http://syiarislam.wordpress.com



      

Kirim email ke